Juli

By Sheren - Monday, July 29, 2019

Suatu hari di bulan Juli


Halo Juli.

Mungkin bagi beberapa orang, bulan Juli hanya sebuah nama setelah setengah tahun berlalu. Sebuah nama untuk bulan ke tujuh tahun ini. Mungkin untuk beberapa orang lainnya lagi, bulan ini adalah bulan mereka kembali bersapa dengan teman-teman lama setelah liburan.

Bagiku bulan ini adalah bulan paling spesial, setelah bulan kelahiranku, setelah bulan kelahirannya. Bulan Juli adalah bulan di mana suatu keputusan dilontarkan dan perjanjian diikat oleh dua manusia canggung setahun lalu.

Mungkin orang-orang lupa atau bahkan tidak perduli sama sekali dengan hari itu. Tapi aku ingat persis. Aku ingat ketika seseorang menghubungiku meminta untuk bertemu. Aku ingat ketika aku tersenyum lebar menatap pesan itu, mengabaikan teman-temanku yang sedang mengoceh seru.
Ketika harapan dan kebingungan memenuhi hati.

Ketika keyakinan dan keraguan menyatu.

Dan ketika pertemuan itu akhirnya tiba. Saat aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Saat jantungku berdegup tanpa alasan dan tidak ada acara untuk menenangkannya.

Aku melihatnya berjalan menghampiriku. Masih jelas diingatanku tentang kecanggungannya hari itu. Kami berbicara dan tertawa, dan mencoba mengarahkan pembicaraan ke tujuan sebenarnya pertemuan kami, dan tertawa lagi. Siang itu kami benar-benar penuh tawa.

Tidak ada romantis-romantisnya.

Tapi yang penting, apa yang ingin tersampaikan akhirnya tersampaikan. Apa yang ingin diungkapkan akhirnya terungkapkan. Hilang semua resah dan kegalauan.

Perlahan. Perlahan sekali kami mencoba saling mengenal. Membiasakan diri dengan kepribadian yang berbeda. Mencoba menerka jenis makanan favoritnya. Mencoba mempelajari apa yang disukai dan tidak disukainya. Memperbaiki diri untuk menyesuaikan diri dengannya.

Memangnya untuk apa terburu-buru?

Kami berencana melakukannya perlahan, tapi toh waktu terus melaju. Waktu, yang melesat melewati teriknya siang saat kami sibuk mengejar mimpi dan tidak sempat berpas-pasan. Atau singgah di dinginnya malam dan bercengkrama berdua. Di tengah perginya semua detik itu, kita menyusun waktu berkualitas dengan mencoba mencicipi makanan baru, atau sekedar pergi jauh untuk menikmati pemandangan.



Akhirnya Juli kedua tiba.

Kami adalah dua orang dengan kepribadian yang berbeda. Aku yang lebih senang bercanda, dia yang selalu serius. Aku yang sangat suka kucing, dia yang menghindarinya. Aku yang menanam banyak keraguan, dia yang selalu menumbuhkan kepercayaan diri. Dia yang selalu memakai logika, aku yang kehabisan logika untuk berdebat. Tapi suatu waktu dia juga yang terlalu peka dengan kode yang paling halus.

Tapi toh kami bisa sampai pada Juli kedua. Bukannya berarti semudah itu. Ada juga malam-malam sepi di mana kami berdua terasa sangat jauh walaupun rumah kami hanya sepelemparan batu jaraknya. Ada hari-hari di mana aku tidak bisa menghubunginya dan ia juga enggan menghubungiku. Ada waktu di mana kami memilih diam sebagai tameng terbaik. Ada juga momen di mana kami ingin memenangkan ego dan mengeluarkan semua argumen untuk menyerang.

Semua ada masanya.

Siapa juga yang menyangka di bulan Juli lalu aku bisa memutuskan menjalin langkah bersama sedangkan sebelumnya aku bertekad bersenang-senang sendiri?

Memang hati manusia itu tidak bisa ditebak.

Semoga saja kami sama-sama kuat untuk tetap melangkah ke arah yang sama.

No pain, no gain. Tapi jangan lupa bahagia.

Trims, Juli.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments