![]() |
| source : dokumentasi pribadi |
Sebulanan terakhir ini rasanya capek banget. Fisik dan mentalku berlomba-lomba menguras energiku sendiri.
Di suatu postingan di blog ini, aku pernah bilang; kadang-kadang aku nulis supaya ga gila beneran. Dan malam ini aku sedang melakukannya. Menulis. Supaya tetap waras.
Sebenarnya ini salahku sendiri. Aku bukan orang yang pintar dan cekatan. Cenderung butuh waktu agak lama untukku mencerna informasi, dan kadang butuh waktu juga untuk mengerjakan beberapa kerjaan. Walaupun udah berusaha satsetsatset, tetap aja entah kenapa aku ga bisa segesit orang-orang sekitar.
Ada lagi.
Ada lagi.
Ada lagi.
Numpuk.
Satu-satunya cara yang bisa aku lakuin untuk mengimbangi ketidakcekatan dan tidak pintar pintar amat ini adalah dengan….ya bekerja lebih keras. Haha. Orang kadang-kadang nanya, “Kerja mulu Sher?” Yaaa karena kerjaannya emang belum selesaiiiiii.
Aku sebenarnya cukup senang sih bekerja. Jujur sejujurjujurnya dari hati paling terdalam. Rasanya senang aja gitu, bisa berguna untuk orang lain, bisa menghasilkan sesuatu, bisa mencapai target. Dari zaman sekolah juga aku selalu ikut organisasi sana sini sampai sedikit sekali waktuku di rumah. Begitu juga saat kerja, aku lebih senang menghabiskan waktu di kantor daripada di kos.
Karena waktu pulang rasanya sepi banget. Derit pagar dibuka. Putaran kipas angin. Suara air dari kamar mandi. Itu-itu saja yang kudengar. Ga ada yang bisa diajak ngobrol, berbagi cerita. Aku aslinya antisosial dan penyendiri sih, tapi bener-bener sejak merantau, kenyataan membuktikan aku ga suka sepi—aku cuma ga suka bergaul aja. Aku seneng duduk diem dalam circle buat dengerin orang cerita (doang).
Jadi ya, di kantor terasa lebih ramai, dan tempatnya juga lebih ideal buat kerja (yaiyalah, Sher). Tapi yang bikin aku sedih sebenernya karena….aku harus kerjaaaaaaaaa terus? Maksudku, kayak, sedih aja ga bisa segercep orang-orang. Jadinya aku terlalu sibuk dan fokus dengan jobdesk-ku sendiri, jarang bisa bantu kerjaan tim. Jarang juga bisa menikmati waktu dengan ‘nganggur’. Kadang gaenak sama tim karena bener bener lost banyak, cuma ngurusin kerjaan sendiri, tapi ya gimana ya? Gimana gimanalah.
Ini kayaknya makin ke bawah yang aku omongin makin gajelas deh wkwk.
Sebulanan ini aku hampir full masuk kantor sampai ke Sabtu-Minggu. Terus pulang jam 8,9, bahkan 10. Pas engga di kantor pun bawaannya jadi mikir, “Eh apa yang kurang ya? Ada lagi ga ya?”, belum lagi ada beberapa perubahan pola kerja karena penyesuaian ‘lingkungan baru’ dan itu bikin aku sadar kalau emosiku itu sumbu pendek banget—banyak ga sabarnya.
Sudah seminggu dua minggu ini juga hampir tiap malam aku mimpinya kerjaan. Ini jarang terjadi. Mimpiku itu biasanya random banget—atau ga mimpi sama sekali. Tapi akhir akhir ini tiap pagi bawaannya menghela nafas karena DI MIMPI PUN GUE KERJA WOI. Masalahnya di mimpi itu kerjaannya gue salah inilah, itulah, ga kekejar deadlinelah. Kacau banget.
Untunglah, untunglah Tuhan masih memberi bagian terbaik untukku—rekan kerjaku benar-benar se-supportive itu. Bahkan di antara semua kemumetan kerjaan ini, aku masih merasa sangat bersyukur karena dipertemukan orang-orang baik yang masih saling mendukung dan humoris. Humoris itu penting banget—walaupun kadang aku yang jadi bahan lawakannya. Setidaknya jadi bisa ketawa di tengah APAAN SIH INI. Gitu.
Soalnya, dulu di rumah, meskipun kami emang sibuk masing-masing dan cenderung individualis, kadang di jam makan malam, kami makan bareng di meja makan, sambil cerita tentang hari itu. Ketawa. Ngelawak. Curhat. Makanya aku ga suka banget pulang ke kos. Sendirian. Diem. Tidur.
Ah jadi inget lagunya Kita Usahakan Rumah Itu Sal Priadi.
Karena kalau nanti kita punya kesibukan
Malam, tetap kumpul di meja panjang
Ruang makan kita
Berbincang, tentang hari yang paaaanjaaaaaaaang
Rumah emang selalu jadi tempat terbaik untukku pulang. Tapi tanah rantau juga tempat terbaik untuk tumbuh dewasa. Dan aku sudah tau mana yang aku pilih.
Doaku cuma satu, semoga duitku makin banyak YaAllah, banyak-banyak-banyakkkkk banget sampe bisa punya rumah kayak rumahnya Ringgo Agus dan Sabai sekarang. Aamiiin…


0 comments