Masih ingatkah dirimu? Dulu saat
aku tak sengaja bergumam, melontarkan kalimat itu dari bibirku, bertanya kepada
diriku sendiri, “Apakah dirimu masih mencintaiku?”
Dan kamu, yang saat itu duduk di
sebelahku di bangku yang sama, mendengar gumamanku dan menatapku dengan jenaka,
lantas meletakkan kedua tanganmu disamping kiri-kanan bibirmu, berbisik
kepadaku, “Tentu saja, aku masih dan akan terus mencintaimu,”
Kalimat manis itu, membuat
bibirku mengukir senyum tipis, merasakan pipiku panas.
“Lihat pipimu, merona seperti
tomat yang sudah masak,” kamu tertawa pelan saat itu, amat sengaja menggodaku.
“Kamu tidak seharusnya menjawab
itu..” ucapku malu, menepuk kedua pipiku dengan pelan.
“Kamu benar juga,” kamu terlihat
setuju, mengangguk-angguk, “Karena..dikatakan atau tidak dikatakan, namanya
tetap cinta, bukan?”
Ah, aku ingat, itu adalah kutipan
kalimat penulis favoritku, Tere Liye. Ternyata sejak awal kamu tidak berniat
untuk setuju denganku. Yang kamu ingin lakukan hanyalah menggodaku, membuat
tidak lagi pipiku, tetapi seluruh wajahku memerah.
Kebersamaan kita itu,
mengingatkanku saat pertama kali kita bertemu. Saat tatapan kita berdua tak
sengaja bertemu di lorong sekolah, dan aku hanya bisa menarik nafas, menyadari
betapa tampannya dirimu. Wajahmu, wajah putihmu yang dihiasi dengan alis tebal
dan mata yang hitam, akan tetapi dengan tatapan ramah yang menyenangkan. Rambut
lurus hitam yang sedikit berantakan dan melewati dahi, memberi kesan cool
dengan nyata. Dan kamu menatapku, melewati tirai bulu matamu yang hitam dan
lentik.
Aku sungguh tidak bisa
berkata-kata-walaupun memang tidak ada yang perlu dikatakan-yang bisa kuingat
selain wajahmu waktu itu hanya debaran jantungku yang berbeda dari biasanya,
seakan-akan aku baru berlari kencang selama beberapa waktu.
Kali pertemuan pertama kita,
tidak dibiarkan terlupakan begitu saja, kita begitu sering berpas pasan
diantara rak-rak tinggi yang berisi buku-buku tua di perpustakaan sekolah. Kamu
ternyata menyukai sastra, dan kebetulan sekali aku sedang ingin memperdalam
keingintahuanku terhadap sastra. Benar-benar membuat kita berdua berada di
lorong di antara rak-rak yang sama, hanya saling membelakangi, berjarak
beberapa senti.
Saat itu, setelah beberapa kali
pertemuan kita, di tempat yang sama, dan masih saling memunggungi, aku secara
tak sengaja bergumam, “Oh indahnya!” saat membaca salah satu puisi dari penulis
tanah air, Chairil Anwar. Dan aku secara tak sengaja mundur selangkah,
membuatku menabrak punggungmu.
Kamu terkejut-tentu saja. Begitupun
aku, hingga tak sengaja menjatuhkan buku kecil itu. Tetapi aku terlalu salah
tingkah untuk mengambil buku itu, dengan gugup aku menatap matamu-yang juga
menatapku terkejut sekaligus bingung-kemudian berbisik lirih, “Maaf, enggak
sengaja..”
Apa yang kudapati saat itu?
Sudut-sudut bibirmu tertarik berlawanan ke atas, mengukir sebuah senyum-yang
tidak hanya membuatku lega tetapi juga membuatku merasakan desir yang aneh,
desir yang seperti kau rasakan saat kau duduk di mobil dan mobil itu meluncur
dari ketinggian dan menuju kebawah dengan cepat-dan senyum itu-Oh! Senyum itu
membentuk dua lesung pipi di kanan dan kiri pipimu, membuatmu begitu menawan,
menambah keramahanmu yang telah tercetak jelas sebelumnya.
