Judul
Novel : The Various Flavours of
Coffee
Penulis : Anthony Capella
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 680 halaman
Robert
Wallis awalnya adalah penulis amatir yang senang bergaya dengan hidupnya. Pada
suatu hari, dia sedang duduk menikmati secangkir kopi murahan—yang dibelinya
dengan berhutang—untuk merenungi hidupnya ketika seseorang bernama Samuel
Pinker menghampirinya. Pinker menawari Robert Wallis sebuah pekerjaan yang
unik—yaitu menyusun daftar kosakata kopi yang kelak menjadi cikal bakal pedoman
pencicipan kopi ‘modern’ yang digunakan seluruh dunia.
Pekerjaan
yang unik untuk orang yang unik pula. Lewat pekerjaan inilah, Wallis jadi
banyak menemukan petualangan untuk merasakan pahit-manis-asam kehidupan. Mulai
dari jatuh cinta, patah hati, defisit keuangan, menghadapi problema politik,
dan banyak lagi hal lainnya. Tak ayal, dia bahkan jatuh cinta kepada putri
Samuel Pinker—orang yang memberinya pekerjaan. Nama gadis itu adalah Emily
Pinker.
Namun
cinta mereka harus diuji tatkala Robert Wallis diberi tugas untuk pergi ke
Afrika selama lima tahun, demi kelancaran bisnis mereka. Di sinilah berbagai
hal mulai bertolak dan berubah. Wallis bertemu dengan seorang budak bernama
Fikre dan jatuh cinta—dia bahkan rela mengabaikan komitmennya pada Emily demi
Fikre.
Bagaimana
kisah ini berjalan? Apakah cerita Robert Wallis bersama Fikre akan berjalan
indah dan manis? Dan bagaimana dengan Emily Pinker yang begitu saja
ditinggalkan oleh Wallis di London? Dan kopi. Oh, kopi adalah bagian yang tak
terpisahkan dari cerita ini.
“…Kau tahu, upacara kopi punya banyak makna..”
***
Halooo.
Sudah tiga bulan ya aku tidak muncul di blog? Hahaha. Ada banyak sekali yang
terjadi namun aku selalu kehabisan waktu ataupun energi untuk sekedar duduk
sejenak di ujung ruangan dan berbagi cerita di blog ini. Aku sedang kehilangan ‘waktunya untuk Sheren’ secara harfiah selama
beberapa bulan terakhir. Ya, aku jarang punya waktu untuk me time, dan
kalaupun ada, biasanya aku memilih untuk menghabiskannya beristirahat dan
mendengarkan lagu. Malah sebenarnya, saat ada waktu kosong, aku lebih memilih
untuk berkumpul bersama teman-temanku dan…dia :D. Sepertinya sejak kuliah aku
jadi agak senang menghabiskan waktu dengan orang yang kusayangi daripada
menikmatinya sendiri. Kadang aku bingung, apakah sisi introvert dan ekstrovert
dalam diriku sedang berkelahi adu tinju kemudian sisi ekstrovert-lah yang
menang? *abaikan *abaikan *abaikan *terimakasih.
Ngomong-ngomong,
sudah berapa lama aku tidak lagi pernah mereview novel di blog ini? Mungkin
sekitar dua tahun lalu ya hahaha. Aku juga heran kenapa aku jadi tidak pernah
mereview novel lagi—padahal aku masih membaca beberapa novel dalam setahun.
Pernah sekali dua kali aku mencoba menulis ulasan, tapi otakku buntu dan
tanganku kaku. Tidak ada yang terpikirkan sampai akhirnya aku menyerah.
Pada suatu
hari… aku menemukan buku ini, dan semoga saja review buku ini selesai ya!
KOPI! Aku ingat, waktu kecil dulu aku selalu
dilarang minum kopi oleh orangtuaku. Mereka selalu bilang kopi adalah minuman
untuk orangtua, sehingga dulunya aku selalu berpikir baru boleh minum kopi jika
sudah menikah hahaha. Yah, itu dulu sih. Sekarang kadang-kadang aku memutuskan
untuk minum kopi—terutama jika ada matakuliah yang membuat mengantuk di pagi
hari. Dulu aku benaran tidak ingin kopi—bahkan cenderung tidak suka. Karena
pernah suatu kali saat SD, aku minum kopi dan malamnya tidak bisa tidur hingga
hampir subuh—membuatku jadi menangis. Jelas saja, paginya harus sekolah dan kau
tidak bisa tidur hingga hampir subuh. Siapa yang tidak cemas?
Dan bahkan
lewat buku ini, aku semakin mendapat kesan bahwa kopi memang diperuntukkan
untuk orang yang dewasa. Benar-benar sedewasa itu . Bukan hanya karena
membuatmu tidak bisa tidur untuk bergadang. Namun dari sisi filosofinya, proses
pembuatannya, kenikmatan yang terkandung dalam kopi, petualangannya,
serta…well, tentu saja cerita di dalam secangkir kopi itu.
