cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
- Sapardi Djoko Damono (1980)
***
meraung, tersedan, atau terisak,
meski apa pun jadi terbalik di dalamnya;
barangkali ia hanya bisa bertanya:
mengapa kau seperti kehabisan suara?
- Sapardi Djoko Damono (1980)
***
Aku adalah cermin yang sempurna.
Tubuhku ramping dan mulus, di sangga
oleh bingkai kayu berukir indah. Dan sifatku tidak pernah tercela—aku selalu
jujur apa adanya dengan semua yang kulihat. Aku tidak pernah berbohong.
Dulu aku tinggal di sebuah
ruangan yang penuh dengan cermin-cermin lainnya. Disanalah aku dapat melihat
pantulan diriku. Kemudian, suatu hari, seseorang membawaku pergi dan
menggantungku di dinding, tempat sekarang aku berada.
Di sinilah hidupku berubah.
Aku berada di ruang tidur seorang
gadis kecil, pemilikku sekarang. Dia gadis kecil yang manis. Hari pertama aku
tergantung di dinding kamarnya, dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menatap
dirinya melewatiku.
Hari-hari yang kulewati tidak
lagi membosankan. Detik demi detik berlalu kuhabiskan untuk menunggunya
menyapaku. Aku hapal rutinitasnya. Di pagi hari, dia akan bersisir, memakai
bedak, seragam sekolah, dan tersenyum lebar, semangat menanti hari. Di sore
hari, dia akan menatapku sambil mencibir kepada dirinya sendiri, mengomel
dengan wajah kusamnya. Dan di malam hari, dia akan menyisir rambutnya perlahan
hingga benar-benar halus, memakai entah apa di wajahnya, dan tidur.
Ada juga saat-saat spesial yang
selalu kusukai, di mana dirinya akan memakai gaun-gaun indah dan mematut diri.
Aku akan melihatnya menari-menari di sekitarku, tertawa senang.
Waktu terus merangkak dan tanpa
kusadari, gadis yang kusayangi tersebut telah tumbuh semakin dewasa. Dia memang
masih cantik—bahkan semakin cantik. Dia juga masih sering memandangiku. Tapi
ada yang berubah. Aku mengenalnya lebih dari apapun—dan aku melihat kesedihan
yang semakin mendalam dari waktu ke waktu di bola matanya.
Pernah suatu hari, tanpa pernah
kumengerti, dia mendatangiku. Menatapku lama sekali. Aku tidak tahu apa yang
dia pikirkan, karena matanya menerawang. Tubuhnya memang di sini, tapi tidak
dengan jiwanya. Lantas, dengan perlahan, denting air mata pertamanya jatuh ke pipi.
Dia tidak menggubris tetes air tersebut. Air matanya terus mengalir—merebak
melewati matanya. Gadisku itu terisak, mengucap kata-kata yang tak kupahami
seraya meletakkan kedua kepalan tangannya di tubuhku, seakan ingin bertahan
dari sesuatu yang menerpa tubuhnya.
Sejak saat itu, hampir setiap
hari dia terus menangis di depanku. Aku rela tubuhku dipukul oleh kepalan
tangannya, agar perasaannya yang remuk itu terlampiaskan, meski tentu saja, aku
tidak tahu menahu apa yang terjadi di luar sana, di luar kami kamar yang damai
dan tenang. Hingga puncaknya, aku mendengar suara-suara yang berbeda. Suara
kemarahan. Suara itu semakin lama semakin dekat dan terdengar pintu kamar
menjeblak terbuka, membuat seluruh tubuhku bergetar. Aku menatap pemilik
suara-suara itu. mereka adalah gadisku dan Ibunya. Begitu jerih melihatnya.
Gadisku menjerit-jerit sedangkan Ibunya membalas berteriak dengan penuh amarah.
Mereka berlomba mencaci-maki, dan tiba-tiba, Ibu itu melakukan sesuatu yang tak
pernah gadis itu maupun aku menyangkanya,
PLAK!
Ibu itu menampar anak gadisnya,
kemudian keluar dari ruangan.
Gadisku terdiam lama sekali. Dan
sejak itulah dirinya benar-benar berubah. Aku mengerti. Hatinya hancur.
Tatapannya telah menunjukkan itu. Aku yakin itu. Sejak awal kami sudah saling
mengerti satu sama lain. Karena aku tidak pernah berdusta terhadap apapun.