Kamu lalu mengambil buku itu,
mengembalikannya kepadaku, “Apakah kamu menggemari karya Chairil Anwar?”
bukannya menanggapi permintaaan maafku, kamu malah lebih tertarik untuk
membahas Chairil Anwar. Aku mengangguk gugup, berusaha menghindari tatapan
ramahmu itu, “Sebenarnya aku baru mencoba membacanya, dan isinya sangat bagus,”
“Tidak heran, dia penulis hebat.
Aku juga sangat menggemari puisi-puisi karya beliau-“ dan sisa waktu istirahat
itu kita habiskan dengan mengobrol tentang Chairil Anwar, hingga kemudian
petugas perpustakaan mengusir kita berdua, mengomel betapa ributnya kami,
mengobrol di perpustakaan. Aku seharusnya sangat jengkel saat itu, karena
setahuku kami hanya berbisik-bisik. Tetapi saat menatapmu yang dengan tenang
keluar dari perpustakaan dan bahkan sebelumnya mengucapkan permintaan maaf ke
petugas galak itu dengan manis, semua rasa jengkelku luruh, dengan cepat
digantikan dengan rasa bahagia yang tak terbilang.
“Maaf-maaf membuatmu terusir dari
perpustakaan dan membuang waktumu membaca,” katamu waktu kita berdua keluar
dari perpustakaan.
Aku terperangah, “Harusnya aku
yang meminta maaf, jika aku tidak menabrakmu dari belakang, kita akan tetap
sibuk membaca,”
Dia terkekeh pelan, lantas
berkata dengan misterius, “Aku tidak menyesal kau menabrakku,”
Kita bersenang-senang disisa
waktu istirahat saat itu, kamu kemudian sadar bahwa kita belum berkenalan sama
sekali. Setelah kita tertawa geli dan berkenalan, aku baru tahu kamu adalah
seniorku. Tetapi bagimu itu tidak masalah, kamu hanya berkata untuk tidak perlu
memanggil dirimu dengan sebutan resmi seperti yang biasa dilakukan.
Aku, yang seakan amat terhipnotis
oleh tingkahmu yang selalu tak terduga, hanya mengangguk, memasang senyum yang
kuharap adalah senyum termanis yang pernah dilihatmu.
Kita belum mengenal dekat, akan
tetapi, beberapa minggu kemudian, kamu kemudian memintaku untuk menjadi
kekasihku. Dengan cara yang unik, membacakan penggalan dari soneta Shakepeare.
Those lines that I before have writ do lie,
Even those that said I could not love you dearer;
Yet then my judgment knew no reason why
My most full flame should afterwards burn clearer.
But reckoning Time, whose million'd accidents
Creep in 'twixt vows and change decrees of kings,
Tan sacred beauty, blunt the sharp'st intents,
Divert strong minds to the course of altering things;
Alas, why, fearing of Time's tyranny,
Might I not then say 'Now I love you best,'
When I was certain o'er incertainty,
Crowning the present, doubting of the rest?
Love
is a babe; then might I not say so,
To give full growth to that which still doth
grow?[1]
Di akhir kalimatnya itu, kemudian kamu menanyakannya kepadaku, dengan
nada yang selembut beledu, sehalus sutra, mengalun bak piano yang berdentang, melewatiku
bagai genta angin yang lembut, “Maukah kau menjadi kekasihku?”
Aku tentu saja mengangguk, sangat
menerima permintaan itu. Tapi tak ayal, akhirnya tawa yang sudah kutahan sejak
awal akhirnya meledak juga. Aku tidak tahan dengan tingkahmu saat membawakan
soneta Shakepeare. Bukannya aku ingin merendahakan kamu saat itu, kamu sendiri
sudah mengikuti berbagai kompetensi membaca maupun menulis puisi dan menyabet juara.
Aku hanya merasa tingkahmu yang terlalu romantis dan kuno itu sangat
menggelikan.
Kamu, untungnya tidak
tersinggung, malahan kamu ikut tertawa bersamaku. Mengatakan itu hal terkonyol
tapi juga terbaik yang pernah kamu lakukan untukku.
Setelah tawa kita mereda,
ternyata kejutan untukku tidak sampai disitu. Kamu tiba-tiba saja mengeluarkan
sebuah bungkusan dari tasmu, kotak persegi panjang berwarna biru-warna yang
kamu tahu adalah warna kesukaanku.
Aku perlahan membuka kotak itu
dan terpekik kegirangan, kamu memberiku apa yang tak pernah kuduga. Sebuah buku
bersampul kulit berwarna cokelat, dan judulnya dibordir dengan indah oleh
benang-benang tebal, Soneta William Shakepeare.
Sekejap, setelah aku pulih dari
rasa girangku, aku menatapmu yang sedang menatapku dengan tatapan penuh kasih
sayang-yang selama ini adalah tatapan yang selalu kamu tahan.
Aku bertanya ragu, “Ini mahal
bukan?” Dari sampulnya saja, sudah sangat jelas ini barang yang cukup mahal.
Apalagi soneta ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan buku ini
tidak ada di kota ini, tetapi berada di
luar pulau ini.
Kamu menggeleng, tersenyum,
“Percayalah, ini tidak semahal yang kamu pikirkan. Lagian, aku benar-benar bahagia
dapat memberikanmu ini, apalagi yang bisa kuberi?”
Aku ikut tersenyum, menggerlingnya
dengan jail, “Tentu saja kau bisa memberiku cinta. Terimakasih-oh! Sungguh
terimakasih!” aku memeluk lehermu erat, menyandarkan kepalaku di dadamu.
Perlahan, aku dapat merasakan kamu membalas dekapanku dengan lembut, mengucap
betapa beruntung kamu bisa memilikiku.
Hari-hari yang ku jalani
bersamamu adalah hari yang indah dan menyenangkan. Dan kuharap kamu pun
merasakan hal yang sama. Ketika kamu mengatakan dirimu beruntung karena
memiliku. Aku merasa lebih beruntung lagi. Aku bukanlah gadis yang cantik, aku
bahkan hanya berkulit sawo matang, tidak putih seperti kamu. Tetapi kamu tampak
tak perduli, kamu selalu menenangkanku dengan kata-kata sepele saat aku mengeluhkan
kekuranganku, “Kamu adalah wanita tercantik bagiku-setidaknya setelah Ibuku,
sungguh, aku tidak tahu apa yang kamu keluhkan sayang. Dirimulah yang aku
cintai, bukan kulitmu, bukan fisikmu,”
Saat aku bertanya apa yang
membuatmu menyukaiku diantara wanita lain, kamu tidak langsung menjawab,
melainkan menampakkan senyum yang selalu membuat hatiku bergejolak penuh
perasaan dan membetulkan anak rambut ikalku yang jatuh ke dahi, membawanya
kembali kebelakang telinga. Barulah setelah itu kamu menjawab, menatap lembut mataku
yang sudah sangat dekat dengan matamu, “Aku tidak tahu, mijn liefde[2].
Yang aku tahu adalah, saat pertama kali menatapmu di lorong itu, aku merasa
seluruh beban di pundakku mengudara. Aku merasa bahwa aku harus terikat
kepadamu agar aku dapat merasa sebebas kupu-kupu. Dan saat kita bersama di
antara rak-rak perpustakaan itu, aku sudah merasa bahwa tak ada lagi yang harus
kukhawatirkan. Hanya karena kamu bersamamu,”
Seketika aku merasa luluh. Bahwa tanpa kusadari air mataku
menggenang. Kata-kata indah itu, kata-kata yang kamu ucapkan dengan tulus, tak
ayal membuatku jatuh cinta lagi kepadamu, untuk kesekian kalinya.
Sayangnya semua itu tinggal
kenangan. Akhirnya, saat itu tiba. Waktu itu aku menunggumu, menatap langit
yang segelap perasaanku, menatap rintik hujan yang seakan mewakili air mataku.
Di taman itu, di taman kecil yang
menjadi favorit kita berdua. Aku harus menyampaikan apa yang memang harus
kusampaikan. Karena aku tidak ingin egois. Aku tidak ingin merusak hubunganku
dengan orang-orang terkasihku hanya karena keinginanku-untuk terus bersamamu.
“Hai,” walaupun waktu itu hujan,
kamu tetap datang, seperti yang memang selalu akan kamu lakukan. Karena kamu
tidak pernah mengingkari janji.
Aku tersenyum, akan tetapi tidak
sanggup membalas sapaanmu.
“Maaf sedikit telat,” katamu,
mengangkat kantong plastik sebagai alasanmu, “Tadi aku singgah membeli chocolate
hangat, supaya kamu bisa menghangatkan diri,”
Aku mengangguk, merasa ingin
menangis karena kamu mengingat minuman kesukaanku dan bahkan membelinya di
tengah hujan, kupaksakan diriku berbisik, “Duduklah,”
Kita berdiam diri lama, hanya
menikmati minuman masing-masing dan menatap hujan yang sejak tadi tetap
gerimis. Kamu mungkin waktu itu menganggap ini hanyalah kencan biasa.. Akan
tetapi aku jelas tahu ini sama sekali berbeda. Aku hanya tidak sanggup
mengatakan apapun.
Lima belas menit, aku akhirnya
berdehem, memanggil namamu. Kamu menatapku, masih dengan tatapan yang
menyenangkan sekaligus penasaran. Demi melihat tatapan itu, aku berpaling,
sungguh, aku tidak akan pernah lagi sanggup menatap mata itu.
“Kupikir.. aku.. aku ingin kita
mengakhiri semuanya sampai disini saja,”
Dari sudut mataku, aku dapat
melihat kamu berhenti menyesap minuman yang sejak tadi kamu teguk secara
perlahan, menatapku semakin tak mengerti.
Aku mengangguk, menegaskan
perkataanku, “Kita putus. Aku ingin putus,”
Perlahan, akhirnya kamu mulai
mengerti arah pembicaraanku, “Kamu jangan bercanda,”
“Aku enggak bercanda,” aku
akhirnya berpaling menatap mata gelapmu saat itu, sambil berusaha menahan agar
air mataku tidak merebak, “Tapi aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kita,”
Kamu membelalak menatapku,
menggeleng-gelengkan kepalamu, “Kenapa? Apa aku menyakitimu?”
Aku menghela nafas, menggigit
bibir bawahku demi menahan agar bibirku tidak bergetar.
“Kenapa?” bisikmu sekali lagi,
aku sangat bisa merasakan suaramu yang terdengar sangat sedih, “Aku benar-benar
menyakitimu? Katakan saja. Aku berjanji akan berusaha menebus kesalahanku,”
“Anata[3]...”
suaraku bergetar, “Kamu enggak salah,”
Dia menatapku, menanti jawaban.
Perlahan, aku akhirnya menjelaskan semuanya, “Kamu tahu sahabatku kan? Yang
sebangku denganku? Dia adalah temanku sejak kami masih di taman kanak-kanak.
Kami bertetangga.
“Waktu itu..aku sedang piket dan
membersihkan laci-laci meja. Saat aku sampai di meja kami berdua, aku tak
sengaja melihat sebuah buku di laci mejanya. Aku menyadari bahwa itu adalah
buku diary dari tampilannya. Karena iseng, aku pun membacanya.
“Tahukah kamu? Ternyata dia
mencintaimu! Dia mencintaimu bahkan sebelum kita bertemu di lorong sekolah itu.
Dan dia.. dan dia harus merelakan dirimu dengan aku. Kamu tahu, betapa sakitnya
aku saat membaca halaman demi halaman diary-nya. Mecintai kamu, sepanjang hari.
Menatap penuh kecemburuan saat kita berdua bersama, dan diapun harus berada
disisiku! Apa yang telah kuperbuat? Aku begitu jahat kepadanya! Dia sudah
memendam perasaan begitu lama, tanpa pernah terbalaskan hanya gara-gara aku,
sahabatnya sendiri”
Aku menghela nafas marah kepada
diriku sendiri. Andai saja aku tidak membaca diary-nya. Mungkin semua ini akan
baik-baik saja. Tetapi aku juga bersyukur karena telah membaca diary-nya.
