Ich Liebe Dich

By Sheren - Friday, April 03, 2015


Masih ingatkah dirimu? Dulu saat aku tak sengaja bergumam, melontarkan kalimat itu dari bibirku, bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah dirimu masih mencintaiku?”
Dan kamu, yang saat itu duduk di sebelahku di bangku yang sama, mendengar gumamanku dan menatapku dengan jenaka, lantas meletakkan kedua tanganmu disamping kiri-kanan bibirmu, berbisik kepadaku, “Tentu saja, aku masih dan akan terus mencintaimu,”
Kalimat manis itu, membuat bibirku mengukir senyum tipis, merasakan pipiku panas.    
“Lihat pipimu, merona seperti tomat yang sudah masak,” kamu tertawa pelan saat itu, amat sengaja menggodaku.
“Kamu tidak seharusnya menjawab itu..” ucapku malu, menepuk kedua pipiku dengan pelan.
“Kamu benar juga,” kamu terlihat setuju, mengangguk-angguk, “Karena..dikatakan atau tidak dikatakan, namanya tetap cinta, bukan?”
Ah, aku ingat, itu adalah kutipan kalimat penulis favoritku, Tere Liye. Ternyata sejak awal kamu tidak berniat untuk setuju denganku. Yang kamu ingin lakukan hanyalah menggodaku, membuat tidak lagi pipiku, tetapi seluruh wajahku memerah.
Kebersamaan kita itu, mengingatkanku saat pertama kali kita bertemu. Saat tatapan kita berdua tak sengaja bertemu di lorong sekolah, dan aku hanya bisa menarik nafas, menyadari betapa tampannya dirimu. Wajahmu, wajah putihmu yang dihiasi dengan alis tebal dan mata yang hitam, akan tetapi dengan tatapan ramah yang menyenangkan. Rambut lurus hitam yang sedikit berantakan dan melewati dahi, memberi kesan cool dengan nyata. Dan kamu menatapku, melewati tirai bulu matamu yang hitam dan lentik.
Aku sungguh tidak bisa berkata-kata-walaupun memang tidak ada yang perlu dikatakan-yang bisa kuingat selain wajahmu waktu itu hanya debaran jantungku yang berbeda dari biasanya, seakan-akan aku baru berlari kencang selama beberapa waktu.
Kali pertemuan pertama kita, tidak dibiarkan terlupakan begitu saja, kita begitu sering berpas pasan diantara rak-rak tinggi yang berisi buku-buku tua di perpustakaan sekolah. Kamu ternyata menyukai sastra, dan kebetulan sekali aku sedang ingin memperdalam keingintahuanku terhadap sastra. Benar-benar membuat kita berdua berada di lorong di antara rak-rak yang sama, hanya saling membelakangi, berjarak beberapa senti.
Saat itu, setelah beberapa kali pertemuan kita, di tempat yang sama, dan masih saling memunggungi, aku secara tak sengaja bergumam, “Oh indahnya!” saat membaca salah satu puisi dari penulis tanah air, Chairil Anwar. Dan aku secara tak sengaja mundur selangkah, membuatku menabrak punggungmu.
Kamu terkejut-tentu saja. Begitupun aku, hingga tak sengaja menjatuhkan buku kecil itu. Tetapi aku terlalu salah tingkah untuk mengambil buku itu, dengan gugup aku menatap matamu-yang juga menatapku terkejut sekaligus bingung-kemudian berbisik lirih, “Maaf, enggak sengaja..”
Apa yang kudapati saat itu? Sudut-sudut bibirmu tertarik berlawanan ke atas, mengukir sebuah senyum-yang tidak hanya membuatku lega tetapi juga membuatku merasakan desir yang aneh, desir yang seperti kau rasakan saat kau duduk di mobil dan mobil itu meluncur dari ketinggian dan menuju kebawah dengan cepat-dan senyum itu-Oh! Senyum itu membentuk dua lesung pipi di kanan dan kiri pipimu, membuatmu begitu menawan, menambah keramahanmu yang telah tercetak jelas sebelumnya.
