Hari kemarin, aku lagi setengah bengong nge-swipe stories following instagramku, sampai ada satu story teman lama yang bikin jempolku menekan jeda.
Gereja.
Harusnya tidak ada yang aneh dari story itu, hanya sebuah foto di dalam gereja yang cukup cantik, dengan altar dan patung salib. Satu hal yang menggelitikku justru memori lama tentang desas-desus yang beredar belakangan ini di antara circle kami;
Sepertinya dia beneran pindah agama ya.
Meskipun tidak selalu relevan, aku menganggap ada dua hal yang seringkali menjadi faktor seseorang pindah agama; pertama karena jatuh cinta yang luar biasa, kedua karena depresi yang luar biasa.
Temanku tampaknya tidak sedang jatuh cinta.
Dan jauh, jauh sebelum desas-desus ini, memang seringkali storynya mengarah ke tulisan-tulisan yang menunjukkan kesedihan, ketidakpuasan hidup, dan hal-hal semacam itu yang dibalut dalam kata-kata puitis.
Aku yakin, kita, apalagi manusia-manusia dewasa yang sudah harus menghidupi dirinya sendiri, tidak cukup naif untuk berkata bahwa kita selalu mencintai agama kita--atau Tuhan kita. Pasti ada momen di mana kita benar-benar jatuh dan marah kepada-Nya. Bertanya-tanya, kenapa kita berada di jalan yang seperti ini?
Berdasarkan pengalamanku melihat beberapa orang, orang yang benar-benar depresi justru akan menjauh dari agamanya--dan semakin marah kalau dinasehati untuk mendekatkan diri dengan agama, karena mereka sendiri sedang mempertanyakan keberadaan Tuhan saat sedang bingung seperti itu.
Tapi sebenarnya aku tidak bertujuan membicarakan agama dalam postingan ini.
Aku ingin membicarakan tentang mental orang-orang.
Temanku yang di atas tadi itu orangnya pintar banget, dan berasal dari keluarga cukup berada. Kalau kita lihat di permukaan, dengan kesempurnaan seperti itu, apalagi yang membuat mereka stres?
Masalahnya adalah, kita ga akan pernah tau cara berpikir seseorang sampai kita hidup dibalik kulitnya.
Hidup itu paradoks sekali, seseorang bisa sangat-sangat kuat, penuh semangat untuk terus hidup bahkan jika keadaan sangat buruk--kena kanker misalnya. Berapa banyak survival kanker di sekitar kita?
Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang begitu rapuh, tidak punya harapan untuk hidup, dan terus-terus berharap menghilang dari dunia, hanya karena masalah-masalah sepele--tidak naik kelas misalnya? Atau karena kesepian?
Pernah ga kalian ditelfon dari jam 11 malam dan baru ditutup jam 2 subuh oleh seseorang karena dia merasa ingin mat* dan ingin bund*r?
Aku pernah, terjadi di awal kelulusan kuliah. Agak kaget. Kami bahkan ga seakrab itu. Tapi dia cuma butuh orang untuk mendengarkan.
Jujur gue ngantuk bet waktu itu, tapi nyawa orang lebih penting daripada ngantuknya gue.
Pernah juga di sebuah aplikasi namanya Quora, ada seseorang yang selama beberapa minggu terus menerus menulis tentang kesedihan--tak lama kemudian muncul berita di media nasional tentang kematiannya--bunuh diri.
Seseorang waktu itu menulis komentar seperti ini;
"Terimakasih untuk kalian yang waktu itu menulis komentar baik untuknya--menulis kata-kata semangat. Setiap komentar kalian menambah satu hari lagi untuknya bertahan hidup--dan itu sudah sangat luar biasa."
Ada banyak hal-hal yang terjadi di sekitarku, yang pada akhirnya membuat aku belajar untuk menahan diri dalam mengomentari orang lain atas hal-hal yang mereka lakukan.
Meskipun aku sendiri pada dasarnya emang ansos dan pendiam, tapi untuk masalah memberi komentar negatif ke orang lain aku sebisa mungkin menahannya--kecuali kalau orang itu memang benar-benar bermasalah denganku.
Orang-orang tidak terbagi dalam hitam dan putih--jahat dan baik.
Seorang yang gay, bukan berarti otomatis dia masuk kategori orang jahat.
Seseorang yang berkerudung, tidak otomatis dia masuk kategori orang baik.
Seseorang yang berselingkuh, bukan berarti semua yang dia lakukan otomatis kesalahan.
Seseorang yang ramah, juga bukan berarti dia orang yang selalu benar.
Memang terdengar naif kalau kita selalu mencoba berpikir positif tentang orang-orang dengan "noda" besar, tapi juga sangat naif bagiku kalau kita membicarakan orang-orang seperti itu seakan kita paling tidak tercela--hanya karena kita tidak melakukannya.
Manusia itu sifatnya sangat berlapis-lapis. Bisa jadi, kamu orang yang selalu jujur dan itu baik, tapi apa mungkin kamu akan menyadari, kata-katamu selalu tajam dan menyakiti orang lain? Bukankah itu buruk? Jadi sebenarnya kamu baik atau buruk?
Semua kembali ke sudut pandang. Itulah kenapa aku ga begitu peduli dengan orang yang punya satu atau dua kesalahan dalam suatu lingkungan. Baik dan jahat kadang-kadang benar-benar bisa berjalan beriringan.
Aku pun bukan orang yang benar-benar menghindari menggosip, pada titik tertentu malah aku yang memulainya. Tapi ada batas-batas yang cenderung aku lakukan kalau mau membicarakan orang--misalnya, kalau si X melakukan hal menyebalkan ke Y, aku memilih menghindari pembahasannya, karena toh, si X ga ngelakuin hal menyebalkan itu ke aku.
Dan sekali lagi, kita tidak pernah benar-benar tau bagaimana keadaan mental seseorang sampai kita hidup di balik kepalanya. Kita tidak akan tahu persis, di ucapan yang mana kita meruntuhkan mental seseorang, di gesture seperti apa kita menyinggung dia.
Memang bukan urusan kita,
Tapi,
Tidak ada salahnya untuk terus berbuat baik. Terus berkata baik.
Karena kita ga akan pernah tahu, mungkin ada malam-malam di mana seseorang itu lagi buka shopee untuk beli kitab agama lain--atau malah tali tambang--
Kita ga akan pernah tahu, mungkin suatu hari, kitalah yang sambil menangis sembari nge-scroll kontak Whatsapp, mencari seseorang yang bisa ditelfon jam 11 malam, hanya agar kita ga bertemu malaikat maut lebih awal.
Teruslah berbuat baik.
***
Thankyou for reading! Sebenarnya aku lagi mumet closingan plus deadline design. Jadi procastinate emang salah-satu hal yang paling menggoda untuk dilakukan, maka muncul-lah tulisan suka-suka di atas.





