Jalan Keluar dengan Menulis

By Sheren - Thursday, December 05, 2019

Hari Minggu kemarin saya mengikuti ELC-Economic Leader Class. Seperti namanya, kelas itu dijalankan untuk mengembangkan skill kepemimpinan mahasiswa, dan terutama diadakan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang kelak membawa FEB ke arah yang lebih berkualitas.

Karena saya panitia, jadi saya tidak fokus mengikuti keseluruhan agenda dan baru benar-benar fokus di sesi akhir, menit-menit terakhir pula. Kebetulan ada salah satu pertanyaan yang jawabannya menarik perhatian saya. Waktu itu salah satu audensi bertanya,

"Saat misalnya semua orang meyakini sesuatu yang sebenarnya salah dan hanya kita satu-satunya yang yakin pendapat kita yang benar sedangkan semua orang menolaknya, bagaimana cara kita bersikap?"

Dia menjabarkan beberapa step, tetapi hanya satu yang nyantol di kepala saya, step terakhir :

Menulis.

Yup. Menulis. Sebuah jawaban yang sangat sederhana, berada di sekitar kita, dan anehnya baru benar-benar saya sadari sekarang. Bukankah orang-orang hebat memang menuangkan ide pikiran mereka lewat tulisan? Bagaimana dengan Hitler dan Mein Kamf-nya? Stephen Hawking dengan teori-teorinya? Dan masih banyak lagi orang lain yang menuangkan pikiran mereka ke dalam kata-kata. Mungkin tidak dibaca hari ini, tetapi entah bagaimana besok, lusa. Setidaknya pikiran kita tersimpan, membeku dalam lembaran lembaran yang dapat bertahan jauh lebih lama daripada ingatan, dalam kata-kata, lewat tinta yang dituangkan.

Seperti kata-kata sambutan dalam blog ini : "Ingatan yang paling kuat lebih lemah, daripada tinta yang paling pudar."

:)

Dan sebenarnya, jika lebih dalam lagi berpikir, menulis tidak hanya dilakukan untuk sekedar mengamankan, membekukan buah pikiran.

Bang Gilang, pemateri saat itu berkata, "Jika kamu merasa benar, tulislah."

Saya, lebih lebih jauh lagi ingin menambahkan sedikit, "Apapun yang kamu rasakan, jika sudah tidak bisa dikatakan kepada orang lain, maka tulislah."

Termotivasi,
Bersedih,
Membenci,
Jatuh cinta,
Marah,
Bingung,

Apapun itu, apapun yang kamu rasakan, jika memang tidak tahu harus berbagi kepada siapa, maka tulis saja.

Saya, semenjak kuliah, memiliki beberapa teman baik dan lingkungan yang cukup menyenangkan sehingga untuk beberapa saat saya merasa tidak butuh menulis untuk membuat saya tetap waras. Sejujurnya, kepribadian yang baik akan menciptakan lingkungan yang baik pula.

Hanya saja hari ini, malam ini, beberapa hal sedikit mengusik hati dan pikiran saya. Mungkin karena tugas-tugas yang menumpuk (dan akhirnya selesai), tanggal UAS yang semakin dekat, dan ekspetasi-ekspetasi yang ternyata tidak sanggup dipenuhi oleh alam. 

Saya seharusnya belajar malam ini. Saya sudah bersungguh-sungguh meletakkan buku di sebelah saya. Tetapi setelah menyelesaikan tugas, saya merasa kepala saya penuh, penat. Jadi saya memutuskan hari ini saya memberi hadiah kepada diri saya sendiri dengan bersenang-senang. Jadi saya menonton, mendengar lagu, dan merapi dokumen-dokumen saya di laptop. Lumayan produktif.

Mungkin kalian yang membaca ini tidak menemukan sumber keresahan saya, kerisauan saya yang tiba-tiba memuncak di malam-malam begini. Saya juga tidak bisa menceritakannya tanpa membongkar privasi. Toh ini hanya masalah kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.

Hanya masalah ekspetasi dan harapan yang terlalu menjulang.

Di awal malam saya hanya mendengar lagu-lagu dari Hamilton--Musical Theater. Album mereka selalu membawa perasaan ceria. Tapi di penghujung malam, playlist saya berubah haluan 180 derajat. Mulai dari All I Want, The Scientist, hingga Memories-nya Maroon 5 saya dengar.

Saya cuma...sedih. Heran juga, pas pms semingguan lalu tidak ada perasaan-perasaan ganjil yang mengganggu saya. Malah sekarang perasaan itu memenuhi saya. Rasanya saya ingin tidur cepat tapi juga ingin mengeluarkan kesedihan ini dan menghadapinya--bukan dininabobokan.

Benar-benar seperti lagu "Kuingin marah, melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri di siniii~" hahaha.

Iya, saya sedang gegana-gundah gelisah merana, tapi tidak tahu harus melampiaskannya ke mana. Setahu saya, teman-teman saya juga stres karena tugas tugas dan deadline belajar untuk UAS. Lagian malam-malam begini, hampir tengah malam, semua orang sudah meninggalkan saya untuk tidur--makin menambah kesedihan saja.

Jadi di sinilah saya, seperti saran pemateri hari minggu kemarin--menulis. Kembali lagi ke blog ini, tempat 'waktunya sheren'. Waktunya untuk Sheren saat berbahagia, saat bersedih, tempat saya menuangkan segala isi hati saya--tidak sekedar isi pikiran.

Sebenarnya saya sudah merencakan sebuah malam panjang yang ditutup dengan perasaan menyenangkan. Benar-benar rencana kecil yang hanya dipikirkan di sel otak dalam kepala saya. Tapi apadaya, mood yang tidak terlalu bagus membuat saya jadi malas untuk melaksanakan rencana kecil itu. Kelihatan seakan-akan seluruh alam kompak untuk menolak rencana kecil saya.

Ah, saya tipe yang suka memutar-memutar dalam menyampaikan sesuatu, tidak bisa langsung menuju intinya. Tetapi inilah hal yang melegakan saya. Saya jadi mendapat waktu yang panjang untuk membuat pikiran saya teralihkan dan mendamaikan hati saya sendiri.

Sebenarnya saya tidak terlalu suka tidur dalam keadaan sedih. Seringkali hal itu membuat saya bermimpi terlalu buruk atau terlalu indah.

Terlalu buruk mungkin tidak mengherankan.

Tapi apa yang salah dengan terlalu indah? Masalahnya terletak pada pernyataan 'terlalu'. Sesuatu yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Sesuatu yang merupakan harapan di hati terdalam saya kemudian menjelma menjadi mimpi saat saya tidur. Hal itu sangat tidak menyenangkan ketika kemudian saya terbangun. Nyesek, gitu.

Dan terlalu buruk.....berkebalikan dengan harapan, mimpi yang terlalu buruk itu disebabkan oleh kecemasan-kecemasan yang saya tekan karena tidak bisa dikatakan. 

Tapi setelah menulis ini, walaupun topik 'kepemimpinan' dan 'kesedihan' sama sekali enggak nyambung, lumayan melegakan. Sudah lama saya tidak menulis semodel curhat begini.

Selamat malam. Selamat tidur. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments