Waktu kita kecil, saat kita melakukan
kesalahan, kita tinggal menangis dan masalah pun selesai. Waktu kita kecil,
saat kita dimarah, kita tinggal menangis dan masalah pun selesai.
Waktu sudah lama berlalu sejak masa itu.
Jiwa anak kecil itu masih ada. Tetapi kita
tidak dianggap anak kecil lagi. Setidaknya bukan aku yang sudah 20 tahun
menginjak bumi. Kita sudah ditamengi kedewasaan.
Menangis tidak menyelesaikan apapun.
Mungkin ini alasan mengapa banyak orang
merindukan masa kecilnya, ketika menyelesaikan masalah semudah menangis.
Jiwa anak kecil itu masih ada, hanya
terkubur dalam sinisnya kedewasaan.
Karena terutama, kita tidak mungkin
menangis di tengah-tengah kerumunan dan berharap orang lain menyelesaikan
masalah kita.
Kita memilih memberi ruang pada diri kita
sendiri, berdiam di sudut kamar. Berusaha tidak melontarkan satupun isakan di
antara derai yang ada. Berusaha sesenyap mungkin meskipun rasanya ingin
meneriakkan semua keluh kesah, hanya agar sekedar orang lain tahu yang kita
rasakan.
Tapi kita memilih menahan. Berlagak tidak
ada yang terjadi saat orang-orang mengelilingimu atau memanggilmu. Mengerjapkan
mata untuk menghalau air mata sebelum akhirnya keluar dari kamar dan menyapa.
Berpura-pura sejenak, hingga akhirnya
kembali mendapat ruang untuk diri sendiri dan menunjukkan kelemahan.
Dan jiwa anak kecil itu memang masih
terlalu banyak menguasai. Hanya bisa menangis dan menolak menyelesaikan
masalah.
Mungkin besok kedewasaan akan
menyelesaikan masalahnya. Mungkin beberapa jam lagi kedewasaan akan mengusir si
anak kecil dan mulai menata perasaannya agar tidak terlalu buruk.
Tapi bukan sekarang.
Sekarang kedewasaan terlalu iba melihat
jiwa anak kecil itu, sehingga membiarkannya melampiaskan apa yang ia mau.
Tidak sekarang. Mungkin nanti, saat anak
kecil itu berhenti menangis dan menyadari tidak ada yang bisa ia lakukan selain
menyerahkan masalah itu kepada si dewasa.
0 comments