Menyampaikan Rasa

By Sheren - Sunday, March 22, 2020



Di suatu sore yang cukup cerah, seorang teman tiba-tiba membuat pengakuan kepada saya.

"Aku menyukai seseorang."

Aku terkejut, bukan karena pengakuannya, tetapi karena kenyataan bahwa hubungan kami tidak sedekat itu hingga membuatnya bisa mengakui sesuatu di depan orang asing sepertiku.

Ya. Aku teman yang asing.

Dengan sedikit canggung aku menanggapi ceritanya sesederhana mungkin--karena biasa orang lebih senang didengar daripada disela.

Sampai di suatu titik, dia menceritakan sesuatu yang membuatku berpikir cukup lama,

"Aku kemudian menulis surat untuknya. Menceritakan tentang yang kurasakan. Tentang aku yang merasa nyaman padanya, tentang aku yang khawatir padanya, tentangku yang ingin dia bahagia. Aku tahu menulis surat terdengar alay dan men-drama, tetapi hanya itu cara yang terpikir bagiku. Aku tidak bisa mengucapkannya secara lisan, tapi aku ingin mengungkapkannya, ingin dia tahu. Jadi aku menulisnya dan memberikan surat itu padanya."


Ah, mungkin dia merasa itu tindakan yang lebay sehingga harus mengkonfirmasinya padaku. Dan aku sejenak juga merasa itu sangat 'korban film' dan mungkin akan memualkan. Tapi sekali lagi aku berpikir, sambil membentangkan batasan-batasan toleransiku lebih jauh, aku jadi merasa menulis untuk seseorang yang kita sayangi bukanlah sesuatu yang salah. Sama sekali tidak salah. Kita bukannya sok berpujangga dengan menulis kalimat-kalimat puitis. 

Kita hanya ingin dia tahu bahwa perasaan kita seindah kalimat yang kita tulis. Bahwa kita yang tak pandai berucap ini ingin dia menyadari rasa sayang kita yang masih canggung jika terucap oleh kata. Kita ingin dia tahu yang kita rasakan tanpa harus menatap wajah kita.

"Aku ingin dia bahagia." adalah kalimat naif yang benar-benar tulus diucapkan oleh temanku itu. Temanku ingin orang yang dia sayangi bahagia, dan dia menyampaikan itu lewat secarik kertas. 

Mungkin bagi siapapun yang menerima surat itu dari orang-orang yang menyayangi kalian, ingatlah bahwa surat itu dibuat dari kata-kata yang tidak terucapkan lidah. Bahwa se-alay apapun tulisan itu, sumbernya dari perasaan terdalam si penulis.


Oh, cerita temanku itu berakhir happy ending, saat orang yang dia sayangi berkata,

"Kamu tahu? Sumber kebahagiaanku itu kamu."

:)



*****

Cerita di atas benar-benar terjadi, hanya saja bahasanya ditulis ulang dengan cara yang agak berbeda (lebih halus) untuk keperluan blog.

Aku sebenarnya cukup terpana mendengar ada 'kisah cinta' yang cukup kompleks, cute, dan indah secara bersamaan seperti di novel/film, tapi terjadi di dunia nyata. Selama 21 tahun tinggal di bumi ini, aku merasakan untukku pribadi, cinta ataupun kasih sayang adalah kebutuhan, tetapi bukan sesuatu yang seharusnya membuat kita berada bak di dunia dongeng. Cinta bagiku tentang menemukan seseorang yang tepat untuk diajak meraih mimpi, untuk memperbaiki diri. Cinta tidak  selalu harus seseorang yang membuat kita baper, merona, membuat jantung berdegup kencang, dan bahkan membuat kita berada dalam kebingungan yang serba ambigu. 'Cinta' adalah sebuah langkah pasti, bahkan walaupun kita tidak tahu seperti apa medan yang akan kita lalui, dan bagaimana ujungnya. Setidaknya kita siap dan yakin.

Oke filosofiku terlalu panjang. Intinya sudut pandang cinta itu selalu berbeda-beda, tidak bisa didefinisikan dalam satu rasa saja. 

Sekian.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments