Novel Review : The Various Flavours of Coffee

By Sheren - Saturday, December 01, 2018




Judul Novel     : The Various Flavours of Coffee
Penulis             : Anthony Capella
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal                 : 680 halaman

Robert Wallis awalnya adalah penulis amatir yang senang bergaya dengan hidupnya. Pada suatu hari, dia sedang duduk menikmati secangkir kopi murahan—yang dibelinya dengan berhutang—untuk merenungi hidupnya ketika seseorang bernama Samuel Pinker menghampirinya. Pinker menawari Robert Wallis sebuah pekerjaan yang unik—yaitu menyusun daftar kosakata kopi yang kelak menjadi cikal bakal pedoman pencicipan kopi ‘modern’ yang digunakan seluruh dunia.

Pekerjaan yang unik untuk orang yang unik pula. Lewat pekerjaan inilah, Wallis jadi banyak menemukan petualangan untuk merasakan pahit-manis-asam kehidupan. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, defisit keuangan, menghadapi problema politik, dan banyak lagi hal lainnya. Tak ayal, dia bahkan jatuh cinta kepada putri Samuel Pinker—orang yang memberinya pekerjaan. Nama gadis itu adalah Emily Pinker.

Namun cinta mereka harus diuji tatkala Robert Wallis diberi tugas untuk pergi ke Afrika selama lima tahun, demi kelancaran bisnis mereka. Di sinilah berbagai hal mulai bertolak dan berubah. Wallis bertemu dengan seorang budak bernama Fikre dan jatuh cinta—dia bahkan rela mengabaikan komitmennya pada Emily demi Fikre.

Bagaimana kisah ini berjalan? Apakah cerita Robert Wallis bersama Fikre akan berjalan indah dan manis? Dan bagaimana dengan Emily Pinker yang begitu saja ditinggalkan oleh Wallis di London? Dan kopi. Oh, kopi adalah bagian yang tak terpisahkan dari cerita ini.

“…Kau tahu, upacara kopi punya banyak makna..”

***

Halooo. Sudah tiga bulan ya aku tidak muncul di blog? Hahaha. Ada banyak sekali yang terjadi namun aku selalu kehabisan waktu ataupun energi untuk sekedar duduk sejenak di ujung ruangan dan berbagi cerita di blog ini. Aku sedang kehilangan ‘waktunya untuk Sheren’ secara harfiah selama beberapa bulan terakhir. Ya, aku jarang punya waktu untuk me time, dan kalaupun ada, biasanya aku memilih untuk menghabiskannya beristirahat dan mendengarkan lagu. Malah sebenarnya, saat ada waktu kosong, aku lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-temanku dan…dia :D. Sepertinya sejak kuliah aku jadi agak senang menghabiskan waktu dengan orang yang kusayangi daripada menikmatinya sendiri. Kadang aku bingung, apakah sisi introvert dan ekstrovert dalam diriku sedang berkelahi adu tinju kemudian sisi ekstrovert-lah yang menang? *abaikan *abaikan *abaikan *terimakasih.

Ngomong-ngomong, sudah berapa lama aku tidak lagi pernah mereview novel di blog ini? Mungkin sekitar dua tahun lalu ya hahaha. Aku juga heran kenapa aku jadi tidak pernah mereview novel lagi—padahal aku masih membaca beberapa novel dalam setahun. Pernah sekali dua kali aku mencoba menulis ulasan, tapi otakku buntu dan tanganku kaku. Tidak ada yang terpikirkan sampai akhirnya aku menyerah.

Pada suatu hari… aku menemukan buku ini, dan semoga saja review buku ini selesai ya!



KOPI! Aku ingat, waktu kecil dulu aku selalu dilarang minum kopi oleh orangtuaku. Mereka selalu bilang kopi adalah minuman untuk orangtua, sehingga dulunya aku selalu berpikir baru boleh minum kopi jika sudah menikah hahaha. Yah, itu dulu sih. Sekarang kadang-kadang aku memutuskan untuk minum kopi—terutama jika ada matakuliah yang membuat mengantuk di pagi hari. Dulu aku benaran tidak ingin kopi—bahkan cenderung tidak suka. Karena pernah suatu kali saat SD, aku minum kopi dan malamnya tidak bisa tidur hingga hampir subuh—membuatku jadi menangis. Jelas saja, paginya harus sekolah dan kau tidak bisa tidur hingga hampir subuh. Siapa yang tidak cemas?

Dan bahkan lewat buku ini, aku semakin mendapat kesan bahwa kopi memang diperuntukkan untuk orang yang dewasa. Benar-benar sedewasa itu . Bukan hanya karena membuatmu tidak bisa tidur untuk bergadang. Namun dari sisi filosofinya, proses pembuatannya, kenikmatan yang terkandung dalam kopi, petualangannya, serta…well, tentu saja cerita di dalam secangkir kopi itu.

Sebenarnya aku sudah ingin membaca buku ini sejak SMP. Pernah aku melihatnya di toko buku di kotaku dan bertekad untuk membelinya. Alasan aku ingin membaca buku ini sederhana sih—kovernya unik.

Namun toh niat itu terabaikan, bahkan bukunya malah hilang dari peredaran di toko buku di kotaku. Aku akhirnya sempat lupa dengan buku ini hingga kemudian menemukannya lagi di perpustakaan kota.

Dan aku bersyukur baru menemukan lagi buku ini sekarang—setelah umurku sudah bertambah cukup banyak dan sudah mengalami berbagai pengalaman serta pemahaman-pemahaman mengenai beberapa aspek kehidupan. Kalau aku membacanya saat SMP dulu, mungkin aku tidak akan mengerti apa-apa dan tidak melanjutkan membacanya, haha. Karena sejujurnya buku ini dewasa sekali—sedewasa itu sehingga aku harus berkali-kali menutup bukunya dan menjernihkan kepalaku dari keruwetan hidup di dalam novel ini. Sedewasa itu sampai aku berkali-kali tercengang dan bergumam, “Oh, ternyata begini. Ternyata seperti itu.”

Dianjurkan untuk tidak membacanya sebelum mendapat KTP. Bahkan, kalau bisa bacalah saat kalian sudah lebih dari dua puluh tahun.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membaca buku sekompleks ini. Jujur saja, saat mengambil buku yang terabaikan ini dari rak buku (aku peminjam pertama haha), aku berpikir buku hanya tentang kopi dan petualangan. Maksudku, ya petualangan si Robert Wallis di hutan-hutan untuk berkebun kopi. Ketemu singa, ketemu macan, ketemu suku-suku primitive, dan entahlah, petualangan-petualangan sejenis itu. Ternyata lebih dari itu.

Aku tidak menyangka topik mengenai kopi bisa menjadi seluas itu. Dibahas dalam satu buku.

Jalan utama dari novel ini—setidaknya yang paling menarik perhatianku, adalah ekonominya. Semuanya dimulai dari sesuatu yang sederhana sekali. Robert Wallis bertemu dengan Samuel Pinker yang ingin mengembangkan bisnisnya. Pertama kali sosok Samuel Pinker diperkenalkan, aku menganggapnya sebagai pria yang agak sombong, namun memiliki kepercayaan diri dan ketekadan yang kuat, serta mimpi yang tiada habisnya. Lambat laun karakter Pinker berkembang sedemikian rupa dan menurutku ada satu kata yang cocok untuk mendeskripsikannya : Pebisnis.

Pada cerita ini berlangsung, kopi belum populer di seluruh dunia. Hanya tempat-tempat tertentu di mana kopi begitu populer—tentu saja terutama di tempat penghasil kopi. Namun di sini jugalah diceritakan bagaimana lambat laun kopi mulai dikenal masyarakat dan popularitasnya meningkat pesat.

Balik ke topik utamanya. Jadi sebenarnya ini diawali oleh bisnis yang sederhana dan praktis. Samuel Pinker—seorang pecinta kopi dan pebisnis, awalnya hanya bekerja seputar memasok biji kopi, mengklasifikasikannya, kemudian mengenalkannya pada masyarakat dan menjualnya. Dia menjual kopi karena mencintai kopi. Salah satu dari mimpinya bahkan membuka kedai kopi dan menggantikan pengaruh alkohol.

Nah, seiring berjalannya waktu, bisnis kopi itu menjadi luas sekali. Mereka tidak hanya menakar dan berdagang kopi. Mereka menjual sesuatu yang lebih paradoks—brand mereka, janji, dan harapan. Ya, itulah yang mereka jual-belikan. Atau dalam Bahasa bisnis, kita mengenalnya dengan saham dan obligasi. Samuel Pinker mulai bermain dalam bursa.

“Kau lihat, Robert, bukan? Kita sudah bukan lagi pedagang karung dan biji kopi. Kita adalah pedagang obligasi.”

Petualangan Robert di Afrika juga dikisahkan di sini. Pemandangan-pemandangannya. Budaya Afrika dan Arab saat akhir abad 19 (sekitar tahun 1896), kisah tentang tradisi minum kopi, kisah tentang jual beli budak, keeksotisan kehidupan di rimba sana, hari-hari melewati gurun pasir. Semuanya dikisahkan secara detail tanpa terlewatkan. Bahkan kisah cintanya juga tidak dilupakan!

 Aku—seumur hidupku—belum pernah disuguhkan sebuah kisah cinta yang….sejujur ini oleh penulisnya. Buku-buku yang sebelumnya kubaca, selalu menyampaikan sesuatu tentang ‘cinta’ itu secara hati-hati dan umum.

Buku ini benar-benar membuka pandanganku tentang perasaan yang satu ini. Begini salah satu kutipannya,

Aku belajar apa yang harus dipelajari setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bisa diajari—bahwa apapun yang diceritakan para penyair kepadamu, ada berbagai jenis cinta.

Benar sekali bukan?

Intinya buku ini…menjelaskan kisah cintanya secara blak-blakkan. Sebagian besar dari persepsi pria sih. Buku ini seakan ingin mengatakan kepadanya pembacanya, “Namanya juga manusia, ya begitulah sifat aslinya.” Dan aku terpaksa mengangguk setuju, memang begitulah keinginan alami manusia. Namun begitu, membacanya seringkali membuatku tertegun takjub. Kemudian bertanya-tanya kembali, “Jadi seperti ini ya, menjadi dewasa?”. Semua kisah cintanya tidak senaif suatu perasaan ingin melindungi, but more than that. More…more…

Hehe. Sepertinya aku mulai berputar-putar membahasnya. Baca bukunya saja ya.

Ada lagi paragraph dari buku ini yang ingin kutunjukkan. Yang mungkin akan membuat kalian paham apa yang kumaksud :

Aku bukan bermaksud bahwa setiap kisah asmara berbeda dengan kisah asmara lain. Maksudku bahwa cinta sendiri bukan hanya terdiri atas satu emosi, tetapi banyak. Seperti kopi bagus bisa berbau kulit, tembakau, dan bunga honeysuckle sekaligus, misalnya, begitu juga cinta adalah campuran berbagai macam perasaan: kegandrungan, idealism, kelembutan, gairah, dorongan untuk melindungi dan dilindungi, hasrat untuk memesona, persahabatan, pertemanan, apresiasi estetis, dan ribuan lainnya.

Kepanjangan ya kutipannya. Hahaha. Buku ini sungguh-sungguh membuatku terpesona. Entah bagaimana aku harus mendefinisikannya. Intinya aku puas sekali bisa menemui sudut pandang seperti ini tentang ‘cinta’.

Well, mungkin satu lagi garis besar isi buku ini selain ekonomi dan cinta. Yaitu politik. Buku ini secara gamblang menjelaskan situasi politik di London dan sekitarnya pada akhir abad ke-19 dan awal 20, bahkan hingga pengaruhnya ke politik dunia (kita tahu masa itu adalah masa di mana berbagai pihak saling berebut kekuasaan—mencari tanah-tanah baru di belahan lain dunia). Namun secara khusus juga, buku ini membahas mengenai perjuangan wanita jaman itu yang berkeras yang mendapat ‘Hak Suara untuk Wanita’. Emily adalah tokoh utama dalam kegiatan politik ini. Sejujurnya aku kagum sekali pada Emily. Dia seorang wanita yang berpendidikan dan berpendirian teguh. Dia modern pada zamannya. Pandangannya sangat visioner. Aku senang melihat bagaimana dia menjadi wanita yang independen di tengah-tengah kehidupan Eropa pada saat itu—yang mana perempuan biasanya selalu menurut dan dikendalikan pria ataupun keadaan sosial. Mungkin karena beberapa pandangan yang sama—senang menjadi independen dan tidak bergantung dengan yang lain—membuatku cukup menyukai dan bersimpati padanya.

Nah, yang lebih menarik lagi, penulis buku ini—Anthony Capella, tentu saja tidak sekedar membuat semua jalur cerita ini dalam imajinasinya. Dia tetap menggunakan berbagai referensi yang menerangkan situasi pada zaman itu—dan pastinya fakta. Dia mengacu pada beberapa hal dan membuat sesuatu yang mirip tapi berbeda. Seperti Pedoman Wallis Pinker yang mengacu pada The Coffee Cupper’s Handbook, atau juga Le Nez du Café. Mengambil banyak buku tentang kopi untuk menjelaskan pembuatan kopi di buku ini. Bahkan sejarah-sejarah pejuang hak suara wanita juga benar adanya, diambil dari berbagai buku dan narasumber lain.

Buku ini cerdas dan mendetail. Tidak hanya sekedar membahas filosofi kopi dan kehidupan tokoh utama, namun juga membahas mengenai asal-usul kopi, jenis-jenis kopi terbaik, cara meracik kopi, cara menikmatinya, juga mengenai ekonomi, politik, dan cinta, semua dibahas. Banyak hal dalam buku untuk didiskusikan. Aku berharap aku bisa bertemu dengan seseorang yang juga membaca buku ini dan mengobrol bersama. Buku benar-benar seperti kopi—kau bisa merasakan definisi manis-pahit-asam kehidupan di dalam bukunya, sama seperti bagaimana rasanya kopi yang biasa kita rasakan. Dan tentu saja, seperti kopi itu sendiri, buku ini juga lebih baik untuk orang dewasa ;) , hehehe.

Aku benar-benar ingin membaca bukunya lagi suatu hari nanti. Mungkin beberapa tahun lagi, setelah aku lebih mengerti tentang kerumitan dunia dan paham bagaimana menjadi ‘dewasa’.

Sekali lagi, aku terpesona dengan buku ini. Semoga orang lain yang membacanya juga merasakan hal yang sama.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments