Hening. Hanya terdengar
hembusan angin di sekeliling tempatku berdiri. Membuatku menggigil kedinginan.
Ditambah tempias hujan yang membasahi kakiku.
Aku bisa saja masuk lebih
dalam ke gedung baru sekolah ini. Tetapi aku tidak terlalu suka sendirian di
gedung yang jelas-jelas belum selesai dibangun. Lorong-lorong yang panjang nan
gelap itu bisa membuatku bermimpi buruk nanti malam jika aku memaksakan diri
untuk menyusurinya.
Bel pulang sekolah sebenarnya sudah berbunyi
sejak dua jam yang lalu. Seluruh warga sekolah mungkin sudah pulang, begitupun
dengan tukang-tukang yang sedari tadi tidak kelihatan. Sepertinya hanya aku
saja yang belum pulang, karena ayah yang biasa menjemputku ada tugas tambahan
di kantor. Dan mama sedang diluar kota.
Tidak seharusnya aku berada
di gedung baru sekolah ini, karena tempat ini memang dilarang bagi yang tidak
berkepentingan. Larangan itu diberlakukan agar tidak ada yang celaka jika ada
yang iseng bermain di tempat ini. Sekolahku memang sedang dalam pembangunan
gedung baru. Kelihatannya sudah cukup rampung, sebagian besar atap-atap
berwarna hijau tosca telah dipasang.
Aku menengadah menatap awan
yang menggulung-gulung tebal, hitam pekat sehingga cahaya matahari senja tidak
dapat menelisik diantaranya. Hujan juga semakin deras, menciptakan gema gedung
ini. Membuat gedung ini semakin gelap dan mengerikan.
Ah, andai saja aku bisa menunggu
di kantin Bu Djuru, menikmati sepiring siomay yang masih mengepul, dengan saus
kacangnya dan ditemani pula dengan secangkir teh panas, bukannya malah terjebak
di gedung besar ini. Tadi aku sial sekali, kelupaan membawa tas yang kuletakkan
di dekat tangga, dan ketika aku sudah mengambilnya lantas berencana menuju
kantin Bu Djuru, tiba-tiba saja hujan menghampiri, semakin deras di tiap detiknya,
membuatku basah kuyup. Mau tak mau aku harus mencari tempat berteduh terdekat,
dan gedung inilah satu-satunya pilihanku, ditemani dengan bau tajam khas
dinding dan lantai yang lembab...
"—Hei!"
Aku melonjak kaget,
merasakan jantungku berjumpalitan. Dengan sangat terkejut dan ketakutan, aku
berbalik mencari suara yang barusan berkata ‘hei’ itu dan mendapati seorang
gadis sedang balik menatapku, jaraknya tak lebih dari satu meter.
Aku menghela nafas lega saat
menatapnya, ternyata bukan hantu. Tapi seorang gadis. Apakah dia juga siswi
sekolah ini? Dia mengenakan seragam yang sama. Tapi aku tak pernah melihatnya..
Rambut panjangnya yang hitam sepinggang di biarkan tergerai. Tubuhnya jangkung
dengan kulit sawo matang, dan mata sekelam malam yang menatapku tenang. Cantik.
Aku balas menarik kedua
sudut bibirku, "Hai," gumamku, kemudain melanjutkan, "Er.. Ada
apa, kak?" aku menambahkan kata 'kak' karena sepertinya dia kakak kelasku
yang belum pernah ku lihat.
"Ngapain panggil aku
kakak?" tawanya, terdengar melengking aneh, "Aku masih kelas sepuluh,
jangan-jangan kau yang sudah di atasku," dia tertawa lagi. Yang membuat
bulu kudukku berdiri.
Aku menggeleng, "Aku
juga masih kelas sepuluh. Kalau begitu, kau di kelas apa? Aku tak pernah
melihatmu sebelum ini.."
"Aku di kelas sepuluh
B, kau sendiri kelas apa?"
Kali ini aku benar-benar
mengernyit bingung, mana ada kelas 10 B? Sekolah ini memakai kurikulum 2013 dan
saat masuk sudah langsung mengambil jurusan, hanya ada 7 kelas MIPA dan 2 kelas
IPS, aku sendiri di IPS 1. Tidak ada sama sekali kelas yang memakai abjad lagi.
Mungkin dia hanya bercanda,
jadi aku mengendikkan bahuku dan mengangguk, tidak menjawab pertanyaannya.
"Mau jalan-jalan?"
ujarnya lagi tiba-tiba, membuatku tersentak.