Kamu lalu mengambil buku itu, mengembalikannya kepadaku, “Apakah kamu menggemari karya Chairil Anwar?” bukannya menanggapi permintaaan maafku, kamu malah lebih tertarik untuk membahas Chairil Anwar. Aku mengangguk gugup, berusaha menghindari tatapan ramahmu itu, “Sebenarnya aku baru mencoba membacanya, dan isinya sangat bagus,”
“Tidak heran, dia penulis hebat. Aku juga sangat menggemari puisi-puisi karya beliau-“ dan sisa waktu istirahat itu kita habiskan dengan mengobrol tentang Chairil Anwar, hingga kemudian petugas perpustakaan mengusir kita berdua, mengomel betapa ributnya kami, mengobrol di perpustakaan. Aku seharusnya sangat jengkel saat itu, karena setahuku kami hanya berbisik-bisik. Tetapi saat menatapmu yang dengan tenang keluar dari perpustakaan dan bahkan sebelumnya mengucapkan permintaan maaf ke petugas galak itu dengan manis, semua rasa jengkelku luruh, dengan cepat digantikan dengan rasa bahagia yang tak terbilang.
“Maaf-maaf membuatmu terusir dari perpustakaan dan membuang waktumu membaca,” katamu waktu kita berdua keluar dari perpustakaan.
Aku terperangah, “Harusnya aku yang meminta maaf, jika aku tidak menabrakmu dari belakang, kita akan tetap sibuk membaca,”
Dia terkekeh pelan, lantas berkata dengan misterius, “Aku tidak menyesal kau menabrakku,”
Kita bersenang-senang disisa waktu istirahat saat itu, kamu kemudian sadar bahwa kita belum berkenalan sama sekali. Setelah kita tertawa geli dan berkenalan, aku baru tahu kamu adalah seniorku. Tetapi bagimu itu tidak masalah, kamu hanya berkata untuk tidak perlu memanggil dirimu dengan sebutan resmi seperti yang biasa dilakukan.
Aku, yang seakan amat terhipnotis oleh tingkahmu yang selalu tak terduga, hanya mengangguk, memasang senyum yang kuharap adalah senyum termanis yang pernah dilihatmu.
Kita belum mengenal dekat, akan tetapi, beberapa minggu kemudian, kamu kemudian memintaku untuk menjadi kekasihku. Dengan cara yang unik, membacakan penggalan dari soneta Shakepeare.
Those lines that I before have writ do lie,
Even those that said I could not love you dearer;
Yet then my judgment knew no reason why
My most full flame should afterwards burn clearer.
But reckoning Time, whose million'd accidents
Creep in 'twixt vows and change decrees of kings,
Tan sacred beauty, blunt the sharp'st intents,
Divert strong minds to the course of altering things;
Alas, why, fearing of Time's tyranny,
Might I not then say 'Now I love you best,'
When I was certain o'er incertainty,
Crowning the present, doubting of the rest?
                                Love is a babe; then might I not say so,
                                  To give full growth to that which still doth grow?[1]

Di akhir kalimatnya itu, kemudian kamu menanyakannya kepadaku, dengan nada yang selembut beledu, sehalus sutra,  mengalun bak piano yang berdentang, melewatiku bagai genta angin yang lembut, “Maukah kau menjadi kekasihku?”
Aku tentu saja mengangguk, sangat menerima permintaan itu. Tapi tak ayal, akhirnya tawa yang sudah kutahan sejak awal akhirnya meledak juga. Aku tidak tahan dengan tingkahmu saat membawakan soneta Shakepeare. Bukannya aku ingin merendahakan kamu saat itu, kamu sendiri sudah mengikuti berbagai kompetensi membaca maupun menulis puisi dan menyabet juara. Aku hanya merasa tingkahmu yang terlalu romantis dan kuno itu sangat menggelikan.
Kamu, untungnya tidak tersinggung, malahan kamu ikut tertawa bersamaku. Mengatakan itu hal terkonyol tapi juga terbaik yang pernah kamu lakukan untukku.
Setelah tawa kita mereda, ternyata kejutan untukku tidak sampai disitu. Kamu tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah bungkusan dari tasmu, kotak persegi panjang berwarna biru-warna yang kamu tahu adalah warna kesukaanku.
Aku perlahan membuka kotak itu dan terpekik kegirangan, kamu memberiku apa yang tak pernah kuduga. Sebuah buku bersampul kulit berwarna cokelat, dan judulnya dibordir dengan indah oleh benang-benang tebal, Soneta William Shakepeare.
Sekejap, setelah aku pulih dari rasa girangku, aku menatapmu yang sedang menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang-yang selama ini adalah tatapan yang selalu kamu tahan.
Aku bertanya ragu, “Ini mahal bukan?” Dari sampulnya saja, sudah sangat jelas ini barang yang cukup mahal. Apalagi soneta ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan buku ini tidak ada  di kota ini, tetapi berada di luar pulau ini.
Kamu menggeleng, tersenyum, “Percayalah, ini tidak semahal yang kamu pikirkan. Lagian, aku benar-benar bahagia dapat memberikanmu ini, apalagi yang bisa kuberi?”
Aku ikut tersenyum, menggerlingnya dengan jail, “Tentu saja kau bisa memberiku cinta. Terimakasih-oh! Sungguh terimakasih!” aku memeluk lehermu erat, menyandarkan kepalaku di dadamu. Perlahan, aku dapat merasakan kamu membalas dekapanku dengan lembut, mengucap betapa beruntung kamu bisa memilikiku.
Hari-hari yang ku jalani bersamamu adalah hari yang indah dan menyenangkan. Dan kuharap kamu pun merasakan hal yang sama. Ketika kamu mengatakan dirimu beruntung karena memiliku. Aku merasa lebih beruntung lagi. Aku bukanlah gadis yang cantik, aku bahkan hanya berkulit sawo matang, tidak putih seperti kamu. Tetapi kamu tampak tak perduli, kamu selalu menenangkanku dengan kata-kata sepele saat aku mengeluhkan kekuranganku, “Kamu adalah wanita tercantik bagiku-setidaknya setelah Ibuku, sungguh, aku tidak tahu apa yang kamu keluhkan sayang. Dirimulah yang aku cintai, bukan kulitmu, bukan fisikmu,”
Saat aku bertanya apa yang membuatmu menyukaiku diantara wanita lain, kamu tidak langsung menjawab, melainkan menampakkan senyum yang selalu membuat hatiku bergejolak penuh perasaan dan membetulkan anak rambut ikalku yang jatuh ke dahi, membawanya kembali kebelakang telinga. Barulah setelah itu kamu menjawab, menatap lembut mataku yang sudah sangat dekat dengan matamu, “Aku tidak tahu, mijn liefde[2]. Yang aku tahu adalah, saat pertama kali menatapmu di lorong itu, aku merasa seluruh beban di pundakku mengudara. Aku merasa bahwa aku harus terikat kepadamu agar aku dapat merasa sebebas kupu-kupu. Dan saat kita bersama di antara rak-rak perpustakaan itu, aku sudah merasa bahwa tak ada lagi yang harus kukhawatirkan. Hanya karena kamu bersamamu,”
Seketika aku merasa luluh. Bahwa tanpa kusadari air mataku menggenang. Kata-kata indah itu, kata-kata yang kamu ucapkan dengan tulus, tak ayal membuatku jatuh cinta lagi kepadamu, untuk kesekian kalinya.
Sayangnya semua itu tinggal kenangan. Akhirnya, saat itu tiba. Waktu itu aku menunggumu, menatap langit yang segelap perasaanku, menatap rintik hujan yang seakan mewakili air mataku.
Di taman itu, di taman kecil yang menjadi favorit kita berdua. Aku harus menyampaikan apa yang memang harus kusampaikan. Karena aku tidak ingin egois. Aku tidak ingin merusak hubunganku dengan orang-orang terkasihku hanya karena keinginanku-untuk terus bersamamu.
