Hitler & Eva Braun |
Belgia, 30 April 1945,
Ketegangan
menggantung di langit negara Jerman. Gemuruh pertempuran terus berlanjut tanpa
jeda. Seringkali di sela-sela pertempuran, ketika tentara Sekutu memasuki
wilayah kamp konsentrasi untuk menyelamatkan korban yang tersisa di negara
genosida ini, aroma busuk dan amis darah yang memuakkan akan menelusup ke dalam
penciuman mereka, disertai bibit-bibit penyakit yang begitu berbahaya. Namun
para tentara berusaha tetap bertindak profesional, mereka dengan sigap
mengangkut siapa saja yang masih hidup untuk dibawa ke tempat yang lebih aman
dan bersih. Sebenarnya cukup sulit untuk membedakan mana yang sudah menjadi
mayat dan mana yang masih hidup—keduanya sama-sama hanya tulang berlapis kulit,
mata cekung menonjol dengan tatapan kosong, dan tidak bergerak. Tetapi meskipun membutuhkan waktu, akhirnya seluruh
misi penyelamatan itu tuntas. Mereka yang sudah mati dikubur secara massal
dalam lubang besar. Sebagian besar kamp konsentrasi dibakar agar bibit penyakit
yang muncul dari tempat yang sangat tidak sehat itu tidak menyebar dan menambah
masalah baru. Perang sudah cukup buruk tanpa harus ditambah dengan epidemi
mematikan.
Jauh dari
hingar-bingar itu, Adolf Hitler duduk dengan gelisah di sebuah ruangan di Führerbunker,
tempat dia telah tinggal sejak Januari lalu. Berada di seberangnya adalah
istrinya, sedang menatapnya tenang.
Ruangan itu di
penuhi arsip-arsip masa pemerintahannya. Foto-foto masa jayanya terpampang di
sepanjang dinding. Bagian terfavoritnya bukanlah potret yang menampakkan
dirinya, melainkan saat-saat pemusnahan kaum Yahudi, Gipsi, dan orang-orang
non-Arya lainnya. Beberapa dari foto itu memperlihatkan anak-anak kecil yang
menjadi subyek medis para dokter. Mereka sangat kurus dan tidak mengenakan
busana apapun. Lalu di sisi lain ruangan, foto-foto dalam bingkai itu
memperlihatkan para korban yang dipotret di detik-detik terakhir sebelum
ditembak, digorok dengan gergaji ataupun dimasukkan ke dalam kamar gas. Beberapa
orang akan menganggap sistem yang dibentuk ini kejam, tetapi menurut Adolf, kematian
yang mereka dapat itu setara dengan perbuatan kotor mereka selama ini.
Holokaus |
Program ini
dilakukan secara sistematis, telah direncanakan jauh-jauh hari. Data-data
target mereka sudah dikumpulkan sejak lama, dengan terperinci dan tanpa cela.
Setiap yang mati maupun yang hidup akan dicatat. Pelaksanaannya akan
didokumentasikan, menjadi kenangan tak terlupakan bahwa pernah ada seorang
Hitler yang berusaha keras untuk memurnikan kembali bangsanya. Tidak pernah ada
seorangpun, sebelum ini, yang berhasil mencapai titik puncak kesuksesannya
dalam menanggulangi keterpurukan ras Arya. Solusi terakhir, itulah yang disebut
dan dipercayainya. Dirinya telah membuktikan, bahwa Jerman bercahaya begitu
terang ketika para Yahudi tersebut disingkirkan, dibawa ke tempat yang lebih
baik bagi mereka, neraka.
Adolf berdiri,
menatap salah satu potret yang berbingkai. Dia masih ingat jelas kapan dia
mulai menyadari bahwa Yahudi adalah pengacau. Kekeraskepalaan ayahnya untuk
menentang cita-citanya menjadi seorang pelukis telah membuatnya terdampar di
Wina. Di sanalah dia mulai mengenal dan
bersikap antisemitisme. Kemudian kemarahan serta kejijikan terhadap Yahudi
semakin kuat menancap dalam hatinya sejak pengkhianatan kaum kotor itu di
Perang Dunia I, yang membuat Jerman terjajah oleh Perjanjian Versailles.
Dilandasi oleh
pemahaman itu, maka dia memutuskan memulai karier di militer dan politik. Berjuang
memerangi ketidakadilan yang menimpa Jerman. Kesulitan demi kesulitan yang
menghadang ditabraknya dengan berani. Kudetanya yang gagal sekitar dua puluh
tahun lalu hingga dia di penjara tidak membuatnya putus asa. Dirinya malah mencoba mencari dukungan rakyat
dari dalam penjara lewat buku yang ia tulis, Mein Kampf. Buku tersebut
akhirnya memersatukan rakyat Jerman oleh satu pemahaman, memberinya hak penuh
untuk mengatur mereka.