Begitu juga dirinya. Di depanku, dia adalah dia. Selalu suci dan jujur.
Di antara semua tatapan sedih,
dia bertransformasi menjadi sosok yang mengerikan. Tetap cantik, tapi tidak
dengan perasaannya. Dia melakukan sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Bibirnya berwarna hitam pekat. Matanya berbayang gelap, dan rambutnya sangat
pendek. Sekarang dia senang memakai pakaian berwarna gelap. Dan bahkan, dia
sering membawa barang di mulutnya yang mengeluarkan asap—aku tidak menyukai
barang itu, karena membuatku rabun penglihatanku.
Saat itu, aku ingin sekali keluar
dari ragaku sendiri. Aku ingin memeluknya erat, menenangkannya, memintanya
bercerita untuk meringankan hatinya. Aku ingin membelainya lembut, sebagaimana
dia membelaiku dulu. Tapi sekuat apapun aku mencoba, cara itu tidak pernah
berhasil. Dia akan tetap diam membeku, menatapku. Dia akan tetap menyeringai
marah, menatapku. Dia akan tetap menangis, menatapku. Semua dilakukannya dan
aku tidak bisa berbuat apa-apa selain
berprilaku jujur.
Aku pikir itu adalah yang terburuk.
Tapi suatu ketika, dirinya tidak datang lagi ke kamar ini. Aku hanya ditemani
oleh kegelapan ruangan. Tak ada lagi yang menatapku. Aku sungguh-sungguh
ketakutan. Dimana gadisku? Kenapa dia tidak kembali lagi? Tak bosan kuhitung
detak jam dinding yang terus bertalu-talu. Satu..dua..tiga. Beribu-ribu
hitungan terus berlanjut, dan dia tidak pernah datang.
Kemudian, ketika aku mulai merasa
lelah, ketika aku sudah merasa pasrah atas semua keadaan, pintu kamar ini
berderit terbuka. Semburan cahaya masuk ke dalam ruangan. Sebuah sosok datang
dan mendekatiku.
Aku terkejut bukan main. Aku sama
sekali tidak mengenali wajah yang balas menatapku itu. Wajah sosok di depanku
hancur. Ada banyak goresan dimana-dimana, ada banyak sobekan dan bengkak
disetiap bagian wajahnya. Sosok yang menatapku ini seperti bukan manusia.
Aku ingin berteriak sekencangnya,
antara takut dan bingung. Aku ingin bertanya kepada sosok di depanku—MANA?!
Mana gadisku? Mana gadis yang selalu menjadi temanku yang sepi sendiri?
Dimana?! Dimana—?!
Lantas aku terdiam. Ragaku dingin
oleh kenyataan yang mengejutkan. Aku menatap matanya yang penuh dengan air
mata. Di sanalah. Aku mengenali tatapan itu. Tatapan sedih yang telah melekat
selama bertahun-tahun. Tatapan yang selalu jujur terhadapku. Tatapan yang tak
pernah membohongi kami berdua.
Kau—?! Bisikku pelan,
memandangnya tidak percaya. Apa yang terjadi?
Gadis itu tidak pernah menjawab
pertanyaanku, tiba-tiba saja dia kehilangan kendali. Berteriak-teriak kalap,
menjerit dan membuatku ingin pecah. Aku sempat melihat air matanya yang semakin
deras sebelum dia mencengkram wajahnya sendiri, menjerit semakin keras.
Orang-orang berdatangan, berusaha memeluknya, tapi gadis tersebut sama sekali
tidak menggubris mereka. Dia lalu menunjuk-nunjukku.
“AKU TIDAK TAHAN LAGI! AKU TIDAK
MAU BEGINI! KENAPA?!” isaknya, semua menatapnya tidak mengerti, termasuk aku.
“AKU MUAK MELIHAT WAJAHKU! AKU TIDAK MAU LAGI MELIHAT WAJAHKU!”
Dan, sebelum semua menyadari apa
yang terjadi, gadis itu melangkah mendekatiku melepasku dari dinding, kemudian.
“PERGI KAU!”
Aku merasakan sebuah sensasi
melayang, benda-benda disekitarku bergerak cepat. Angin melewatiku dengan
kencang...
PRANG!
Semuanya menjadi gelap.
Apakah aku telah salah hanya karena
bersikap begitu jujur?
0 comments