“Hai,” walaupun waktu itu hujan, kamu tetap datang, seperti yang memang selalu akan kamu lakukan. Karena kamu tidak pernah mengingkari janji.
Aku tersenyum, akan tetapi tidak sanggup membalas sapaanmu.
“Maaf sedikit telat,” katamu, mengangkat kantong plastik sebagai alasanmu, “Tadi aku singgah membeli chocolate hangat, supaya kamu bisa menghangatkan diri,”
Aku mengangguk, merasa ingin menangis karena kamu mengingat minuman kesukaanku dan bahkan membelinya di tengah hujan, kupaksakan diriku berbisik, “Duduklah,”
Kita berdiam diri lama, hanya menikmati minuman masing-masing dan menatap hujan yang sejak tadi tetap gerimis. Kamu mungkin waktu itu menganggap ini hanyalah kencan biasa.. Akan tetapi aku jelas tahu ini sama sekali berbeda. Aku hanya tidak sanggup mengatakan apapun.
Lima belas menit, aku akhirnya berdehem, memanggil namamu. Kamu menatapku, masih dengan tatapan yang menyenangkan sekaligus penasaran. Demi melihat tatapan itu, aku berpaling, sungguh, aku tidak akan pernah lagi sanggup menatap mata itu.
“Kupikir.. aku.. aku ingin kita mengakhiri semuanya sampai disini saja,”
Dari sudut mataku, aku dapat melihat kamu berhenti menyesap minuman yang sejak tadi kamu teguk secara perlahan, menatapku semakin tak mengerti.
Aku mengangguk, menegaskan perkataanku, “Kita putus. Aku ingin putus,”
Perlahan, akhirnya kamu mulai mengerti arah pembicaraanku, “Kamu jangan bercanda,”
“Aku enggak bercanda,” aku akhirnya berpaling menatap mata gelapmu saat itu, sambil berusaha menahan agar air mataku tidak merebak, “Tapi aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan kita,”
Kamu membelalak menatapku, menggeleng-gelengkan kepalamu, “Kenapa? Apa aku menyakitimu?”
Aku menghela nafas, menggigit bibir bawahku demi menahan agar bibirku tidak bergetar.
“Kenapa?” bisikmu sekali lagi, aku sangat bisa merasakan suaramu yang terdengar sangat sedih, “Aku benar-benar menyakitimu? Katakan saja. Aku berjanji akan berusaha menebus kesalahanku,”
Anata[3]...” suaraku bergetar, “Kamu enggak salah,”
Dia menatapku, menanti jawaban. Perlahan, aku akhirnya menjelaskan semuanya, “Kamu tahu sahabatku kan? Yang sebangku denganku? Dia adalah temanku sejak kami masih di taman kanak-kanak. Kami bertetangga.
“Waktu itu..aku sedang piket dan membersihkan laci-laci meja. Saat aku sampai di meja kami berdua, aku tak sengaja melihat sebuah buku di laci mejanya. Aku menyadari bahwa itu adalah buku diary dari tampilannya. Karena iseng, aku pun membacanya.
“Tahukah kamu? Ternyata dia mencintaimu! Dia mencintaimu bahkan sebelum kita bertemu di lorong sekolah itu. Dan dia.. dan dia harus merelakan dirimu dengan aku. Kamu tahu, betapa sakitnya aku saat membaca halaman demi halaman diary-nya. Mecintai kamu, sepanjang hari. Menatap penuh kecemburuan saat kita berdua bersama, dan diapun harus berada disisiku! Apa yang telah kuperbuat? Aku begitu jahat kepadanya! Dia sudah memendam perasaan begitu lama, tanpa pernah terbalaskan hanya gara-gara aku, sahabatnya sendiri”
Aku menghela nafas marah kepada diriku sendiri. Andai saja aku tidak membaca diary-nya. Mungkin semua ini akan baik-baik saja. Tetapi aku juga bersyukur karena telah membaca diary-nya. Sehingga aku tidak perlu menyakiti perasaan sahabatku lebih lama lagi.