Di bawah
kepemimpinannya, kekuasaan partai Nazi meluas dengan luar biasa, dan pada
tahun-tahun yang singkat itu, dia telah melebihi harapan semua orang dengan menguasai
hampir seluruh tanah Eropa dan Afrika Utara. Bahkan lewat kebijakannya, tidak
kurang dari sebelas juta orang non-Arya, termasuk Yahudi, orang Gipsi,
Polandia, orang cacat, dan komunis telah tersingkirkan. Tidak lagi mengganggu.
Adolf melirik
sekilas Eva Braun—istrinya, dan sejenak perasaan sesak memenuhi dirinya. Mereka
baru menikah dua hari lalu, tetapi masalah demi masalah sudah mengusik mereka.
Untunglah istrinya begitu setia sehingga sama sekali tidak keberatan.
Dari jauh
terdengar ledakan. Tampaknya Angkatan Darat Merah semakin dekat. Tidak seperti
biasanya, Adolf kali ini tampak tidak perduli. Dia tetap tenang menatap
satu-persatu bingkai. Mengenang masa lalu.
Adolf sadar,
dirinya adalah kekuatan tunggal luar biasa di Jerman, seorang penakluk dunia.
Sebagian besar masyarakat Jerman telah tulus mendukungnya. Dia telah sanggup
memangkas angka pengangguran dan memicu perbaikan ekonomi. Berbagai penaklukan
telah memperluas wilayah Jerman. Sejarah gemilang ini tidak akan ada tanpanya.
Bertahun-tahun
keberhasilan terus menghampirinya. Dia tidak menyadari bahwa ada cacat dalam
rencana yang disusunnya. Pertempuran Stalindgrad dua tahun lalu adalah
kekalahan yang terburuk dan paling memalukan, menjadi titik balik dari semua
kemenangan Jerman. Mereka sama sekali tidak bisa bangkit setelah pertempuran
itu. Kemudian baru seminggu lalu, para
anak buahnya memutuskan untuk bertindak bodoh dengan mengkhianati perintahnya
untuk melakukan serangan Steiner. Para komandannya itu telah menerima semburan
amarah mengerikan darinya—sekaligus kepastian mengenai berita buruk yang tidak
mereka inginkan, bahwa Jerman telah sepenuhnya kalah. Kepasrahan menaungi wajah-wajah
komandannya saat itu. Mereka telah menduga sejak lama, meskipun tidak ingin
mengakuinya. Kekalahan adalah kenyataan menyakitkan, terutama setelah mereka begitu
banyak berkorban.
Dan tepat hari
itu juga, di antara berita-berita buruk yang mengubur kejayaan Jerman, Adolf
mengambil sebuah keputusan yang akan merubah takdirnya.
Adolf melangkah
kembali ke mejanya. Tepat di atas meja tergeletak sebuah pistol. Pelan,
tangannya terjulur ke pistol itu, mencoba menelusuri tiap bagian pistol dengan
jari-jarinya.
Bergetar.
Jari-jarinya bergetar. Selama 56 tahun hidup, ini pertama kalinya dia mendapati
jari-jarinya gemetar ketika menyentuh pistol. Jantungnya untuk pertama kali
dalam ingatannya juga berdetak lebih cepat dan kuat, tanpa ampun, dipenuhi oleh
rasa takut.
Dia telah kehilangan
rasa takutnya sejak lama. Dia telah lupa bagaimana rasa itu. Dalam Perang Dunia
I, dia selalu berada di belakang garis depan. Dia telah terluka dalam
perang-perang, dan diberi penghargaan oleh segenap keberaniannya. Percobaan
pembunuhan pada Plot 20 Juli sama sekali tidak membuatnya menjadi pengecut yang
bersembunyi di dalam lemari. Daripada merasa takut, justru dialah sosok yang
membuat orang lain gentar. .
Namun hari ini,
ketika kekalahan Jerman telah di depan mata, akar-akar keberanian itu tercabut,
dan sebagai gantinya tertanam perasaan baru. Rasa takut.
“Kita tidak
perlu melakukannya,” bisik sebuah suara anggun di belakang Adolf. Dia berbalik
demi mendengar suara itu dan mendapati istrinya telah berada di belakangnya,
memerhatikan tangannya yang gemetar, “Mungkin masih ada kesempatan untuk pergi,
jauh dari Jerman, bersembunyi dari Angkatan Darat Merah,” selagi mengatakan itu, jari-jari Eva Braun memainkan kapsul Sianida miliknya.
“Meine liebe[1],
Eva, aku telah bersembunyi di tempat perlindungan ini selama beberapa bulan dan
aku merasa malu. Aku tidak akan sembunyi lagi. Lagipula Berlin telah dikepung
sepenuhnya. Sekarang kembalilah ke tempatmu dan biarkan aku menyelesaikan semua
masalah ini,” Adolf berbalik, dahinya mengernyit.
