Cerita ini sebenarnya sudah lama sekali. Kuketik 4 tahun lalu, tepatnya pertengahan 2014. Ya, saat aku masih akhir kelas 3 SMP atau mungkin saat liburan kelulusan SMP.
Sama seperti orangnya, isi cerita ini aneh. Bahkan aku terbahak saat membaca warning di halaman pertama,
Biar kutulis keterangannya di bawah :
Ini adalah cerita paling aneh, tidak jelas dan membosankan. Mungkin banyak yang tidak akan mengerti dan merasa jengkel dengan ceritanya. Karena cerita ini sejatinya hanya kosong dan tidak berisi apa apa dan membosankan dan tak akan ada yang mengerti. Cerita ini adalah cerita yang telah tersimpan amat lama di hati saya dan saya hanya ingin mengeluarkannya, walaupun menuliskannya sangat sulit, hingga cerita ini menjadi seperti ini, datar dan tidak ada perasaan yang tersampai untuk orang yang membacanya. Jadi untuk menghindari kekecewaan dan sejenisnya, sebaiknya jangan dibaca.
Ngakak ya :v
Bertahun-tahun, aku sempat lupa sama cerita ini. Tapi tadi pagi tiba-tiba saja teringat dan ingin membaca lagi cerita ini. Aku pun bergegas membuka laptop--sempat khawatir juga cerita gaje ini sudah di hapus. Ternyata belum. Jadi sekalian saja, di post di blog.
Ngomong-ngomong, judulnya bahkan jauh lebih panjang daripada yang di atas.
Judul aslinya adalah : Sepotong Kisah Untuk yang Tak Pernah Tergapai, Atau Mungkin Seharusnya Tergapai?
Nah iya, dari judulnya udah berbelit-belit. WHAHAHAHAHA.
Selamat menjemput kebosanan :v
***
Diriku
hanya bisa diam, tak bergerak, bahkan saat dia datang kepadaku sekalipun, aku tidak
mengacuhkannya.
“Apa
yang sebenarnya kau rasakan?” tanyanya, aku tak menjawab, tetap berbaring dan
menatap langit-langit ruangan.
“Kenapa
sepertinya, kau merasa begitu pahit?” tanyanya lagi.
Sunyi.
“Karena
aku melihatnya..” entah mengapa akhirnya aku meluncurkan jawaban, dan karena
sudah terlanjur, aku memutuskan melanjutkan. “Karena aku melihatnya.. karena
dia menatapku, karena aku bisa mendengar suaranya, bisa merasakan keberadaannya,
dia selalu di sisiku..
“Tapi..”
kali ini aku menjulurkan tanganku ke atas, seakan-akan berusaha menyentuh
sesuatu. “Aku, tak akan pernah bisa menggapainya..”
Dia
hanya diam, jadi aku melanjutkan, “Rasanya seperti ada dinding keraguan di antara
kami, keraguan, juga perasaan dan ingatan yang hilang,”
Aku
bisa merasakan tatapan tajam dirinya. “Kau akan selalu...selalu bisa
menggapainya, kau mungkin bisa menghancurkan dindingnya, atau memanjat
dindingnya, meledakkannya? Kau pasti bisa mengulang semua kembali..”
“Semua
yang terulang akan selalu berbeda, akan selalu berbeda, perasaannya akan tumbuh
sebagai perasaan yang lain, dan itu bukanlah..keinginan batinku.”
“Tidak
akan-“
“Tinggalkan
aku sendiri” potongku.
“Tidak,
kau harus mendengar-“
“Tinggalkan
aku sendiri!”
“Kau
harus-“
“Tinggalkan!”
aku merenggut selimutku, menutup keseluruh tubuhku dan mulai menangis. Dia
menyerah dan meninggalkan rumahku.
Semuanya
benar, keluargaku benar, dia benar, warga kota ini benar, aku memang gila, aku
memang sudah tidak waras, tidak normal.
***
“Halo..”
bisikku, entah terdengar atau tidak di dalam balutan gerimis ini, tetapi ternyata
dia juga menjawab, terdengar suara selembut beledunya di ujung telepon. Halo. Sungguh, itu membuat aku nyaris
kehilangan keseimbangan, kakiku terasa ringan tak bertulang, saat itu juga aku
sadar, betapa aku merindui suaranya segenap aku membutuhkannya.