"Eh? Jalan-jalan?
Maksudmu? Sekarang sedang hujan."
Dia mengangkat sebelah
alisnya dan menatapku heran, "Aku tidak mengajakmu jalan-jalan ke
lapangan, aku ingin mengajakmu mengelilingi gedung baru sekolah kita,"
Semilir angin meniup
seragamku yang sudah basah, membuatku semakin menggigil, "Tapi kita
dilarang menjelajahi gedung ini, bukan?" dalihku, karena sebenarnya alasan
utamaku adalah takut.
"Dilarang? Siapa yang
melarangnya?"
"Tentu saja kepala
sekolah, masa kau tidak tahu?"
Gadis itu menggeleng,
mengerucutkan bibirnya yang menurut penglihatanku sedikit pucat, "Aku
sering sekali mengelilingi gedung ini sepulang sekolah. Dan tidak ada yang
memarahiku. Tapi kali ini aku ingin mengajakmu, biasanya aku jalan-jalan
sendirian disini,"
"Jalan-jalan sendirian?
Dan tidak ada yang melarangnya? Yang benar saja?" tanyaku terperangah,
gadis itu mengangguk sambil menatapku seakan-akan berkata 'Tentu saja, masa kau
tidak pernah melakukannya?'
"Jadi, temani aku
ya?"
Aku berdiri dengan bimbang,
sebenarnya aku agak takut menjelajahi tempat ini, selain karena larangan, hari
yang semakin gelap juga membuat tempat ini semakin horor.
Tapi aku juga penasaran.
Akhirnya dengan ragu aku
mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya yang
rata.
Gadis itu berjalan ke arahku
dan menggenggam tanganku, berlari-lari menuju tangga. Saat ia memegangku tadi,
seakan-akan ada balok es dengan suhu yang sangat rendah menyentuhku. Tangan itu
sangat dingin dan terasa kaku, apakah ia juga sangat kedinginan? Tetapi ia
terlihat baik-baik saja, bahkan lebih baik dariku.
Aku menatap ke bawah
kemudian melihat satu keanehan lagi.
Gadis itu bertelanjang kaki,
tidak memakai sepatu atau alas kaki apapun.
Apakah sepatunya basah? Tapi
bukankah berjalan di lantai keramik itu dingin?
Lagi-lagi aku hanya diam.
Aku malas untuk bertanya lebih lanjut, karena toh dia sendiri tak
terlihat keberatan. Sejanak kami berjalan dalam keheningan, hanya terdengar
gema berpantul-pantul sekeliling gedung ini saat sepatuku menginjak lantai,
juga suara hujan.
"Aku suka gedung
ini," ujar gadis itu dengan ceria beberapa menit kemudian, memperhatikan
dinding yang masih abu-abu disekitar kami, "Tidak terlalu ramai orang,
membuatku tenang."
Aku ikut mengangguk, karena
aku juga tidak terlalu suka keramaian.
Dia terus berjalan hingga
mencapai bagian tertinggi gedung yang belum diberi atap maupun pembatas sama
sekali.
Bodohnya, aku mengikutinya
dan mendapati bahwa di atas sini sangat dingin.
Aku memeluk diriku sendiri,
berusaha menghangatkan tubuh.
Tapi tidak dengan dirinya, dia
merentangkan kedua tangannya, seakan menikmati keadaan itu. Rambut
sepinggangnya berkibar ke belakang.
"Aku seeenaaaaaang
sekaliiiiiiii.." teriaknya dengan suara nyaring yang aneh, membuatku
refleks mundur ke belakang.
Lama dia berada di situ,
membuatku cukup untuk memperhatikan banyak hal. Awan yang berarak dan menggulung-gulung
seperti krim berwarna hitam terlihat semakin menyeramkan disini. Angin begitu
kencang sehingga aku kesulitan menahan diriku sendiri untuk tetap berdiri.
Derasnya hujan juga menusuk-nusuk kulitku seperti ratusan peluru plastik.
Ditengah semua pemandangan
itu, aku teringat sesuatu.
"Siapa namamu?,"
tanyaku, menatap rambut sepinggangnya dari belakang.
"Siti."
Deg.
Lidahku kelu, bahkan badanku
kaku tak bergerak.
Siti? Bukankah nama itu
adalah nama yang begitu terkenal di sekolah ini. Nama yang tabu untuk disebut
disekolah ini dan selalu mengundang rasa penasaran.