Sebenarnya
aku sudah ingin membaca buku ini sejak SMP. Pernah aku melihatnya di toko buku
di kotaku dan bertekad untuk membelinya. Alasan aku ingin membaca buku ini
sederhana sih—kovernya unik.
Namun toh
niat itu terabaikan, bahkan bukunya malah hilang dari peredaran di toko buku di
kotaku. Aku akhirnya sempat lupa dengan buku ini hingga kemudian menemukannya
lagi di perpustakaan kota.
Dan aku
bersyukur baru menemukan lagi buku ini sekarang—setelah umurku sudah bertambah
cukup banyak dan sudah mengalami berbagai pengalaman serta pemahaman-pemahaman
mengenai beberapa aspek kehidupan. Kalau aku membacanya saat SMP dulu, mungkin
aku tidak akan mengerti apa-apa dan tidak melanjutkan membacanya, haha. Karena sejujurnya buku ini dewasa sekali—sedewasa
itu sehingga aku harus berkali-kali menutup bukunya dan menjernihkan kepalaku
dari keruwetan hidup di dalam novel ini. Sedewasa itu sampai aku berkali-kali
tercengang dan bergumam, “Oh, ternyata begini. Ternyata seperti itu.”
Dianjurkan
untuk tidak membacanya sebelum mendapat KTP. Bahkan, kalau bisa bacalah saat
kalian sudah lebih dari dua puluh tahun.
Aku tidak
ingat kapan terakhir kali aku membaca buku sekompleks ini. Jujur saja, saat
mengambil buku yang terabaikan ini dari rak buku (aku peminjam pertama haha),
aku berpikir buku hanya tentang kopi dan petualangan. Maksudku, ya petualangan
si Robert Wallis di hutan-hutan untuk berkebun kopi. Ketemu singa, ketemu
macan, ketemu suku-suku primitive, dan entahlah, petualangan-petualangan
sejenis itu. Ternyata lebih dari itu.
Aku tidak menyangka topik mengenai kopi bisa menjadi
seluas itu. Dibahas dalam satu buku.
Jalan
utama dari novel ini—setidaknya yang paling menarik perhatianku, adalah
ekonominya. Semuanya dimulai dari sesuatu yang sederhana sekali. Robert Wallis
bertemu dengan Samuel Pinker yang ingin mengembangkan bisnisnya. Pertama kali
sosok Samuel Pinker diperkenalkan, aku menganggapnya sebagai pria yang agak
sombong, namun memiliki kepercayaan diri dan ketekadan yang kuat, serta mimpi
yang tiada habisnya. Lambat laun karakter
Pinker berkembang sedemikian rupa dan menurutku ada satu kata yang cocok untuk
mendeskripsikannya : Pebisnis.
Pada
cerita ini berlangsung, kopi belum populer di seluruh dunia. Hanya
tempat-tempat tertentu di mana kopi begitu populer—tentu saja terutama di tempat
penghasil kopi. Namun di sini jugalah diceritakan bagaimana lambat laun kopi
mulai dikenal masyarakat dan popularitasnya meningkat pesat.
Balik ke
topik utamanya. Jadi sebenarnya ini diawali oleh bisnis yang sederhana dan
praktis. Samuel Pinker—seorang pecinta kopi dan pebisnis, awalnya hanya bekerja
seputar memasok biji kopi, mengklasifikasikannya, kemudian mengenalkannya pada
masyarakat dan menjualnya. Dia menjual kopi karena mencintai kopi. Salah satu
dari mimpinya bahkan membuka kedai kopi dan menggantikan pengaruh alkohol.
Nah,
seiring berjalannya waktu, bisnis kopi itu menjadi luas sekali. Mereka tidak
hanya menakar dan berdagang kopi. Mereka menjual sesuatu yang lebih
paradoks—brand mereka, janji, dan harapan. Ya, itulah yang mereka jual-belikan.
Atau dalam Bahasa bisnis, kita
mengenalnya dengan saham dan obligasi. Samuel Pinker mulai bermain dalam
bursa.
“Kau lihat, Robert, bukan? Kita sudah bukan lagi pedagang karung dan biji kopi. Kita adalah pedagang obligasi.”
Petualangan
Robert di Afrika juga dikisahkan di sini. Pemandangan-pemandangannya. Budaya
Afrika dan Arab saat akhir abad 19 (sekitar tahun 1896), kisah tentang tradisi
minum kopi, kisah tentang jual beli budak, keeksotisan kehidupan di rimba sana,
hari-hari melewati gurun pasir. Semuanya dikisahkan secara detail tanpa
terlewatkan. Bahkan kisah cintanya juga tidak dilupakan!
Aku—seumur hidupku—belum pernah disuguhkan
sebuah kisah cinta yang….sejujur ini oleh penulisnya. Buku-buku yang sebelumnya
kubaca, selalu menyampaikan sesuatu tentang ‘cinta’ itu secara hati-hati dan
umum.
Buku ini benar-benar
membuka pandanganku tentang perasaan yang satu ini. Begini salah satu kutipannya,
Aku belajar apa yang harus dipelajari setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bisa diajari—bahwa apapun yang diceritakan para penyair kepadamu, ada berbagai jenis cinta.
