Lari. Lari.
Lari
Matahari sudah
menanjak, tetapi udara di sekelilingku tetap lembab. Pohon-pohon besar tampak
rindang dan menghalangi sebagian besar cahaya matahari. Aku terus saja berlari,
memaksakan kakiku yang mulai nyeri. Aku bahkan tidak memperdulikan denyutan
jantungku yang semakin menyakitkan akibat berpacu terus selama beberapa waktu
terakhir.
Di belakangku,
terdengar suara kaki-kaki yang berlari beserta suara-suara teriakan.
Ini bukan
lomba lari, ataupun Cross Country, meskipun aku sendiri sedang
memimpin paling depan dan kami sama-sama
berlari. Lari bukanlah olahraga favoritku.
Saat ini aku
sedang dikejar segerombolan orang, dan orang-orang itu mau membunuhku.
Aku bahkan
tidak mengerti kenapa aku jadi target pembunuhan seperti ini. Aku juga tidak
mengerti kenapa aku bisa berada di hutan dan tidur di salah satu rumah penduduk
hutan ini.
Suara mereka
terdengar semakin dekat. Aku menggigit bibirku, ngeri. Kalau aku terus
berlari seperti ini, maka aku akan tertangkap. Aku berbeda dengan mereka.
Mereka telah terbiasa hidup dalam ketangguhan fisik untuk bertahan hidup di
alam liar. Mereka terbiasa mengejar dan dikejar hewan buas. Sedangkan aku
selama ini hidup di kota dan dilayani. Hewan buas yang mereka kejar telah
menjadi daging masak di kotaku, dan aku tinggal membelinya.
Aku mengerem
laju lariku dengan kaki belakang. Sepatu kets putihku menjadi kotor akibat
tanah di hutan ini. Sebelum sempat memikirkan lebih lanjut bagaimana
membersihkannya, aku segera bersembunyi di semak-semak di samping jalan setapak
ini. Menunggu.
Tap. Tap. Tap.
Tap.
Satu menit.
Dua menit. Lima menit. Suara itu semakin dan semakin dekat. Hingga akhirnya
persis melewati semak dimana aku bersembunyi. Tanganku mendingin dan bergetar.
Tapi akhirnya gerombolan itu lewat. Tidak curiga terhadap semak tempatku
bersembunyi.
“Alesha!”
Setengah
membeku ditempat, aku menoleh. Di depanku tampak seorang pria paruh baya, di lehernya
terdapat kalung yang terbuat dari serat yang digulung menjadi tali, serta
berbagai tulang-tulang. Tangannya memegang tombak.
“Kenapa kamu
berada disini?” dia berbicara dengan aksen dan lafal yang tak pernah kudengar
sebelumnya, tapi anehnya aku mengerti bahasa yang diucapkannya.
“PERGI!”
pekikku, “PERGI! JANGAN BUNUH AKU!” aku mengacungkan ranting ke arah pria yang
jaraknya sudah satu meter itu.
Dia tertawa,
“Siapa yang mau bunuh kamu? Kenapa kamu takut? Kamu akan menjadi dewa! Kamu
terpilih!”
“PERGI!”
sekarang teriakanku telah bercampur dengan tangis ketakutan, “AKU TIDAK MAU
JADI DEWA! AKU MAU HIDUP DI BUMI!” pria itu berhenti, tampak bingung oleh
kalimatku. Tapi sebelum kami sama-sama bereaksi untuk apapun, terdengar suara
orang berlari-lari mendekat. Tidak hanya suara satu orang. Tapi banyak.
Oh tidak. Aku
telah melakukan kesalahan. Dalam beberapa detik saja, gerombolan itu sudah
mengitari aku dan pria itu.
“Alesha! Kami
dengar kamu memekik-mekik, ada apa? Dari tadi kami mencarimu. Jangan bercanda
dengan berlari, upacara sudah harus dimulai!”
“PERGI! PERGI
KALIAN SEMUA! AKU BUKAN ALESHA! NAMAKU ARIN! AKU ARIN!”
Semuanya
menatapku bingung, lalu salah satu dari mereka menyahut, “Kamu Alesha,”
“Aku Arin!”
“Alesha.”
“Ya, kamu
Alesha.”
“Kamu Alesha.”
Kalimat itu
saling bersahut-sahutan, mereka merengsek semakin maju. Aku berusaha melawan,
tapi tangan-tangan gelap itu lebih kuat dariku, dengan mudah mereka memegang
dan mengangkat tubuhku. Mereka kemudian membawaku ke tanah luas tempat upacara
diadakan. Mereka melakukan itu sambil bernyanyi-nyanyi.
Alesha
telah menginjak kedewasaan.
Alesha
terlahir dari dewa dan menjadi titisan dewa.
Dengan
bunga yang merah, Alesha akan menutup matanya.
Dengan
bunga yang putih, Alesha akan dihantar ke singgasananya.
Dengan bunga-bunga,
Alesha akan mencapai kesempurnaan dewanya.
Alesha telah dipilih untuk kami.
Alesha akan menjadi dewa bagi kami. Alesha pelindung kami.
Alesha,
Alesha, Alesha, HO!
source : deviantart (Agnes-Cecile) |
Dalam
genggaman kuat gerombolan tak dikenal ini, aku bergidik. Menahan takut
sekaligus tangis. Sejak kapan mereka membuatkan lagu untukku, atau untuk
Alesha?
Beberapa menit
kemudian, kami sampai ditempat yang dituju. Di sana tangisku pecah. Beberapa
orang mendatangiku, termasuk pria yang tadi menemukanku.
“Jangan
menangis Alesha, kamu tidak perlu merindukan kami.”
“Ya, setelah
ini kamu akan menghadapi kesempurnaan, kamu akan melindungi kami,”
Aku tidak
memperdulikan kata-kata mereka, sampai seseorang menelusupkan sesuatu ke tangan
kananku.
Aku menatap
tanganku. Bunga. Bunga yang cantik sekali, berwarna biru. Seperti langit.
Seperti samudra. Kemudian aku mendongak, ternyata pria yang tadi menemukanku.
Dia memegang
kedua pundakku, tersenyum dibalik kumisnya.
“Kamu tahu?
Ketika kamu lahir, dan tetua suku bilang kamu adalah titisan dewa, Ayah senang,
bahagia, sekaligus cemas dan takut. Itu artinya tanggungjawabmu akan besar
sekali. Dengan hati-hati kami membesarkanmu, Alesha. Kamu anak yang sangat
indah, dan berbakat. Kamu adalah keajaiban bagi ayah dan mamamu. Sekarang,
setelah kamu besar, kami siap melepasmu. Demi kedewaanmu.” Pria itu menghela
nafas, tampak air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku terdiam.
“Meski nanti
kamu akan menjadi dewa, meski Ayah dan Mama tidak akan lagi bisa melihatmu,
kamu akan tetap selalu ada di sisi kami berdua. Jadi kami juga memohon, jangan
lupakan Ayah dan Mama. Bunga ini, kamu pasti ingat bunga biru ini kan? Dan semoga saja, ketika menjadi
dewa nanti, kamu akan tetap selalu memegang bunga ini,” senyumnya mulai
bergetar, lantas dia mengecup dahiku.
“Selamat ulang
tahun, dan selamat menjadi dewa...anakku,”
Pria itu
mundur selangkah, dan tepat saat itu juga, orang-orang merengsek maju,
mengangkatku dan membawaku ke sebuah meja panjang, aku masih berteriak-teriak,
tetapi sepertinya mereka tidak perduli. Aku di letakkan diatas meja itu. Lalu
salah seorang dari mereka, yang sangat tua, menyebut beberapa kalimat yang kali
ini sama sekali tidak kumengerti. Aku hanya bisa merinding mendengarnya. Dan
setelah pria itu selesai berbicara, aku merasakan tubuhku kaku diam, tidak
dapat kugerakkan sama sekali. Bahkan aku tidak bisa berbicara.
“Akhirnya
Dewa, setelah Engkau memberi kami titisan dewa berupa Alesha, Alesha yang
diberkahi, Alesha yang penuh keajaiban, sekarang tibalah saatnya. Cukup sudah
tujuh belas tahun dia menjadi manusia fana, sekarang saatnya kita menghancurkan
kefanaannya, dan biarkan dia terbang bebas menjadi dewa. Dewa untuk kami. Dewa
yang akan mendampingi Engkau,”
Aku merasakan
udara bergetar di sekitarku, tampak sebuah pisau mengkilap di arahkan ke leherku.
Dan aku mendengar semua orang berteriak. Teriakan gembira. Semuanya mengucapkan
namaku dengan semangat. Di ujung sana seorang pria tambun tampak menabuh gong besar.
“ALESHA!
ALESHA! ALESHA! ALESHA! ALES—ARIN! ALESHA! ARIN! ALESHA! ARIN!!”
Aku tersentak.
Lantas membuka mata. Di sekelilingku tidak lagi hutan dan orang-orang yang
berkalung tulang. Hanya dinding dan segala perabot.
Ini kamarku.
Dari luar
terdengar ketukan pintu, “Arin, bangun sayang. Nanti kamu terlambat ke sekolah!”
Aku menatap
jam, sudah pukul enam pagi.
Astaga,
berarti tadi aku hanya bermimpi? Menyeramkan sekali.
“Iya Ma, Arin
bangun.” teriakku dari kamar, Mama berhenti mengetuk.
“Baguslah. Oh
iya sayang, selamat ulang tahun yang ke tujuh belas,” langkah kaki mama
terdengar menjauh. Aku terkejut, menatap kalender.
Hari ini
memang ulang tahunku. Jadi, mimpi tadi untuk memperingati ulang tahunku ya?
Hebat sekali.
Aku menghela
nafas, kemudian beranjak dari kasur.
Ketika itulah,
aku menyadari sesuatu. Di tanganku, tergenggam setangkai bunga berwarna biru.
Sebiru langit, sebiru samudera.
***
Cerita di atas sebenarnya sudah dibuat setahun lalu tepat sehari sebelum ulang tahunku karena cerita ini tidak lain tidak bukan
sebagai hadiah ulang tahun—dariku, olehku, dan untukku, yang Januari kemarin berumur 17 tahun. Hohoho. Ho...hohohohohoho.
Kalau dipikir pikir, cerita ini memang aneh banget.
Oh ya! Sepertinya lagu di bawah lumayan cocok untuk didengarkan selagi membaca cerita ini :D
0 comments