Sepuluh tahun yang lalu, ada kejadian misterius di
sekolah ini. Saat pendaftaran, di antara banyak nama, ada yang bernama 'Siti'.
Sebenarnya, tidak ada yang mencurigakan dari Siti
awalnya. Dia dianggap seperti pendaftar lainnya, dan dia juga memenuhi semua
syarat untuk masuk. Nilai yang mencukupi, semua syarat administrasi juga sudah
terpenuhi.
Sampai suatu saat, ada yang aneh dengan gadis bernama
Siti ini. Tidak ada sekalipun kabar darinya maupun dari keluarganya. Bahkan
sebenarnya warga sekolah tidak menyadari ada yang bernama Siti, hingga
kemudian, saat pembagian seragam, tidak ada sama sekali orang yang dimaksud.
Padahal namanya jelas-jelas tertulis dalam seragamnya, juga ada di daftar nama
pembagian baju. Tapi esoknya, semua seragam Siti lenyap begitu saja, sekalipun
tidak ada tanda bukti penerimaan baju.
Bukan hanya itu, nama Siti seakan terus menerus
bergaung dalam setiap sudut kelas. Seringkali, saat guru menghitung jumlah
siswa di suatu kelas (yang pada akhirnya di ketahui kelas tempat Siti
ditempatkan sebelumnya) , mereka mendapati ada 33 jumlah siswa. Tetapi saat
guru-guru itu mengabsen nama per nama, hanya ada 32 siswa yang ada di kelas,
tanpa ada yang izin ataupun alpa.
"Lho, kok cuma 32 ini di absennya?" tanya si
guru, "Bukannya ada 33 siswa dikelas ini?"
Murid-murid dikelas itu saling menatap bingung,
menggelengkan kepala. Memang 32 siswa dikelas ini, bukan 33 siswa.
Si guru tersebut mulai menghitung lagi satu per satu
siswa, menunjuk dengan jari telunjuknya dan mulutnya bergerak-gerak saat
bergumam, tetap ada 33 siswa di kelas itu. Dia bertanya lagi, tapi semua murid
lagi-lagi hanya menggeleng, hanya 32, bukannya 33 siswa.
Guru itu akhirnya melakukan langkah terakhir, menyuruh
satu per satu siswa menyebut namanya dan kemudian mencocokkan nama yang ada di
absen.
Hanya 32 siswa.
Dan dia menyadari keganjilan. Seorang gadis yang duduk
di paling ujung, yang setahunya ada sejak tadi, sudah tidak terlihat sama
sekali saat para siswa mencocokkan nama.
Dimana dia? Kenapa hanya ada satu kursi dan meja
kosong?
Guru itu menggeleng-geleng, menatap absen sekali lagi
dan mendongak memperhatikan murid-muridnya. Sekarang hanya 32 siswa.
Begitu juga yang di alami guru-guru lain saat mereka
menghitung satu per satu siswa di dalam kelas. Mendapati keganjilan yang aneh.
Setelah itu, para guru tak pernah lagi mencoba untuk menghitung sendiri jumlah
siswa, memutuskan untuk langsung mengabsen dari lembar absen.
Teror tidak berhenti sampai saat itu. Kursi dan meja
kosong di kelas itu kemudian di pindahkan ke gudang karena tidak ada yang
menduduki. Tapi ketika paginya, kursi dan meja itu kembali berada dikelas
sebelumnya, tidak bergeser sesentipun, seakan-akan memang tidak pernah
dipindah.
Sejak saat itulah, kisah si Siti dimulai diseluruh
penjuru sekolah. Melekat selama bertahun-tahun.
Aku menggeleng mengingat
kisah itu. Aku tidak pernah percaya dengan rumor-rumor tidak jelas begitu.
Tetapi, Siti yang di depanku ini, amat penuh dengan keganjilan. Apakah aku bisa
meyakinkan diriku sendiri kalau sosok di depanku ini adalah manusia? Tapi
bagaimana caranya?
Nafasku memburu. Ada satu
hal yang terpikir olehku untuk memastikannya.
“Si.ti, sekarang ini tahun
berapa?” tanyaku pelan.
Dia menoleh, wajah pucatnya terlihat merenung,
“2005, bukan? Pertanyaan macam apa itu?”
“ Masa sih,” aku mulai
merasa takut.
2005 itu sepuluh tahun yang
lalu.
“Nama kepala sekolah kita,
apa kamu tahu?”
Dia menyebut nama, dan saat
itu sekujur tubuhku sudah merinding. Jelas-jelas aku tidak mengetahui nama
kepala sekolah yang dia sebut barusan.
