Di hari yang Hujan Bersama Siti

By Sheren - Friday, January 22, 2016



Hening. Hanya terdengar hembusan angin di sekeliling tempatku berdiri. Membuatku menggigil kedinginan. Ditambah tempias hujan yang membasahi kakiku.
Aku bisa saja masuk lebih dalam ke gedung baru sekolah ini. Tetapi aku tidak terlalu suka sendirian di gedung yang jelas-jelas belum selesai dibangun. Lorong-lorong yang panjang nan gelap itu bisa membuatku bermimpi buruk nanti malam jika aku memaksakan diri untuk menyusurinya.
 Bel pulang sekolah sebenarnya sudah berbunyi sejak dua jam yang lalu. Seluruh warga sekolah mungkin sudah pulang, begitupun dengan tukang-tukang yang sedari tadi tidak kelihatan. Sepertinya hanya aku saja yang belum pulang, karena ayah yang biasa menjemputku ada tugas tambahan di kantor. Dan mama sedang diluar kota.
Tidak seharusnya aku berada di gedung baru sekolah ini, karena tempat ini memang dilarang bagi yang tidak berkepentingan. Larangan itu diberlakukan agar tidak ada yang celaka jika ada yang iseng bermain di tempat ini. Sekolahku memang sedang dalam pembangunan gedung baru. Kelihatannya sudah cukup rampung, sebagian besar atap-atap berwarna hijau tosca telah dipasang.
Aku menengadah menatap awan yang menggulung-gulung tebal, hitam pekat sehingga cahaya matahari senja tidak dapat menelisik diantaranya. Hujan juga semakin deras, menciptakan gema gedung ini. Membuat gedung ini semakin gelap dan mengerikan.
Ah, andai saja aku bisa menunggu di kantin Bu Djuru, menikmati sepiring siomay yang masih mengepul, dengan saus kacangnya dan ditemani pula dengan secangkir teh panas, bukannya malah terjebak di gedung besar ini. Tadi aku sial sekali, kelupaan membawa tas yang kuletakkan di dekat tangga, dan ketika aku sudah mengambilnya lantas berencana menuju kantin Bu Djuru, tiba-tiba saja hujan menghampiri, semakin deras di tiap detiknya, membuatku basah kuyup. Mau tak mau aku harus mencari tempat berteduh terdekat, dan gedung inilah satu-satunya pilihanku, ditemani dengan bau tajam khas dinding dan lantai yang lembab...
"—Hei!"
Aku melonjak kaget, merasakan jantungku berjumpalitan. Dengan sangat terkejut dan ketakutan, aku berbalik mencari suara yang barusan berkata ‘hei’ itu dan mendapati seorang gadis sedang balik menatapku, jaraknya tak lebih dari satu meter.
Aku menghela nafas lega saat menatapnya, ternyata bukan hantu. Tapi seorang gadis. Apakah dia juga siswi sekolah ini? Dia mengenakan seragam yang sama. Tapi aku tak pernah melihatnya.. Rambut panjangnya yang hitam sepinggang di biarkan tergerai. Tubuhnya jangkung dengan kulit sawo matang, dan mata sekelam malam yang menatapku tenang. Cantik.
Aku balas menarik kedua sudut bibirku, "Hai," gumamku, kemudain melanjutkan, "Er.. Ada apa, kak?" aku menambahkan kata 'kak' karena sepertinya dia kakak kelasku yang belum pernah ku lihat.
"Ngapain panggil aku kakak?" tawanya, terdengar melengking aneh, "Aku masih kelas sepuluh, jangan-jangan kau yang sudah di atasku," dia tertawa lagi. Yang membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menggeleng, "Aku juga masih kelas sepuluh. Kalau begitu, kau di kelas apa? Aku tak pernah melihatmu sebelum ini.."
"Aku di kelas sepuluh B, kau sendiri kelas apa?"
Kali ini aku benar-benar mengernyit bingung, mana ada kelas 10 B? Sekolah ini memakai kurikulum 2013 dan saat masuk sudah langsung mengambil jurusan, hanya ada 7 kelas MIPA dan 2 kelas IPS, aku sendiri di IPS 1. Tidak ada sama sekali kelas yang memakai abjad lagi.
Mungkin dia hanya bercanda, jadi aku mengendikkan bahuku dan mengangguk, tidak menjawab pertanyaannya.
"Mau jalan-jalan?" ujarnya lagi tiba-tiba, membuatku tersentak.
"Eh? Jalan-jalan? Maksudmu? Sekarang sedang hujan."
Dia mengangkat sebelah alisnya dan menatapku heran, "Aku tidak mengajakmu jalan-jalan ke lapangan, aku ingin mengajakmu mengelilingi gedung baru sekolah kita,"
Semilir angin meniup seragamku yang sudah basah, membuatku semakin menggigil, "Tapi kita dilarang menjelajahi gedung ini, bukan?" dalihku, karena sebenarnya alasan
utamaku adalah takut.
"Dilarang? Siapa yang melarangnya?"
"Tentu saja kepala sekolah, masa kau tidak tahu?"
Gadis itu menggeleng, mengerucutkan bibirnya yang menurut penglihatanku sedikit pucat, "Aku sering sekali mengelilingi gedung ini sepulang sekolah. Dan tidak ada yang memarahiku. Tapi kali ini aku ingin mengajakmu, biasanya aku jalan-jalan sendirian disini,"
"Jalan-jalan sendirian? Dan tidak ada yang melarangnya? Yang benar saja?" tanyaku terperangah, gadis itu mengangguk sambil menatapku seakan-akan berkata 'Tentu saja, masa kau tidak pernah melakukannya?'
"Jadi, temani aku ya?"
Aku berdiri dengan bimbang, sebenarnya aku agak takut menjelajahi tempat ini, selain karena larangan, hari yang semakin gelap juga membuat tempat ini semakin horor.