“Maaf, dengan siapa?” tanyanya lagi, saat
aku tidak lagi berbicara.
“Berbicaralah,
aku ingin mendengar..nya”
Diam,
kemudian terdengar suara lagi. “Maksudmu?”
“Berbicara
sajalah..”
“Maaf, saya sedang sibuk-“
“Jika
kau pergi, maka kau akan kembali kan?” selaku akhirnya, mencoba membuka
percakapan, aku tahu ini percakapan yang aneh.
“Eh?” hanya itu yang terdengar.
“Pulanglah,
jika... dirimu berkenan..” itu lebih seperti sebuah pertanyaan.
“Tunggu dulu‒ini siapa?”
“Aku...yang
mungkin tak pernah kau mengerti,”
“Apakah ini kau? Apakah ini dirimu?”
tanyanya tiba-tiba. Tanpa bisa kutahan, senyum mulai mengembang di wajahku. Aku memejamkan mata dan menengadah ke langit kelam, membiarkan gerimis menerpa
wajahku. Aku tahu yang dimaksud dia adalah aku.
“Mungkin
sebenarnya kau mengerti, selalu mengerti..” bisikku.
“Ada apa?” dia terdengar serius, seperti
dirinya yang biasa, selalu saja menuju yang paling inti. Tetapi di sisi lain
suaranya selalu menenangkan dan menyenangkan, merengkuh aku ke dalam kehangatan.
“Ada
perasaan aneh pada diriku hari ini..” jawabku, menikmati udara dingin di
sekelilingku, juga menikmati suaranya, yang terdengar amat dekat.
“Apakah kau merindukanku?”
Tebakannya
selalu saja...benar.
“Aku
mengakui, tetapi aku lebih membutuhkanmu daripada merindukanmu..”
Dia
tidak membalas, jantungku entah mengapa semakin meronta. Ini pertama kalinya
kami saling berbicara setelah sebulan yang panjang.
“Sekali
lagi, pulanglah.. jika kau punya waktu, walaupun kepulanganmu adalah yang untuk
terakhir kali”
“Mengapa?” terdengar bisikan pelan, aku
menghela nafas, tidak lagi mendongakkan kepalaku.
“Karena
kau satu-satunya tali untuk aku berpegangan.. rasa takut menjadi kabut di
sekelilingku, tidak ada tempat bagiku untuk menghirup udara, tidak ada tempat
bagiku untuk menahan diriku agar tidak jatuh, tak ada yang mau merelakan..
bahkan hanya dalam waktu yang sesingkat cahaya datang.. Di sini
aku sendiri dan.. hampa, disini aku merasa dingin, disini aku merasa gelap.
Karena semuanya sudah pergi.. bahkan dirimu sendiri, atau mungkin diriku juga?”
Aku
mulai bingung dengan perkataanku sendiri, disana dia lagi-lagi diam.
“Ada kekasih lamamu, yang akan menjadi
perisaimu, pelindungmu..” akhirnya dia membalas, melanjutkan kata-kata
tidak jelasku.
“Sudah
kubilang, dirinya dan diriku telah dibatasi oleh dinding perasaan perasaan..
sudah kubilang, semuanya sudah pergi.. dan tak ingin ada yang kembali,
kepadaku.”
Hujan
semakin deras, dan angin malam mulai terasa menusuk ke dalam tulangku, menembus
kulitku.
“Tadi
kau bilang kau sibuk bukan?” ujarku lagi mengubah topik, “Maaf mengganggumu,
selamat malam-“
“Apakah kau sedang di luar?” potongnya,
sangat tepat waktu karena aku nyaris saja menutup telepon.
“Ya..”
“Apakah hujan?”
Kenapa
dia harus tercipta sebagai makhluk dengan tingkat pengamatan yang tinggi?
“Ya..”
“Masuklah, nanti kau basah kuyup..”
“Aku
menikmatinya, rasanya sama dengan segala sesuatu yang mengekang diriku dalam
kesendirian diriku..”
Dia
diam amat lama, hingga kupikir dia sudah tertidur tanpa disadarinya, saat
tiba-tiba saja suaranya muncul lagi kepermukaan, “Hatimu telah tersakiti, jadi jangan biarkan fisikmu tersakiti juga..”
kali ini suaranya terdengar lirih dan sedih, aku tertegun.
“Aku tutup telepon, masuk ke dalam rumah ya,
hangatkan tubuh dan perasaanmu..”
