source: doc pribadi, dibuat dengan AI Midjourney. |
Barusan tadi, aku membuka grup Whatsapp alumni kampus dan melihat ada yang membagikan informasi loker. Sebuah lowongan kerja menjanjikan dari bank besar yang tidak mungkin tidak ada yang tahu. Segera saja otakku mulai me-list nama-nama orang sekitarku yang belum memiliki pekerjaan maupun sudah tapi mungkin bisa mendapat karir lebih baik di sini, sambil melihat-lihat syarat pendidikan.
Melihat kecocokan syarat pendidikannya, aku langsung mengirim gambar informasi tersebut ke beberapa orang, termasuk saudaraku. Sebenarnya kedua saudaraku sudah bekerja, tapi tentunya lowongan yang satu ini sangat bagus untuk sekedar disia-siakan.
Sampai aku menyadari satu hal,
Umur.
Tertera maksimal 26 tahun.
Segera aku menghapus pesan yang baru terkirim itu, sadar kalau umur saudara tertuaku sudah terlampau dua tahun di atasnya. Selama ini, sebagai seorang alumni jobseeker, dan juga tukang share informasi loker di grup keluarga, aku paham betul umur adalah salah satu sandungan terbesar dalam mencari pekerjaan. Banyak sekali hasil scroll instagramku menunjukkan syarat umur adalah maksimal 25 tahun.
Betapa menantangnya hidup ini, hidup tanpa mengerti apa-apa sampai umur 6 tahun, lalu menempuh pendidikan selama 16 tahun, di mana umur kita sudah 22 tahun, dan sisanya mencari kerja sebelum umur kita 25 tahun. Ini artinya kita cuma punya kesempatan 3 tahun untuk mencari pekerjaan yang layak.
Setelah membaca di beberapa artikel, aku memahami bahwa memang ada banyak alasan logis kenapa perusahaan membatasi umur pelamar, beberapa di antaranya sangat menarik untuk dibahas.
Pertama, mempermudah perusahaan dalam menyeleksi dan mencari kandidat.
Di antara seratus bunga yang dipajang, jika kamu disuruh memilih satu, kamu pasti akan menyeleksinya dengan berbagai kriteria. Mulai dari yang terlihat paling cantik, kemudian yang paling bersih, dan yang pasti, terlihat paling segar agar tahan lama. Kupikir, logika yang sama akan berlangsung dalam penyeleksian calon pegawai.
Saat mendaftar RBB (Rekrutmen Bersama BUMN), aku menyadari satu fakta. Biasanya di RBB, untuk satu posisi pekerjaan di satu perusahaan, lowongan akan dibuka untuk setidaknya 1000 pelamar. Ini artinya, jika perusahaan membuka 5 jenis posisi yang berbeda, dengan jurusan yang berbeda, berarti akan ada 5000 orang yang bisa mendaftar.
Itu baru satu perusahaan. Bayangkan berapa puluh BUMN yang membuka lowongan? Berapa banyak posisi yang mereka tawarkan?
Fakta lainnya, meskipun sudah dibuka untuk 1000 pelamar, seringkali lowongan itu penuh dalam satu hari. Ini berarti benar-benar ada 1000 orang yang mendaftar.
See? Bahkan dengan berbagai syarat mulai dari pendidikan minimal, jenis kelamin, dan bahkan umur, lowongan kerja itu masih saja dengan cepat diisi penuh oleh para jobseekers. Ada seribu kandidat yang layak mendaftar untuk posisi yang sama.
Kebayang jika tidak ada syarat-syarat itu? Kebayang jika tidak ada batasan maks. seribu pelamar? Bukan tidak mungkin pelamar mencapai ribuan, bahkan hingga dua digit. Sebagai informasi saja, mencari kandidat itu tidak murah loh. Melihat UI & UX website-nya BUMN yang menurutku sangat enak dan mudah digunakan, aku yakin harganya mayan menguras anggaran. Ditambah dengan biaya tes yang menggunakan vendor, belum lagi biaya MCU yang gratis bagi calon, kemudian ada wawancara-wawancara. Biaya itu bisa memakan biaya jutaan.
Jadi syarat itu dibuat agar perusahaan lebih efektif dan efisien dalam mencari kandidat terbaik di saat semakin banyaknya kandidat yang memenuhi syarat.
source: dok pribadi, dibuat dengan AI Midjourney |
Kedua, karyawan lebih mudah dibentuk, diarahkan, dan tentunya, disuruh-suruh.
Kalian harus percaya, dengan budaya Indonesia yang sudah terbiasa nurut dengan orangtua, maka jauh lebih gampang untuk memperkerjakan kandidat yang umurnya krucil-krucil, tapi pinter. Mungkin sebenarnya tujuan utama mencari yang muda adalah dengan kemungkinan si kandidat ini belum menikah, belum punya anak, jadi memiliki waktu luang yang besar.
Memang sih kalau di pekerjaanku saat ini, pegawai-pegawai dengan jiwa muda jauh lebih gampang diajak kerjasama dan juga kompak. Mungkin agak ngeluh-ngeluh dikit tentang work-life-balance yang lagi tren, hehe. Di sisi lain, adaptasi manusia muda dengan teknologi tidak bisa diremehkan, jadi intuisi kreatifnya juga lumayan membantu untuk banyak hal.
Tidak cuma itu, orang-orang dengan posisi di atasnya juga kadang agak segan untuk menyuruh-nyuruh kandidat dengan umur agak-agak ini--no offense, karena jarak umur yang tidak terlalu beda jauh. Apalagi jika si atasan ini memiliki umur lebih muda daripada si kandidat ini, semakin-semakin segan sudah.
Contohnya saja, Mamaku dulu kalau mencari ART selalu mencari yang lebih mudah. Simpelnya ya itu, karena mudah diatur.
Bayangkan, ART aja ada syarat umur. Ini sedih tapi nyata.
Sebagai antitesis, alasan-alasan di atas mungkin ga ada pengaruhnya di beberapa negara di luar sana. Ada banyak pengalaman orang lain yang ku baca di mana orang-orang bisa bekerja dengan umur yang sudah hampir setengah abad di luaran sana. Jadi kupikir budaya memiliki peran penting dalam seleksi pekerjaan saat ini, salah satunya seperti yang kusebut yakni budaya nurut sama orangtua. Budaya lainnya adalah, menikah di umur muda sedangkan seperti yang kita tahu orang luar biasanya menikah pada usia kepala tiga, atau memiliki nanny untuk itu. Good looking juga menjadi budaya yang penting buat kita.
Oh iya, satu fakta terakhir saja, sudah mulai ada loh pekerjaan di sini yang tidak mematok umur maksimal 25 tahun dalam syarat melamarnya. Contohnya saja mitra gojek.
Kalau pekerjaan mentereng sih w blm tau y.
Segitu saja. Ini jadi opini yang panjang-lebar ya akhirnya haha. Sudah lama tidak menulis sesuatu yang buat otak mikir di sini. Tengkyu.