Tapi aku juga penasaran.

Akhirnya dengan ragu aku mengangguk. Gadis itu tersenyum lebar, menampakkan gigi-gigi putihnya yang rata.

Gadis itu berjalan ke arahku dan menggenggam tanganku, berlari-lari menuju tangga. Saat ia memegangku tadi, seakan-akan ada balok es dengan suhu yang sangat rendah menyentuhku. Tangan itu sangat dingin dan terasa kaku, apakah ia juga sangat kedinginan? Tetapi ia terlihat baik-baik saja, bahkan lebih baik dariku.
Aku menatap ke bawah kemudian melihat satu keanehan lagi.
Gadis itu bertelanjang kaki, tidak memakai sepatu atau alas kaki apapun.
Apakah sepatunya basah? Tapi bukankah berjalan di lantai keramik itu dingin?

Lagi-lagi aku hanya diam. Aku malas untuk bertanya lebih lanjut, karena toh dia sendiri tak terlihat keberatan. Sejanak kami berjalan dalam keheningan, hanya terdengar gema berpantul-pantul sekeliling gedung ini saat sepatuku menginjak lantai, juga suara hujan.

"Aku suka gedung ini," ujar gadis itu dengan ceria beberapa menit kemudian, memperhatikan dinding yang masih abu-abu disekitar kami, "Tidak terlalu ramai orang, membuatku tenang."
Aku ikut mengangguk, karena aku juga tidak terlalu suka keramaian.
Dia terus berjalan hingga mencapai bagian tertinggi gedung yang belum diberi atap maupun pembatas sama sekali.
Bodohnya, aku mengikutinya dan mendapati bahwa di atas sini sangat dingin.
Aku memeluk diriku sendiri, berusaha menghangatkan tubuh.
Tapi tidak dengan dirinya, dia merentangkan kedua tangannya, seakan menikmati keadaan itu. Rambut sepinggangnya berkibar ke belakang.
"Aku seeenaaaaaang sekaliiiiiiii.." teriaknya dengan suara nyaring yang aneh, membuatku refleks mundur ke belakang.
Lama dia berada di situ, membuatku cukup untuk memperhatikan banyak hal. Awan yang berarak dan menggulung-gulung seperti krim berwarna hitam terlihat semakin menyeramkan disini. Angin begitu kencang sehingga aku kesulitan menahan diriku sendiri untuk tetap berdiri. Derasnya hujan juga menusuk-nusuk kulitku seperti ratusan peluru plastik.
Ditengah semua pemandangan itu, aku teringat sesuatu.
"Siapa namamu?," tanyaku, menatap rambut sepinggangnya dari belakang.
"Siti."

Deg.

Lidahku kelu, bahkan badanku kaku tak bergerak.

