“Perlahan-lahan, orang-orang di sekelilingku
mendaki lebih jauh daripadaku,” ujarnya suatu hari kepadaku. Aku menoleh
menatapnya, tersenyum. Walaupun dia sendiri sebenarnya tidak menatapku. Matanya
terus menatap kebawah.
“Apakah itu membuatmu sesak?”
gumamku, masih tersenyum simpul. Dia menghela nafas, memperbaiki posisi duduk.
“Tentu saja. Aku selalu
ditinggalkan. Kau juga, kau juga sudah menggapai bintang demi bintang. Jauh
meninggalkanku di tanah. Memangnya kau tidak sadar?”
Aku dan dia sedang bersantai di
taman. Sudah lama kami berdua tidak melakukan ini. Tidak heran, beberapa waktu
terakhir aku memang sering keluar kota, menjalani berbagai seminar, kompetisi-kompetisi.
Hari ini, ketika ada kesempatan, kami kembali duduk berdua. Udara sejuk sehabis
hujan terasa begitu nyaman. Sayangnya, gadis disebelahku tidak menikmatinya.
Dia hanya terpekur sambil menggoyang-goyangkan kakinya—dan untuk pertama
kalinya mengutarakan masalah ini—meski aku tak mengerti apa yang memancingnya.
“Semuanya begitu,” lanjutnya, “Mereka
mengenalku, mengikuti apa yang kulakukan, lantas merekalah yang melesat.
Sedangkan aku? Aku tetap berjalan ditempat.”
“Jangan begitu,” aku terkekeh,
merapikan anak rambutnya yang jatuh ke pipi, “Seharusnya kamu bangga. Karena kamulah
yang memulai segalanya. Kamu yang membuat dia menjadi seperti itu.”
“Tidak ada gunanya,” sergah gadis
itu pelan, mendongak kearahku. Tatapannya sedih, “Aku juga ingin ke puncak
bukit, menggapai bintang-bintang. Sepertimu, seperti yang lain,”
“Lantas, kalau kau ikut pergi,
siapa yang akan menjadi naungan bagi mereka yang baru akan mendaki, hm? Siapa
yang merawat bunga-bunga yang tumbuh mekar?”
“Tapi aku tidak mau,” dia
menggeleng, dan aku terkejut melihat denting air di matanya, “Kenapa kau bisa?
Kenapa aku tidak? Kenapa Tuhan begitu egois membiarkanku terkurung di satu
tempat?”
“Hei,” aku mengernyitkan dahi,
“Ucapanmu keterlaluan,”
“Aku hanya pecundang bukan?” dia
tampak tak perduli, “Aku hanya bisa memulai sesuatu yang tak bisa aku
selesaikan. Aku selalu dibelakang kalian.”
“Tapi aku sama sekali tidak
keberatan,” tukasku, dan seketika aku menyadari kesalahan akan perkataanku. Dia
berdiri, menatapku sengit dengan matanya yang merah akibat menangis.
“Tentu saja kamu tidak akan
keberatan! Kau sudah di atas sana! Aku! Akulah yang keberatan. Aku masih harus
merawat mawar-mawar itu ketika kau menemukan tanaman baru, membuatmu diliput
seluruh dunia! Dan kau sudah menemukan yang lainnya lagi ketika mawar-mawarku
belum lagi layu!”
Aku sungguh tidak mengerti kenapa
gadisku ini tiba-tiba emosinya meluap-luap. Kenapa dia harus menangis? Kenapa
dia harus membenciku ketika aku menjadi sedikit lebih tinggi? Bukankah itu
baik?
“Kau menyadarinya, bukan? Kau rela
meninggalkanku. Kau sudah tertawa bersama yang lain, menjalin tali sedikit demi
sedikit untuk membuat tangga. Dan kau melakukan semua itu tidak bersamaku!
Tetapi bersama mereka yang bahkan tak kukenal. Kau lebih akrab dengan
gadis-gadis maupun pria-pria asing tersebut daripada aku dan mawarku!”
semburnya, terengah-engah.
Rintik hujan mulai turun lagi.
Dia menghela nafas, mencoba lebih tenang.
“Well,” bisiknya pelan, tatapannya meredup, “Aku tidak bisa menjadi
pendampingmu lagi. Aku tidak bisa.. kau harus mencari yang lain..”
“Apa...? Tidak!”
“Kau sudah pergi jauh sekali.
Suatu saat-pun kau akan melupakanku. Dan itu akan lebih menyakitkan. Kau sudah
memiliki terlalu banyak—aku tak akan bisa menyamainya. Ada banyak gadis-gadis
yang mendambakanmu—dan mereka bisa mendaki tanpa kesulitan, untuk menyusulmu.
Sedang aku tetap di tempatku, seperti katamu, menjaga bunga-bunga.”
“Ini bukan masalah materi maupun
kekayaan!” aku ikut berdiri, menatapnya pedih. Bagaimana pula pikirannya hingga
sejauh ini? Ini kali pertama
kami berdua setelah sekian lama, dan sudah akan berakhir? “Kamu ya kamu! Tidak ada yang berubah sedikitpun. Aku akan
tetap, dan selalu mencintaimu. Bagaimanapun situasinya! Jika aku pergi terlalu
jauh, maka aku akan kembali.”
Dengan keras kepala, dia tetap
menggeleng. Sekali ini dia menolak menatapku lagi, “Aku ingin mendampingi
seseorang yang ingin bersamaku di lembah bunga itu. Seseorang yang bersedia
menemaniku, yang mengobati kesendirianku. Kamu pergilah, bertaut pada bintang
demi bintang. Jalan kita berbeda. Ada banyak cahaya yang menunggumu. Sedang aku
tetap pada mawar-mawarku.”
Dia tersenyum, menatapku sebelum
akhirnya berbalik pergi. Dibalut hujan yang semakin menderas.
Oh Tuhan, kenapa kakiku membeku?
Kenapa aku tidak berlari menggapainya saat ini? Apakah dia benar, yang kukejar
bukanlah dia, melainkan bintang-bintang itu?
0 comments