Sebongkah hati

By Sheren - Wednesday, January 13, 2016


Berhenti sudah menanyai
Pada benih-benih kebencian murni
Kelak kau akan menyesali
Jika berturut tangan memperbaiki

Berhenti sudah menyelidiki
Pada semua pembunuhan keji
Kelak kau tak bernyawa lagi
Jika membongkar yang tersusun rapi

Dikala kau tak mengerti
Maka aku akan melindungi
Tapi dikala kau tak perduli

Maka aku ‘kan membuatmu mati

***

Menyenangkan.

Aku menyeringai geli, membalas tatapan melototnya, tatapan kemarahan dan ketidakpercayaan. Tapi tidak mengapa, tatapan tak menyenangkan itu sama sekali tidak bertahan lama. Hanya dalam beberapa detik, wajah di depanku kembali tenang, diam seribu bahasa.
Aku tidak menghabiskan waktu berlama-lama. Segera mengambil barangku yang tertinggal ditubuhnya dan keluar. Tidak ada protes, tidak juga ada ucapan selamat tinggal.
Sekilas, aku mendongak memperhatikan langit sore. Matahari berwarna semerah darah, sama seperti perasaanku saat ini.

Satu. Tinggal satu kebebasan lagi yang akan kujemput.

Dengan bersantai aku mengendarai sepeda motorku dan sampai dirumah salah satu temanku.
“Hei!” sapanya, tersenyum lebar menyambut kehadiranku, “Ada apa?”
Kutunjukkan kedua telapak tanganku, dan bola mata gadis itu melebar ngeri.Tapi aku tidak ingin menunggu lama. Sebelum dia dapat berkata apa-apa, aku menikam jantungnya, berkali-kali.
Gadis manis didepanku langsung kehilangan kesadaran. Cairan merah kental menyembur kewajahku.
“Sama seperti kau. Aku juga sudah membunuh pria kesayanganmu,” bisikku riang ketelinganya, “Kalian akan bersama-sama..dan tinggalkan aku, seperti yang selama ini selalu kalian lakukan.”
Tidak tanda-tanda gadis ini akan memberi jawaban. Jadi aku mengambil pisauku yang berubah warna menjadi merah mengilap dan pulang. Menunggu takdir-takdir yang akan menjemputku.
Sepanjang perjalanan, aku mendapati orang-orang menatapku dengan tercengang. Dan tidak butuh waktu lama, tepat setelah beberapa menit aku sampai dirumah, terdengar suara sirine meraung-raung.
Kali ini aku ketakutan. Sejak kecil aku selalu takut mendengar suara sirine.

***
BRAK! Sebuah tangan dihempaskan ke meja didepanku. Aku menatapnya datar. Sebenarnya aku sedang menahan senyuman, tapi aku merasa tidak sopan jika tersenyum didepan orang yang sedang meledak-ledak.
Melihat tidak ada reaksi apapun, pria didepanku menendang meja kesamping dan menarik kerah bajuku. Matanya merah oleh tangisan dan amarah.
“Kau BUNUH MEREKA?! Apa maumu?” geramnya dengan suara bergetar.
“Aku membenci mereka,” jawabku jujur.
“Mereka justru orang-orang terbaik!” desis pria ini, aku memperhatikan air matanya turun semakin deras.
“Begitukah? Kau tidak rela?” tanyaku kalem, melontarkan tatapan bertanya kepadanya.
“Lebih baik kau yang mati,” katanya lagi, aku menggeleng.
“Tidak, lebih baik kau yang menyusul mereka, supaya kau rela.” dengan jempol ditangan kiriku, aku menekan tombol kecil yang terdapat di cincin di jari manis tangan kiriku. Cincin ini adalah hadiah lama dari teman, senjata terakhirku yang luput dari aparat kepolisian.
Saat tutup dicincin itu terbuka, tampak jarum yang amat kecil dan halus, sama sekali tak terlihat mengancam. Aku menusukkannya ke lengan pria itu, “Selamat tinggal,”
Reaksinya begitu cepat. Pria itu terjatuh, berteriak kesakitan. Percuma saja. Racun dicincin ini akan memakan jiwanya dengan cepat. Tidak pernah ragu. Tanpa setitik pun rasa kasihan.
Dia memaki-makiku kencang. Aku hanya bisa menggeleng tak percaya sebelum melangkah meninggalkannya.

Bahkan saat akan menghadap Tuhan pun, dia masih mengucapkan kata-kata kotor.


***

Hola? Gila kah cerita ini? Emang gila. Ga tau apa endingnya, gatau gimana awal mulanya. Hobi saya emang begini>,< cerita asilnya (tersimpan di otak saya) sangaaat panjang, tapi yang tertulis hanya pertengahan cerita, atau klimaksnya aja yang dilukiskan kedalam kata-kata. 
Kisah diatas itu sama sekali tidak dicari--dia datang sendiri kepadaku. Sudah lama tinggal di otak, dan baru bisa keluar ke dunia maya hari ini~~

  • Share:

You Might Also Like

0 comments