Siti? Bukankah nama itu adalah nama yang begitu terkenal di sekolah ini. Nama yang tabu untuk disebut disekolah ini dan selalu mengundang rasa penasaran.

Sepuluh tahun yang lalu, ada kejadian misterius di sekolah ini. Saat pendaftaran, di antara banyak nama, ada yang bernama 'Siti'.
Sebenarnya, tidak ada yang mencurigakan dari Siti awalnya. Dia dianggap seperti pendaftar lainnya, dan dia juga memenuhi semua syarat untuk masuk. Nilai yang mencukupi, semua syarat administrasi juga sudah terpenuhi.
Sampai suatu saat, ada yang aneh dengan gadis bernama Siti ini. Tidak ada sekalipun kabar darinya maupun dari keluarganya. Bahkan sebenarnya warga sekolah tidak menyadari ada yang bernama Siti, hingga kemudian, saat pembagian seragam, tidak ada sama sekali orang yang dimaksud. Padahal namanya jelas-jelas tertulis dalam seragamnya, juga ada di daftar nama pembagian baju. Tapi esoknya, semua seragam Siti lenyap begitu saja, sekalipun tidak ada tanda bukti penerimaan baju.
Bukan hanya itu, nama Siti seakan terus menerus bergaung dalam setiap sudut kelas. Seringkali, saat guru menghitung jumlah siswa di suatu kelas (yang pada akhirnya di ketahui kelas tempat Siti ditempatkan sebelumnya) , mereka mendapati ada 33 jumlah siswa. Tetapi saat guru-guru itu mengabsen nama per nama, hanya ada 32 siswa yang ada di kelas, tanpa ada yang izin ataupun alpa.
"Lho, kok cuma 32 ini di absennya?" tanya si guru, "Bukannya ada 33 siswa dikelas ini?"
Murid-murid dikelas itu saling menatap bingung, menggelengkan kepala. Memang 32 siswa dikelas ini, bukan 33 siswa.
Si guru tersebut mulai menghitung lagi satu per satu siswa, menunjuk dengan jari telunjuknya dan mulutnya bergerak-gerak saat bergumam, tetap ada 33 siswa di kelas itu. Dia bertanya lagi, tapi semua murid lagi-lagi hanya menggeleng, hanya 32, bukannya 33 siswa.
Guru itu akhirnya melakukan langkah terakhir, menyuruh satu per satu siswa menyebut namanya dan kemudian mencocokkan nama yang ada di absen.
Hanya 32 siswa.
Dan dia menyadari keganjilan. Seorang gadis yang duduk di paling ujung, yang setahunya ada sejak tadi, sudah tidak terlihat sama sekali saat para siswa mencocokkan nama.
Dimana dia? Kenapa hanya ada satu kursi dan meja kosong?
Guru itu menggeleng-geleng, menatap absen sekali lagi dan mendongak memperhatikan murid-muridnya. Sekarang hanya 32 siswa.
Begitu juga yang di alami guru-guru lain saat mereka menghitung satu per satu siswa di dalam kelas. Mendapati keganjilan yang aneh. Setelah itu, para guru tak pernah lagi mencoba untuk menghitung sendiri jumlah siswa, memutuskan untuk langsung mengabsen dari lembar absen.
Teror tidak berhenti sampai saat itu. Kursi dan meja kosong di kelas itu kemudian di pindahkan ke gudang karena tidak ada yang menduduki. Tapi ketika paginya, kursi dan meja itu kembali berada dikelas sebelumnya, tidak bergeser sesentipun, seakan-akan memang tidak pernah dipindah.
Sejak saat itulah, kisah si Siti dimulai diseluruh penjuru sekolah. Melekat selama bertahun-tahun.

Aku menggeleng mengingat kisah itu. Aku tidak pernah percaya dengan rumor-rumor tidak jelas begitu. Tetapi, Siti yang di depanku ini, amat penuh dengan keganjilan. Apakah aku bisa meyakinkan diriku sendiri kalau sosok di depanku ini adalah manusia? Tapi bagaimana caranya?
Nafasku memburu. Ada satu hal yang terpikir olehku untuk memastikannya.
“Si.ti, sekarang ini tahun berapa?” tanyaku pelan.
 Dia menoleh, wajah pucatnya terlihat merenung, “2005, bukan? Pertanyaan macam apa itu?”
“ Masa sih,” aku mulai merasa takut.
2005 itu sepuluh tahun yang lalu.
“Nama kepala sekolah kita, apa kamu tahu?”
Dia menyebut nama, dan saat itu sekujur tubuhku sudah merinding. Jelas-jelas aku tidak mengetahui nama kepala sekolah yang dia sebut barusan.
“Aku mau pulang,” kataku sambil mundur selangkah, nyaris membuatku terpeleset.
“Jangan, kau baru sebentar disini,”
“Tapi aku harus pulang,”
“Sudah kubilang jangan!” jeritnya tiba-tiba dan berbalik menghadapku. Kali ini aku benar-benar terpeleset jatuh kelantai.