Dia tidak akan
menyerahkan dirinya sama sekali kepada tentara Uni Sovyet, Angkatan Darat Merah.
Para bedebah dari negeri asing itu sama sekali tidak mengerti tanggung jawab
berat yang ditanggungnya. Dia, Adolf Hitler, adalah pemimpin Jerman. Dia telah
bercita-cita untuk memurnikan rasnya dari kaum Yahudi dan bersikeras agar ras
Arya, ras paling suci dan sempurna, yang akan memimpin dunia.
Jika dia
tertangkap, orang-orang yang tidak paham itu akan menuntut pertanggungjawaban
atas kematian lebih dari sebelas juta orang. Mereka akan menuduhnya sebagai
pembawa bencana. Mereka tidak akan membiarkannya hidup cukup lama, tetapi juga
tidak akan rela dia mati terlalu cepat. Orang-orang itu akan membunuhnya secara
perlahan. Dia tidak dapat membayangkan betapa malunya dia, setelah melakukan
semua pekerjaan suci demi negaranya, justru diakhiri oleh tertangkapnya dia di
tangan musuh dan dianggap bersalah. Lebih baik dirinya mati di tangannya
sendiri tepat sebelum Jerman secara resmi menyerah terhadap Sekutu dan dihormati
orang-orang waras sebagai pahlawan yang pernah memiliki cita-cita untuk
mewujudkan kejayaan ras Arya, untuk menguasai dunia, daripada tertangkap dan
dianggap bersalah.
Seluruh pikiran
itu membuat Adolf merasa lega. Dia menyeringai tipis, keberanian sekali lagi
melingkupinya. Dengan tangkas Adolf mengambil pistol tersebut.
Siang itu
terik. Pertempuran jalanan yang sengit terjadi di Belgia. Suara ledakan terdengar
di mana-mana. Angin membawa aroma busuk dan amis darah, tetapi tidak lagi berasal
dari para korban holokaus, melainkan dari para prajurit yang mati. Adolf telah
memerintahkan pasukannya untuk bertempur mempertahankan Belgia apapun yang
terjadi.
Namun detik
itu, di Führerbunker, para penjaga yang sedang bertugas tidak memfokuskan
diri pada ledakan-ledakan pertempuran di luar sana. Mereka semua berkonsentrasi
penuh untuk mendengar suara dari dalam ruangan yang sedang mereka jaga. Menunggu.
Bersiap melaksanakan tugas terakhir.
Semua komandan,
penjaga, dan terutama istrinya, telah tahu keputusan yag dibuatnya, dan mereka
sedang menanti. Entahlah apa yang dipikirkan mereka. Senang, sedih, atau
malah tidak peduli.
Adolf menatap
pistol di tangannya lekat-lekat, lantas menodongkan pistol itu ke kepalanya.
Sekali lagi dia menyeringai, siap menjemput takdir.
Hari itu di
Belgia, di selingi suara gemuruh pertempuran, terdengar letusan tembakan pistol
dari dalam Führerbunker. Hanya sekali, tetapi cukup untuk menyentak
seluruh penjaga yang bergegas membuka pintu ruangan, cukup untuk membuat istrinya
berani menelan kapsul sianida, dan pada akhirnya, cukup untuk membuat seluruh
dunia lega ketika mendengar berita itu.
Hari itu, Adolf
Hitler telah mati.
[1] Sayangku
***
Cerita di atas di buat karena tugas SMA kelas 2. Kisah disuruh buat cerita tentang tokoh terkenal di dunia--berdasarkan data yang ada. Aku tertarik sama Hitler karena kebetulan beberapa lama sebelumnya aku sempat menghabiskan waktu untuk membaca mengenai holokaus, dan hal hal lain yanng berhubungan dengan Hitler. Aku bahkan sempat membaca bukunya, Mein Kampf, meskipun enggak selesai karena buku itu ada di perpustakaan dan aku enggak ada kartunya hehe. Yah, awalnya aku ingin menulis tentang kekejamannya dalam holokaus, namun karena enggak ada titik temu sama endingya dan kayaknya bakal terlalu panjang, akhirnya akupun membuat seperti yang di atas.
Tentu saja, meskipun sudah seberusaha mungkin menyesuaikan dari data, cerpen di atas tetaplah fiksi yang tak bisa dipercayai hehe.
Ngomong ngomong, aku tahu cerita di atas parah banget._.v , maafkan daku. Maaf atas kejelekan gaya bahasa dan alurnya._.
2 comments
Ada yang nyontek cerita ini untuk tugas sekolah. Emang beberapa bagian ada yang dihilangkan, tapi tetap saja kan itu plagiarisme?
ReplyDeleteWah siapa itu? :"( iya itu plagiarisme. Sedih banget dengernya :"(
Delete