Tut..tut..tut..
Telepon
benar-benar di tutup, dan aku hanya bisa menghela nafas, merasa semakin kosong.
Ini
seharusnya menjadi percakapan singkat yang amat berarti.
***
Dia
akhirnya benar-benar pulang, itu terjadi dua hari setelah aku meneleponnya, aku
terbangun dari tidurku dan mendapati dia sedang menatapku. Tatapan dalam dan
menenangkan, walaupun matanya segelap malam. Ingin sekali aku memeluknya saat
itu juga, tetapi entah mengapa semua tubuhku terasa kaku, mulutku juga terasa
kaku untuk mengucapkan sekedar selamat datang, seakan-akan ada seribu tali baja
yang menahanku, jadi aku hanya beringsut untuk mandi.
Dan
siklus itu terus terjadi beberapa hari setelahnya, seperti dulu saat dia
di rumahku, aku hanya diam, hanya berbicara jika penting (dan itu artinya hanya
satu percakapan dalam sehari), juga, tidak berani menatapnya, aku bersikap
seperti semula, menjadi seseorang yang acuh tak acuh pada apapun.
Dia
juga tidak banyak bicara, hanya sering sekali menatapku, sampai akhirnya
seminggu setelah dia datang, dia pamit pulang.
“Terimakasih
sudah datang..” ucapku pelan saat kami di depan pintuku. Dia tidak membalas, hanya menatap burung elang di kejauhan.
“Aku
pergi..” tuturnya, yang biar bagaimanapun terdengar pedih, aku baru saja
berpikir itu ucapan selamat tinggal saat dia melanjutkan. “Aku pergi dan dia
menyerukan namaku.. Aku pergi dan dia mencariku, aku pergi dan dia menarikku..”
Badanku
mulai tegang, seakan-akan aku mengerti apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“Maka aku kembali ke dalam dirinya. Tetapi saat aku kembali, dia menjauh, saat
aku kembali, dia membisu, saat aku kembali, dia seakan tak dapat melihatku..
saat aku kembali, dia menganggapku sebagai angin..”
Kali
ini aku sepenuh tak bergerak, bahkan aku tak sadar aku tak bernafas. Dia tetap
menatap kejauhan.
“Jika
aku pergi, maka hujan akan turun dan menjadi banjir besar, tetapi jika aku
kembali, maka segalanya akan menjadi sekering tandus, lantas, dimanakah
seharusnya aku berada? Selama ini aku juga tak akan pernah bisa menggapai.. apa
yang seharusnya bisa kugapai,” dan dengan kalimat terakhirnya itu, tanpa
menatapku, dia pergi meninggalkanku. Meninggalkanku bersama semua perasaan
pahit yang membanjirinya. Meninggalkanku..sendirian.
Angin
kencang berhembus menerpa wajahku dan hujan mulai turun, semakin deras di tiap
detiknya, aku merasakan perasaan dingin di seluruh tubuhku, juga perasaan
kebas, perkataannya barusan terngiang-ngiang dalam pendengaranku, membuat
segalanya terasa mati. Dan aku hanya bisa diam selama beberapa waktu yang lama.
Aku
telah kembali melakukan kesalahan, dan aku tidak ingin terjadi. Aku tidak ingin
lagi diriku kehilangan apa yang seharusnya menjadi milikku.
Dengan
satu sentakan, aku tersadar dan berlari menerobos hujan, berlari melewati tanah
yang licak, tidak perduli saat aku terjatuh dan kakiku berdarah, tidak berusaha
mengambil sandalku yang terlepas dan terbenam ke dalam lumpur, aku terus
berlari mengejarnya, kali ini aku tidak boleh terlambat, tidak boleh.
Itu dia, pikirku, sedang berjalan menuju
pelabuhan, aku berlari semakin kencang, saat jarak kami tinggal satu meter
lebih, dia menyadari ada yang mengikutinya dan menoleh kebelakang, membuat aku
berhenti mendadak dan terjatuh lagi, dengan bergegas aku berdiri, menatapnya
ragu.
Dia
berbalik dan menatapku balik, dengan tatapan sedatar dinding.
“Aku
menyadari..” gumamnya pelan, tetapi cukup terdengar jelas pada diriku, “Kau
memang gila. Selalu berubah-rubah setiap waktu, mengikuti keegoisan yang terus
tumbuh,”
Aku
hanya diam, meremas-remas ujung pakaian kotorku, merasa amat gugup.