Wajahnya. Wajahnya sudah berubah.

Seluruh matanya menjadi merah gelap, tidak terlihat pupil matanya. Bahkan ada aliran darah keluar dari mata itu, jatuh menetes melewati dagunya. Bibirnya tampak hitam bersama gigi-gigi yang rusak.
Rambutnya berkibar kebelakang, melawan arah angin.
“Kau harus menjadi temanku disini, kau tidak boleh pergi,” lengkingnya. Aku menjerit ketakutan. Suaranya juga telah berubah, seperti ada tiga suara yang berbicara disaat bersamaan saat dia membuka mulutnya.
Siti—makhluk itu, mendekatiku perlahan. Aku bergegas berdiri dan berlari ke arah berlawan.
“Kau akan menjadi temanku. Selama-lamanya,” dia merentangkan kembali kedua tangannya, menatapku. Kemudian, aku merasakan angin yang sangat kuat mendorongku mundur.

Aku menoleh kebelakangku. Ujung bangunan ini tidak berbatas. Dibawahnya terdapat halaman yang masih penuh dengan batu yang dihancurkan dan material-material tajam lagi.

Aku menjerit. Percuma. Angin yang kuat tetap mendorongku, dan lantai yang licin sama sekali tidak membantu.

Dan saat itulah, aku tahu bahwa aku sudah ditakdirkan untuk menjadi teman Siti.

Selamanya.

***

 Ide cerita ini sudah lama bersarang di otak, sejak pembangunan gedung SMANSA mulai keliatan rangkanya. Lalu ditulis juga sudah amat lama—sejak fisik bangunannya bener-bener tampak. Istilahnya otot-ototnya udah nempel di tulang—tinggal nambahin mata, gigi, bibir, kuku-kuku jari, dan rambut, dan tak lupa organ tubuhnya~. Pas itu bangunannya masih belum dikeramik sih kayaknya, dan masih banyak seng yang menutupi beberapa area pembangunan, alias dilarang lewat. Atap-atap seng juga ada yang belum dipasang. Dan ketika itu aku masih kelas 10 SMA.

Btw, alasan aku menulis cerita ini pertama karena (dulu) aku ngebayangin gimana rasanya menjelajahi gedung baru sekolah yang belum jadi, yang kayaknya bakal wah banget (ga pernah kesampaian karena aku bukan anak nakal wk). Tapi cerita apa yang bakal diambil dari keliling sekolah? Kemudian aku teringat The Legend Of  Siti. Yep, dulu aku juga pengen menceritakan sesuatu tentang Siti, tapi juga gak tahu mau dibuat kayak gimana.
Dan keduanya bersatu. Jeng jeng, jadilah ini cerita.
Buat yang belum tahu Legend Of Siti, ini adalah ‘kisah’ turun-temurun yang diucapkan dari mulut ke mulut di smansa. Alias Mrs. K ala SMA Negeri 1 Pontianak. Cerita gimana dia muncul udah saya ceritain diatas, walaupun ditambah supaya lebih keliatan beneran neror.

Menurut saya, daripada omongan dari satu siswa ke siswa lain, lebih baik saya jadi bahan cerpen beneran.

Ceritanya ga serem? Iya, saya setuju. Soalnya (jujur) saya parnoan sama yang namanya hantu (kecuali hantu hantuan di Latihan Kepemimpinan) dan nyaris enggak pernah nonton film maupun membaca kisah yang berhubungan dengan hantu. Saya juga jarang nonton film maupun membaca kisah yang penuh darah. Itu adalah hal yang paling (kalo bisa) saya hindari seumur hidup. Jadi ya saya ga punya pengalaman maupun acuan. Maapin saya wkwk.

  • Share:

You Might Also Like

7 comments