“Aku mau pulang,” kataku
sambil mundur selangkah, nyaris membuatku terpeleset.
“Jangan, kau baru sebentar
disini,”
“Tapi aku harus pulang,”
“Sudah kubilang jangan!”
jeritnya tiba-tiba dan berbalik menghadapku. Kali ini aku benar-benar
terpeleset jatuh kelantai.
Wajahnya. Wajahnya sudah
berubah.
Seluruh matanya menjadi
merah gelap, tidak terlihat pupil matanya. Bahkan ada aliran darah keluar dari
mata itu, jatuh menetes melewati dagunya. Bibirnya tampak hitam bersama
gigi-gigi yang rusak.
Rambutnya berkibar
kebelakang, melawan arah angin.
“Kau harus menjadi temanku
disini, kau tidak boleh pergi,” lengkingnya. Aku menjerit ketakutan. Suaranya
juga telah berubah, seperti ada tiga suara yang berbicara disaat bersamaan saat
dia membuka mulutnya.
Siti—makhluk itu,
mendekatiku perlahan. Aku bergegas berdiri dan berlari ke arah berlawan.
“Kau akan menjadi temanku.
Selama-lamanya,” dia merentangkan kembali kedua tangannya, menatapku. Kemudian,
aku merasakan angin yang sangat kuat mendorongku mundur.
Aku menoleh kebelakangku.
Ujung bangunan ini tidak berbatas. Dibawahnya terdapat halaman yang masih penuh
dengan batu yang dihancurkan dan material-material tajam lagi.
Aku menjerit. Percuma. Angin
yang kuat tetap mendorongku, dan lantai yang licin sama sekali tidak membantu.
Dan saat itulah, aku tahu
bahwa aku sudah ditakdirkan untuk menjadi teman Siti.
Selamanya.
***
Ide cerita ini sudah lama bersarang di otak,
sejak pembangunan gedung SMANSA mulai keliatan rangkanya. Lalu ditulis juga
sudah amat lama—sejak fisik bangunannya bener-bener tampak. Istilahnya
otot-ototnya udah nempel di tulang—tinggal nambahin mata, gigi, bibir,
kuku-kuku jari, dan rambut, dan tak lupa organ tubuhnya~. Pas itu bangunannya
masih belum dikeramik sih kayaknya, dan masih banyak seng yang menutupi
beberapa area pembangunan, alias dilarang lewat. Atap-atap seng juga ada yang
belum dipasang. Dan ketika itu aku masih kelas 10 SMA.
Btw, alasan aku menulis cerita ini
pertama karena (dulu) aku ngebayangin gimana rasanya menjelajahi gedung baru
sekolah yang belum jadi, yang kayaknya bakal wah banget (ga pernah kesampaian karena aku bukan anak nakal wk). Tapi cerita apa yang bakal diambil dari
keliling sekolah? Kemudian aku teringat The Legend Of Siti. Yep, dulu aku juga pengen menceritakan
sesuatu tentang Siti, tapi juga gak tahu mau dibuat kayak gimana.
Dan keduanya bersatu. Jeng
jeng, jadilah ini cerita.
Buat yang belum tahu Legend
Of Siti, ini adalah ‘kisah’ turun-temurun yang diucapkan dari mulut ke
mulut di smansa. Alias Mrs. K ala SMA Negeri 1 Pontianak. Cerita gimana dia
muncul udah saya ceritain diatas, walaupun ditambah supaya lebih keliatan
beneran neror.
Menurut saya, daripada omongan
dari satu siswa ke siswa lain, lebih baik saya jadi bahan cerpen beneran.
Ceritanya ga serem? Iya, saya
setuju. Soalnya (jujur) saya parnoan sama yang namanya hantu (kecuali hantu
hantuan di Latihan Kepemimpinan) dan nyaris enggak pernah nonton film maupun
membaca kisah yang berhubungan dengan hantu. Saya juga jarang nonton film
maupun membaca kisah yang penuh darah. Itu adalah hal yang paling (kalo bisa)
saya hindari seumur hidup. Jadi ya saya ga punya pengalaman maupun acuan.
Maapin saya wkwk.
7 comments
Seperti mesin
ReplyDeleteanjir serem -_-
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKeren sher😭 tapi serem juga
ReplyDeletemakasi komennya semua :D
ReplyDeleteIni cerita asli atau cuma skdar crita si kk?:v
ReplyDelete