Berhenti sudah menanyai
Pada benih-benih kebencian murni
Kelak kau akan menyesali
Jika berturut tangan memperbaiki
Berhenti sudah menyelidiki
Pada semua pembunuhan keji
Kelak kau tak bernyawa lagi
Jika membongkar yang tersusun rapi
Dikala kau tak mengerti
Maka aku akan melindungi
Tapi dikala kau tak perduli
Maka aku ‘kan membuatmu mati
***
Menyenangkan.
Aku menyeringai geli, membalas
tatapan melototnya, tatapan kemarahan dan ketidakpercayaan. Tapi tidak mengapa,
tatapan tak menyenangkan itu sama sekali tidak bertahan lama. Hanya dalam
beberapa detik, wajah di depanku kembali tenang, diam seribu bahasa.
Aku tidak menghabiskan waktu
berlama-lama. Segera mengambil barangku yang tertinggal ditubuhnya dan keluar.
Tidak ada protes, tidak juga ada ucapan selamat tinggal.
Sekilas, aku mendongak
memperhatikan langit sore. Matahari berwarna semerah darah, sama seperti
perasaanku saat ini.
Satu. Tinggal satu kebebasan
lagi yang akan kujemput.
Dengan bersantai aku mengendarai
sepeda motorku dan sampai dirumah salah satu temanku.
“Hei!” sapanya, tersenyum lebar
menyambut kehadiranku, “Ada apa?”
Kutunjukkan kedua telapak
tanganku, dan bola mata gadis itu melebar ngeri.Tapi aku tidak ingin menunggu
lama. Sebelum dia dapat berkata apa-apa, aku menikam jantungnya, berkali-kali.
Gadis manis didepanku langsung
kehilangan kesadaran. Cairan merah kental menyembur kewajahku.
“Sama seperti kau. Aku juga
sudah membunuh pria kesayanganmu,” bisikku riang ketelinganya, “Kalian akan
bersama-sama..dan tinggalkan aku, seperti yang selama ini selalu kalian
lakukan.”
Tidak tanda-tanda gadis ini akan
memberi jawaban. Jadi aku mengambil pisauku yang berubah warna menjadi merah
mengilap dan pulang. Menunggu takdir-takdir yang akan menjemputku.
Sepanjang perjalanan, aku
mendapati orang-orang menatapku dengan tercengang. Dan tidak butuh waktu lama, tepat
setelah beberapa menit aku sampai dirumah, terdengar suara sirine
meraung-raung.
Kali ini aku ketakutan. Sejak
kecil aku selalu takut mendengar suara sirine.
***
BRAK! Sebuah tangan dihempaskan
ke meja didepanku. Aku menatapnya datar. Sebenarnya aku sedang menahan
senyuman, tapi aku merasa tidak sopan jika tersenyum didepan orang yang sedang
meledak-ledak.
Melihat tidak ada reaksi apapun,
pria didepanku menendang meja kesamping dan menarik kerah bajuku. Matanya merah
oleh tangisan dan amarah.
“Kau BUNUH MEREKA?! Apa
maumu?” geramnya dengan suara bergetar.
“Aku membenci mereka,” jawabku
jujur.
“Mereka justru orang-orang
terbaik!” desis pria ini, aku memperhatikan air matanya turun semakin deras.
“Begitukah? Kau tidak rela?”
tanyaku kalem, melontarkan tatapan bertanya kepadanya.
“Lebih baik kau yang mati,”
katanya lagi, aku menggeleng.
“Tidak, lebih baik kau yang
menyusul mereka, supaya kau rela.” dengan jempol ditangan kiriku, aku menekan
tombol kecil yang terdapat di cincin di jari manis tangan kiriku. Cincin ini
adalah hadiah lama dari teman, senjata terakhirku yang luput dari aparat
kepolisian.
Saat tutup dicincin itu terbuka,
tampak jarum yang amat kecil dan halus, sama sekali tak terlihat mengancam. Aku
menusukkannya ke lengan pria itu, “Selamat tinggal,”
Reaksinya begitu cepat. Pria itu
terjatuh, berteriak kesakitan. Percuma saja. Racun dicincin ini akan memakan
jiwanya dengan cepat. Tidak pernah ragu. Tanpa setitik pun rasa kasihan.
Dia memaki-makiku kencang. Aku
hanya bisa menggeleng tak percaya sebelum melangkah meninggalkannya.
Bahkan saat akan menghadap
Tuhan pun, dia masih mengucapkan kata-kata kotor.
***
Hola? Gila kah cerita ini? Emang gila. Ga tau apa endingnya, gatau gimana awal mulanya. Hobi saya emang begini>,< cerita asilnya (tersimpan di otak saya) sangaaat panjang, tapi yang tertulis hanya pertengahan cerita, atau klimaksnya aja yang dilukiskan kedalam kata-kata.
Kisah diatas itu sama sekali tidak dicari--dia datang sendiri kepadaku. Sudah lama tinggal di otak, dan baru bisa keluar ke dunia maya hari ini~~
0 comments