Benar
sekali bukan?
Intinya
buku ini…menjelaskan kisah cintanya secara blak-blakkan. Sebagian besar dari persepsi
pria sih. Buku ini seakan ingin mengatakan kepadanya pembacanya, “Namanya juga
manusia, ya begitulah sifat aslinya.” Dan aku terpaksa mengangguk setuju,
memang begitulah keinginan alami manusia. Namun begitu, membacanya seringkali
membuatku tertegun takjub. Kemudian bertanya-tanya kembali, “Jadi seperti ini
ya, menjadi dewasa?”. Semua kisah cintanya tidak senaif suatu perasaan ingin
melindungi, but more than that. More…more…
Hehe.
Sepertinya aku mulai berputar-putar membahasnya. Baca bukunya saja ya.
Ada lagi paragraph
dari buku ini yang ingin kutunjukkan. Yang mungkin akan membuat kalian paham
apa yang kumaksud :
Aku bukan bermaksud bahwa setiap kisah asmara berbeda dengan kisah asmara lain. Maksudku bahwa cinta sendiri bukan hanya terdiri atas satu emosi, tetapi banyak. Seperti kopi bagus bisa berbau kulit, tembakau, dan bunga honeysuckle sekaligus, misalnya, begitu juga cinta adalah campuran berbagai macam perasaan: kegandrungan, idealism, kelembutan, gairah, dorongan untuk melindungi dan dilindungi, hasrat untuk memesona, persahabatan, pertemanan, apresiasi estetis, dan ribuan lainnya.
Kepanjangan
ya kutipannya. Hahaha. Buku ini sungguh-sungguh membuatku terpesona. Entah
bagaimana aku harus mendefinisikannya. Intinya aku puas sekali bisa menemui
sudut pandang seperti ini tentang ‘cinta’.
Well, mungkin satu lagi garis besar isi buku ini
selain ekonomi dan cinta. Yaitu politik. Buku ini
secara gamblang menjelaskan situasi politik di London dan sekitarnya pada akhir
abad ke-19 dan awal 20, bahkan hingga pengaruhnya ke politik dunia (kita tahu
masa itu adalah masa di mana berbagai pihak saling berebut kekuasaan—mencari tanah-tanah
baru di belahan lain dunia). Namun
secara khusus juga, buku ini membahas mengenai perjuangan wanita jaman itu yang
berkeras yang mendapat ‘Hak Suara untuk Wanita’. Emily adalah tokoh utama
dalam kegiatan politik ini. Sejujurnya aku kagum sekali pada Emily. Dia seorang
wanita yang berpendidikan dan berpendirian teguh. Dia modern pada zamannya.
Pandangannya sangat visioner. Aku senang melihat bagaimana dia menjadi wanita
yang independen di tengah-tengah kehidupan Eropa pada saat itu—yang mana
perempuan biasanya selalu menurut dan dikendalikan pria ataupun keadaan sosial.
Mungkin karena beberapa pandangan yang sama—senang menjadi independen dan tidak
bergantung dengan yang lain—membuatku cukup menyukai dan bersimpati padanya.
Nah, yang
lebih menarik lagi, penulis buku ini—Anthony Capella, tentu saja tidak sekedar
membuat semua jalur cerita ini dalam imajinasinya. Dia tetap menggunakan berbagai referensi yang menerangkan situasi pada
zaman itu—dan pastinya fakta. Dia mengacu pada beberapa hal dan membuat
sesuatu yang mirip tapi berbeda. Seperti Pedoman Wallis Pinker yang mengacu
pada The Coffee Cupper’s Handbook, atau juga Le Nez du Café. Mengambil banyak
buku tentang kopi untuk menjelaskan pembuatan kopi di buku ini. Bahkan
sejarah-sejarah pejuang hak suara wanita juga benar adanya, diambil dari
berbagai buku dan narasumber lain.
Buku ini
cerdas dan mendetail. Tidak hanya sekedar membahas filosofi kopi dan kehidupan
tokoh utama, namun juga membahas mengenai asal-usul kopi, jenis-jenis kopi
terbaik, cara meracik kopi, cara menikmatinya, juga mengenai ekonomi, politik,
dan cinta, semua dibahas. Banyak hal dalam buku untuk didiskusikan. Aku
berharap aku bisa bertemu dengan seseorang yang juga membaca buku ini dan mengobrol
bersama. Buku benar-benar seperti kopi—kau
bisa merasakan definisi manis-pahit-asam kehidupan di dalam bukunya, sama seperti
bagaimana rasanya kopi yang biasa kita rasakan. Dan tentu saja, seperti
kopi itu sendiri, buku ini juga lebih baik untuk orang dewasa ;) , hehehe.
Aku
benar-benar ingin membaca bukunya lagi suatu hari nanti. Mungkin beberapa tahun
lagi, setelah aku lebih mengerti tentang kerumitan dunia dan paham bagaimana
menjadi ‘dewasa’.
Sekali
lagi, aku terpesona dengan buku ini. Semoga orang lain yang membacanya juga
merasakan hal yang sama.
0 comments