Kamu terpana selama beberapa saat, lalu menggelengkan kepalamu lagi, “Itu alasan yang sangat klise. Dia bisa menerimanya, aku yakin lambat laun dia akan-“
“Tidak. Dia tidak akan. Kamu adalah cinta pertamanya. Dan aku sangat menyesal karena merusak segalanya. Ya Tuhan, kumohon mengertilah, dia adalah sahabatku, sahabatku sejak kecil! Aku tidak ingin menyakitinya hanya karena kami mencintai orang yang sama. Kita putus oke? Aku minta maaf, tapi kumohon hargai keputusanku. Aku tidak ingin memalsukan ikatan persahabatan kami dan akhirnya merusaknya hanya karena hal sepele seperti ini,”
Kamu tidak menganggapi seluruh kalimatku saat itu. Hanya diam menatap butir-butir air mata yang jatuh ke pipiku.
“Aku tidak bisa.. Sungguh, aku tidak bisa meninggalkanku,” ujarmu pada akhirnya, semua keramahan dalam tatapanmu telah hilang, tergantikan oleh tatapan pedih.
“Demi aku..demi sahabatku..”
Lama, akhirnya kamu menghela nafas, memalingkan wajahmu ke arah luar pondok kita di taman. Aku benar-benar dapat melihat matamu yang memerah, dan kamu menggigit bibirmu.
“Apakah kamu yakin?” tanyamu dalam bisikan, suaramu begitu rapuh, seperti kaca yang retak.
“Aku sudah yakin sejak lama..dan..” aku membuka tasku, mengambil sebuah bungkusan, kotak berwarna biru-warna kesukaanku yang kamu tahu persis, aku menatapnya lama, merasakan semua kenangan menerobos pikiran.
“Ini..” akhirnya kuberikan bungkusan itu, mendorong ke arahmu, “Soneta yang kamu berikan saat...saat pertama kali kamu memintaku jadi kekasihmu. Ini adalah ikatan kita berdua selama menjadi sepasang kekasih. Dan saat hubungan kita berakhir.. sebaiknya ini kukembalikan lagi padamu,”
Dengan cepat, kamu menunduk menatap bungkusan itu, lagi-lagi menggeleng, mendorong kembali bungkusan itu ke arahku, “Tidak. Jangan, jangan kembalikan barang ini kepadaku. Biarlah ini tetap bersamamu. Biarlah ini menjadi pengingat, saksi, bahwa aku masih dan tetap mencintaimu..”
Kamu berdiri, dan sebelum melewatiku, kamu berdiam sebentar, menggenggam tanganku yang berada diatas bungkusan tersebut, “Ich liebe dich[4]. Walaupun hubungan kita telah berakhir. Aku akan selalu mencintaimu, menyayangimu. Tidak ada orang lain. Kamu adalah satu-satunya. Ich liebe dich. Aishiteru.[5]
Akhirnya kamu berbalik, melangkah pelan keluar pondok, menembus hujan dan akhirnya menghilang diujung jalanan.
Aku terisak, memeluk kotak biru yang berisi buku kumpulan Soneta itu, “Terimakasih..Sungguh terimakasih. Aku juga sangat mencintaimu..”



[1] Soneta 115
[2] Cintaku (Belanda)
[3] Kamu (Jepang)
[4] Aku cinta kamu (jerman)
[5] Aku cinta kamu (Jepang)


***

Cerita pendek ini, cuma cerita. Bukan untuk siapapun dan bukan untuk apapun. Saya benar-benar enggak menyangka cerita ini dapat diselesaikan dalam satu hari. Untuk kesalahan bahasa asing, kalo ada, saya minta maaf :v .Beberapa ide cerita ini terinspirasi dari kilasan pengalaman nyata saya. Baik sifat, karakteristik, fisik tokoh, maupun kejadian-kejadian dan latar tempat.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments