“Bapak dulu pasti sering kesel ya sama saya pas saya baru masuk, karena banyak salah?”
Meskipun ga diniatkan, pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulutku setelah bertanya-tanya sendiri selama 10 menit penuh. Pemicunya? Karena aku sebelumnya aku memang lagi kesal.
Dari dulu, aku memang bukan seseorang dengan kendali emosi yang bagus. Aku gampang kesal, dan agak saklek, atau lebih tepatnya aku ga terlalu suka perubahan. Misalnya ada sebuah siklus yang terbiasa aku jalani tiba-tiba melenceng dikit, jadilah aku sedikit terganggu dengan itu. Akhir-akhir ini, banyak hal berubah di tempatku kerja, dan perubahan itu bikin aku harus menyesuaikan ritme juga cara baru, kesalahan-kesalahan minor yang terjadi dan emosiku yang cepat tersulut inilah yang membuatku tiba-tiba terpikir; lah dulu gue gimana pas baru masuk? Gue inget kesalahan gue banyak banget dulu, saat itu seberapa banyak adaptasi yang harus dilakukan atasan dan rekan kerja gue?
Maka muncullah pertanyaan yang akhirnya terucap itu.
“Enggak tuh,” jawabnya dalam 0.001 detik, bahkan kayaknya tanpa benar-benar memikirkan jawabannya, ”….yang waktu itu doang, selain itu enggak.”
Aku waktu itu bengong dikit ngeliatin Bapak aspv satu itu, sambil ngebatin; sunda emang suka basa-basi gini ya?
“Ga mungkin lah,.”
“Beneran.”
Percakapan selesai sampai di situ. Terjadi beberapa hari yang lalu.
Aku gatau apa jawaban tadi sekedar untuk menyenangkanku saja, ga enakan, atau memang sebenar-benarnya jawaban. Tapi kalau dipikir-pikir, dalam 2 tahun kesempatan, beliau ini hampir hampir-hampir ga pernah bicara dengan nada tinggi ke aku, atau terlihat marah. Persentasenya sampai 98%.
Makanya, ketika ada banyak perubahan lingkungan di tempat kerjaku, aku baru menyadari, TERNYATA SABAR TUH SUSAH BANGET WOI. Teman lamaku zaman sekolah pernah bilang, “Sheren itu kalau moodnya lagi jelek, aura gelapnya terasa sampai radius 10 meter.” Ya maap ternyata itu ga salah. Aku itu mudah banget terganggu dengan hal-hal yang ga sesuai ekspetasi—padahal aku sendiri adalah orang yang sering jadi sumber masalah. Ini juga salah satu alasan utama aku ga mau terlalu akrab sama orang. Teman-temanku biasanya itu-itu saja, karena aku ga terlalu seneng kalau orang-orang mulai mengacaukan ekspetasi(ku). Funfact, ada satu temen yang mana aku ga pernah mau berhubungan lagi sama dia, gara-gara dia batalin janji jalan bareng di hari H. Terjadi waktu masih sekolah.
Beberapa minggu belakangan, tiap aku merasa segala sesuatu ga berjalan sesuai siklus, aku selalu mengulang-ngulang kalimat di kepalaku; “Inget kamu dulu gimana, inget dulu banyak salah. Namanya juga adaptasi. Adaptasi. Adaptasi. Adaptasi. Semua orang belajar.”
Padahal,sampai hari ini, gue ditinggal cuti juga masih panik. Bisa-bisanya berani menilai kinerja orang lain hiks.
Tulisan ini sebenarnya sudah lama mau aku posting, tapi masih maju-mundur. Cuma hari ini ada hal-hal melenceng kembali terjadi yang sampai buat aku mikir ini kayaknya azab karena belum sholat dzuhur padahal sudah jam 2 siang.
Hal-hal yang terjadi ini sebenarnya juga membuat aku bersyukur. Maksudku, sebenarnya doa seperti apa yang dipanjatkan sama orangtuaku sampai aku bisa berada di tempat kerja dengan atasan-atasan yang luarbiasa sabar dan mau menerima staffnya yang sangat lamban ini? Oh, God must love my parents so much.
Dua tahun, akulah yang ditoleransi. Tapi mulai saat ini, aku sudah harus menjadi bagian dari yang menoleransi itu.
Dan lagi-lagi, sebagai pengingat, aku mau kembali menulis sebuah paragraf yang dulu pernah aku tulis juga di blog ini, yang aku tulis saat aku juga sedang mumet-mumetnya;
Tentang menghargai. Membuka lebar pandangan terhadap orang lain, bahwa kata-kata dan habit orang lain yang tidak sesuai dengan kita, bukan menjadi tolak ukur untuk menilai orang tersebut. Bahwa setiap manusia memiliki nilai berharga, jika bukan untuk kita, setidaknya untuk diri mereka sendiri, dan pada titik itulah kita harus menghargai mereka.
Dulu aku menulis paragraf di atas itu dari sudut pandangku sebagai seseorang yang.. merasakan tanah rantau untuk pertama kali, merasakan bagaimana rasanya diremehkan orang lain. Kali ini, menulis kalimat itu membawa sedikit beban, karena teori ga pernah semudah praktek. Ada banyak sekali pertimbangan.. untuk menbuat kita bisa menghargai orang lain.
Sekian.


0 comments