Aku hari ini lagi buka laptop dan iseng ngeliat file lama, ketika aku menemukan satu diary di tahun 2017. Yap, hampir 8 tahun lalu. Sayangnya, curhatannya ga selesai--dan aku juga udah ga inget kelanjutannya bagaimana. Tapi curhatannya mau aku pindahin ke sini. Karena toh, sepertinya tulisan ini emang dimaksudkan untuk dimuat di blog--mungkin udah keburu bosan nulisnya jadi ga selesai. Pas banget baca tulisan ini sambil dengerin lagunya Ruang Baru, jadi agak-agak meng-sad.
Here we go!
***
Desember, 2017.
Sabtu lalu hari yang lumayan buruk. Aku bangun
dengan perasaan demam dan kepala berat—mungkin efek samping dari kurang
(banget) tidur selama beberapa hari terakhir, belajar buat USBN. Memang sejak
beberapa hari lalu sudah tidak nyaman, tapi hari Sabtu itu aku benar-benar
demam. Sebagian besar badanku rasanya ingin tetap berbaring di kasur dan tidak
pergi ke sekolah. Tapi apalah daya, hati itu pertama belajar intensif UN—dan
ada guru yang galak.....
Namun ternyata demamku bukanlah bagian
terburuknya...
Pulang dari sekolah, mumpung sudah selesai
USBN, aku dan 3 orang temanku memutuskan buat ngumpul & makan-makan,
bersenang-senang, bernostalgia, dan menghilangkan stres sehabis ujian. Kumpul
kecil-kecilan ini benar-benar efektif. Kami banyak tertawa, banyak melampiaskan
kejengkelan, banyak gosip, lalu juga melihat foto-foto buku tahunan.
Girls-time, begitulah.
Well, di sinilah semuanya mulai. Jadi pas
asyik melihat foto-foto buku tahunan di laptop, aku mengecek ponselku dan agak
kaget melihat satu panggilan tak terjawab. It’s weird. Aku jarang sekali
mendapat telepon. Aku pun membuka pemberitahuan itu dan ternyata mamaku yang
menelpon. Ini justru lebih aneh lagi, dan perasaanku langsung turun ke titik
yang sangat tidak nyaman. Ada sesuatu, tentu saja.
Bukan, bukan mamaku yang punya masalah. She is a great mom. Beliau enggak akan
menelfon untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang lebih genting dan
mendesak daripada kepentingan pribadinya. Dan berarti hanya ada satu jawaban,
sekaligus satu pertanyaan tambahan.
Qari, adikku yang terkecil. Ada apa? Ada apa dengan
Cinta Qari sampai-sampai aku ditelfon—padahal biasanya meskipun aku
pulang malem, aku enggak ditelfon?
Berusaha tenang, aku langsung memutuskan untuk
segera menyudahi keseruan ini dan pulang. Semakin dekat dengan rumah, jantungku
semakin berdebar, tidak nyaman. Dan benar saja, ketika aku sampai di rumah,
kamar orangtuaku sudah kosong. Tidak ada Papa, tidak ada Mama, tidak ada Qari.
Yang ada hanya kedua saudara laki-lakiku yang lain.
Rumah
sakit. Tentu saja, tidak ada alasan lain lagi.
Aaaaaaaaaaah, rasanya seperti mimpi buruk. Ini
berarti sudah ketiga—atau mungkin keempat kalinya dia masuk rumah sakit.
Haruskah lagi? Dan dia hampir selalu masuk di saat aku juga sedang sakit—atau
mau ada kepentingan lain seperti ujian dan kegiatan besar. Polanya selalu
begini. Dan kasian sekali melihat adikku yang sering sakit—harus mengonsumsi
obat-obat di saat bayi begini. Bukan hanya berat buat dia, aku yang melihatnya
saja berat.
Ternyata kedua saudaraku sengaja menunggu di
rumah sampai aku datang, lalu kami pun menyusul ke rumah sakit. Saat aku
datang, syukurnya proses pemasangan infus sudah selesai, karena itu adalah
salah satu bagian terberatnya. Meskipun sudah beberapa kali menyaksikannya, aku
masih enggak tega melihat adik aku menangis-nangis begitu waktu.....begitulah.
Ah, sedikit nostalgia, rumah sakit kali ini
benar-benar seperti rumah sakit #apaanseh. Yah, kalian tahu kan, rata-rata
rumah sakit zaman sekarang, terutama yang swasta, suasananya udah kayak hotel
*pengalaman* *rajin datang ke rumkit* . Tetapi rumah sakit Z ini, well, penuh
dengan lorong-lorong panjang yang seakan tak ada ujungnya, lantai kusam,
wajah-wajah muram, lorong-lorong bercabang, halaman-halaman luas............
Pokoknya kerasa banget! Sudah lamaaaaaa sekali sejak terakhir kali aku masuk ke
gedung rumah sakit khusus bagian rawat inap ini. Rasanya merinding.
Awalnya, kami di bawa ke Ruang Anak kelas.. 3?
Katanya kelas di atasnya udah penuh. Namun sesampai di sana, tatapanku melebar,
syok, dan mulai berhitung dengan situasi. Aku tidak mengatakan apa-apa ke
Mamaku, tetapi syukurlah beliau memiliki pemikiran yang sama—kami lebih baik
pindah ke Ruang Rawat untuk Dewasa saja.
Kami dapat kamar yang lebih baik.
Well, selanjut-selanjutnya cukup membosankan
untuk diceritakan. Sama saja. Yang berbeda hanya satu. Lagi-lagi masalah lorong
yang panjang dan bercabang. Jadi ceritanya, karena aku enggak bawa baju ganti, aku
berniat pulang dulu. Aku pun ditemanin abang aku ‘mencoba’ keluar rumah sakit
sama-sama.
Kami
tersesat. Hari sudah nyaris gelap dan kami tersesat
dua-tiga kali sebelum akhirnya diberi petunjuk sama Ibu-ibu yang kayaknya
kasian melihat kami bolak-balik. Kami sempat mencapai lorong yang sepi tak ada
manusianya sama sekali dan penuh tumpukan barang..... Aku nyaris gila
membayangkan nanti malam harus kembali ke sini sendirian—meraba-raba lorong
yang gelap. Karena kebetulan Abangku tidak ikut lagi malam itu—jaga rumah.
Tetapi untunglah tidak seperti itu. Saat pergi
lagi ke rumah sakit, aku ditemani adikku yang pertama. Wow, emang
saudara-saudara yang bisa diandalkan.
Hanya saja...ekhem..pas menuju ruangan
inapnya, tetap saja kami tersesat, bahkan
nyaris menuju ruangan jenazah astaga. Kayak enggak ada tempat lain aja yang
harus disesati. Kalian bayangin? Di tengah kegelapan malam berjalan
lurussssssssss terus, lalu belok, lalu bla-bla-bla, dan kalian melihat
disamping kalian ada plang bertuliskan......ah, sudahlah.
***
Di hari kedua, aku harus pulang karena
besoknya sekolah. Well, lagi-lagi aku diberi cobaan. Aku sendirian ketika
sampai di rumah, hari sudah maghrib.
Dan mati lampu.
Oh My.. Aku enggak suka ini. Aku emang enggak
suka keramaian, tetapi aku selalu takut kalau aku benar-benar sendiri, apalagi
di tengah kegelapan. Aku ini parnoan, aku bahkan selalu menghindari film hantu
dan sebangsanya. Dan sekarang aku harus menghadapi ini? Jujur ini memang
pertama kalinya aku sendirian, hampir malam, dan mati lampu hahaha.
Di tengah kegelapan itu, aku pun mencoba-coba
untuk berimajinasi. Aku teringat salah satu versi Beauty and The Beast yang
pernah aku tonton *Enggak tahu ini versi siapa, tapi bukan versi disney*. Aku
berusaha membayangkan menjadi seperti tokoh utama—Belle, yang di filmnya juga
sedang berjalan-jalan membawa sepotong lilin sambil berkeliling kerajaan yang
gelap—mencoba mengecek pintu-pintu dan menutupnya.
Oke, maafin aku karena kegajean bodoh ini. Itu
semata-mata supaya menghindarkan aku dari pikiran yang lebih parah tentang
sesuatu yang tak berkepala atau bahkan bloody mary (karena di ruang makan di
rumah aku, ada kaca yang sangat besar) . Tetapi pemikiran gaje tentang beauty
and he beast pun hanya bertahan semenitan, karena bagaimana mau berpikir
seperti itu—jika justru rumah aku seperti sarang hantu. Benar-benar berantakan!
Kalian bisa bayangin kan, berada di ruangan gelap yang hanya diterangin lilin,
keadaan sekitar sepi, dan barang berserakan di mana-mana? Astaga. Aku
sungguh-sungguhan putus asa berada sendirian di rumah saat itu.
PESAN
untuk semua ibu dan istri yang baik; Jangan tinggalkan
rumah Anda lebih dari sehari kepada para pria, kecuali Anda ingin rumah Anda
seperti kapal pecah yang digentayangin.
Yah, begitulah, bahkan baru setelah 30 menit
mencari aku akhirnya menemukan 1 kunci motor, padahal di rumah ada 3 motor yang
tak terpakai.


0 comments