Sehingga aku tidak perlu menyakiti perasaan sahabatku lebih lama lagi.
Kamu terpana selama beberapa
saat, lalu menggelengkan kepalamu lagi, “Itu alasan yang sangat klise. Dia bisa
menerimanya, aku yakin lambat laun dia akan-“
“Tidak. Dia tidak akan. Kamu
adalah cinta pertamanya. Dan aku sangat menyesal karena merusak segalanya. Ya
Tuhan, kumohon mengertilah, dia adalah sahabatku, sahabatku sejak kecil! Aku
tidak ingin menyakitinya hanya karena kami mencintai orang yang sama. Kita
putus oke? Aku minta maaf, tapi kumohon hargai keputusanku. Aku tidak ingin
memalsukan ikatan persahabatan kami dan akhirnya merusaknya hanya karena hal
sepele seperti ini,”
Kamu tidak menganggapi seluruh
kalimatku saat itu. Hanya diam menatap butir-butir air mata yang jatuh ke
pipiku.
“Aku tidak bisa.. Sungguh, aku
tidak bisa meninggalkanku,” ujarmu pada akhirnya, semua keramahan dalam tatapanmu
telah hilang, tergantikan oleh tatapan pedih.
“Demi aku..demi sahabatku..”
Lama, akhirnya kamu menghela
nafas, memalingkan wajahmu ke arah luar pondok kita di taman. Aku benar-benar dapat
melihat matamu yang memerah, dan kamu menggigit bibirmu.
“Apakah kamu yakin?” tanyamu
dalam bisikan, suaramu begitu rapuh, seperti kaca yang retak.
“Aku sudah yakin sejak
lama..dan..” aku membuka tasku, mengambil sebuah bungkusan, kotak berwarna
biru-warna kesukaanku yang kamu tahu persis, aku menatapnya lama, merasakan
semua kenangan menerobos pikiran.
“Ini..” akhirnya kuberikan
bungkusan itu, mendorong ke arahmu, “Soneta yang kamu berikan saat...saat
pertama kali kamu memintaku jadi kekasihmu. Ini adalah ikatan kita berdua
selama menjadi sepasang kekasih. Dan saat hubungan kita berakhir.. sebaiknya
ini kukembalikan lagi padamu,”
Dengan cepat, kamu menunduk
menatap bungkusan itu, lagi-lagi menggeleng, mendorong kembali bungkusan itu ke
arahku, “Tidak. Jangan, jangan kembalikan barang ini kepadaku. Biarlah ini
tetap bersamamu. Biarlah ini menjadi pengingat, saksi, bahwa aku masih dan
tetap mencintaimu..”
Kamu berdiri, dan sebelum
melewatiku, kamu berdiam sebentar, menggenggam tanganku yang berada diatas
bungkusan tersebut, “Ich liebe dich[4].
Walaupun hubungan kita telah berakhir. Aku akan selalu mencintaimu,
menyayangimu. Tidak ada orang lain. Kamu adalah satu-satunya. Ich liebe
dich. Aishiteru.[5]”
Akhirnya kamu berbalik, melangkah
pelan keluar pondok, menembus hujan dan akhirnya menghilang diujung jalanan.
Aku terisak, memeluk kotak biru yang berisi buku
kumpulan Soneta itu, “Terimakasih..Sungguh terimakasih. Aku juga sangat
mencintaimu..”
[1] Soneta
115
[2] Cintaku
(Belanda)
[3] Kamu
(Jepang)
[4] Aku
cinta kamu (jerman)
[5] Aku
cinta kamu (Jepang)
***
Cerita pendek ini, cuma cerita. Bukan untuk siapapun dan bukan untuk apapun. Saya benar-benar enggak menyangka cerita ini dapat diselesaikan dalam satu hari. Untuk kesalahan bahasa asing, kalo ada, saya minta maaf :v .Beberapa ide cerita ini terinspirasi dari kilasan pengalaman nyata saya. Baik sifat, karakteristik, fisik tokoh, maupun kejadian-kejadian dan latar tempat.
0 comments