“Kita
berdua mungkin memang harus saling pergi menjauh, aku agaknya menyesal bertemu
denganmu...” kali ini ucapannya terdengar tajam, aku sangat terkejut dengan
ucapannya hingga mundur kebelakang, air mataku mengalir, menyebut namanya.
“Selamat
tinggal..” dan lantas dia berbalik, mulai melangkah lagi.
Tetapi
aku tidak rela, tidak akan rela. Dengan sekali gerakan aku berlari menyusulnya
dan memeluknya dari belakang, tak akan kubiarkan dia pergi.
BUKK!!
Ternyata
aku terlalu keras menabraknya, jalan yang licin dan becek membuat kami berdua
jatuh, dia mengaduh kesakitan, tetapi aku tidak melepas dekapanku.
Tangisanku
semakin kencang, dia mencoba berbalik dan membuat kami berdua duduk, entah
bagaimana aku tetap berhasil mempertahankan pelukanku, bedanya, kali ini aku
juga berada dalam dekapan ringannya.
“Jangan
pernah pergi..,” isakku, mempererat pelukanku, “Jangan pergi setelah kau
memberi cahaya kepadaku, aku tidak ingin mengalami kurungan yang dingin, yang
kelam, dan menyesakkan. Aku tidak ingin kau hilang dan aku menjadi lebih gila
daripada yang mereka katakan, daripada yang bisa kutanggung, kumohon... jangan
pernah tinggalkan aku” tubuhku bergetar menahan tangis yang tak berhenti, dan
beberapa saat kemudian aku merasakan pelukannya semakin kuat sehingga aku
menengadah, menatap matanya yang berkaca-kaca.
Apakah
dia juga menangis?
***
Okeeeee. Bagaimana? Seaneh apa ceritanya? Bahkan sepotong nama pun tidak ada di sana. Hahaha.
Awal cerita ini sebenarnya tentang seseorang gadis yang jadi depresi karena ditinggal kekasihnya pergi. Bukan depresi ala-ala yang menggemaskan itu ya. Tapi benar-benar depresi hingga ke titik yang mengkhawatirkan. Akhirnya, dia tinggal di rumah yang tenang di kota seberang dan menjalani terapi kejiwaan bersama dokter dan perawat.
Singkat cerita, setelah beberapa waktu, tiba-tiba kekasih lamanya yang pergi itu, muncul di tempat dia menjalani terapi. Hal itu membuatnya jadi tenggelam dalam kebingungan. Emang semau hati gue sih buat cerita wkwk.
Jadi cowok yang pulang pergi di rumah si cewek itu adalah si dokter. Dokter jiwa.
Nah, saya memang enggak menuliskan tentang keseluruhan kisah si cewek. Hanya bagian di mana dia berkonflik dengan diri sendiri. Dia pernah mencintai kekasih lamanya. Apakah sekarang masih? Ataukah itu hanya ilusi? Karena rasanya berbeda. Dan tanpa disadarinya, dia jatuh cinta dengan dokternya sendiri. Si dokter juga, jatuh cinta dengan gadis itu.
Kebingungan melahirkan sifat-sifat baru. Sinis, acuh tak acuh. Mereka...sibuk dalam kesalahan mereka sendiri. Sama-sama butuh, tapi gengsi. Sama-sama merindui, tapi sama-sama tersakiti.
Ya, banyak sekali perasaan yang kutuang dalam cerita ini dulu. Rindu, pengharapan, kebingungan, kemarahan, keinginan untuk peduli, masih banyak lagi. Tentang pergi, tentang pulang. Tentang arti sebuah rumah yang sebenarnya, tempat kita untuk kembali.
Ngomong-ngomong, latar tempat cerita ini saya ambil dari game Harvest Moon Friends Of Mineral Town. Ya, sebagian besar dari kalian pasti tahu game legendaris tersebut. Jadi bisa dibayangkan bagaimana rumahnya, halaman kebun, serta jalan menuju pelabuhan/pantainya. Saya dulu suka sekali bermain game itu sampai-sampai tidak bisa memikirkan tempat lain sebagai latar.
Dan juga, cerita ini terinspirasi dari cerita di blog Annesya (salah satu blogger favoritku).
Inti ceritanya sama : Jangan jatuh cinta dengan orang gila.
0 comments