Cerpen : Gadis Sebelah Rumah

By Sheren - Tuesday, November 17, 2015

source : deviantart


***
Dari halaman sebelah rumah, diantara kayu-kayu yang berserakan, di antara batako-batako yang tersusun rapi, selalu aku perhatikan gerak-gerikmu.

Mungkin kamu tidak begitu menyadarinya. Karena kamu selalu sibuk dengan dirimu sendiri. Kamu akan duduk tenang di ayunan sepulangnya kamu dari sekolah, sambil membaca sebuah buku, sama sekali tidak menoleh. Sama sekali tidak perduli dengan awan yang berarak dilangit, tak perduli jika helai rambutmu jatuh menutup dahi. Baru akan berlari masuk rumah ketika matahari tumbang di ufuk barat.

Dari bubungan atap aku menatapmu, sambil memasang genteng-genteng. Yang mungkin juga tidak kamu sadari, karena kamu sedang sibuk bercengkrama dengan anak-anak kecil yang selalu berdatangan dari segala penjuru. Betapa inginnya aku seperti anak-anak itu, dapat berbicara denganmu tanpa canggung, dapat menerima senyummu yang selalu ceria.

Ketika mengaduk semen, aku pun tak henti melirikmu. Tapi kamu juga tidak merasakan lirikan itu. Kamu akan bernyanyi bersama gitarmu, mengalahkan kicauan burung di pagi hari. Yang tanpa kamu kira, menghibur kami sebuah di halaman sebelah rumah. Akupun selalu ikut bernyanyi di pikiranku, bersamamu.

Aku akan selalu mengingat semua tentangmu, semua yang telah kuketahui. Rambutmu yang segelap malam, yang seringkali digelung kebelakang. Jari-jari lentikmu yang tak bosan membuka lembaran-lembaran dari buku setebal batako-ku. Matamu yang selalu berbinar menatap anak-anak tetangga. Dan bibirmu yang selalu mengeluarkan suara merdu. Tak akan kulupakan, sekalipun aku lupa ingatan.

Memang, tidak ada dari diriku yang bisa kubanggakan padamu. Karena  bahkan aku bukanlah seorang kuli bangunan. Aku hanyalah anak Bapakku. Aku hanya seorang putra dari Bapaknya, yang membantu membangun sebuah rumah. Aku tidak mengerti banyak mengenai seni membangun rumah, aku belum bisa membangunkan sebuah bangunan yang indah untuk dirimu.

Aku bukanlah siapa-siapa. Teman-teman bapakku bilang aku mulai gila, karena mengagumi anak sebelah rumah, yang bahkan tak pernah menatapku. Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanyalah aku, yang kadang-kadang mengenakan seragam sekolah, dan kadang-kadang mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang lusuh. Aku, yang selalu mengagumimu.

Cinta memang pembodohan, itulah kata Marjinal, penyanyi gila favoritku. Sangat akurat dan terbukti ketika aku menerima upahku. Kamu tahu, biasanya aku akan menyimpan uangku untuk kehidupan masa depanku, untuk semua mimpi-mimpiku kelak. Tetapi kali  ini, untuk pertama kalinya sepanjang aku mendapat uang, aku pergi ke toko dan membeli barang yang tak pernah aku tertarik sebelumnya.

Hari ini mungkin hari terakhirku di halaman sebelah rumahmu. Di halaman rumah tetanggamu. Aku tak tahu apakah ada kesempatan setelah ini. Aku tidak ingin melupakan semua kenanganku di halaman ini bersamamu. Aku ingin menyimpannya, aku ingin memiliki sesuatu untuk mengenangnya.

Sekali lagi, aku hanyalah aku, yang saat ini jantungnya berdentam-dentum seperti ketika seseorang memukulkan palu. Sekarang hanya ada kita berdua. Bapakku sudah pulang, pun dengan teman-temannya. Kamu sedang membaca, untuk kesekian kalinya. Tak menyadari sama sekali langkahku yang mendekat. Rambutmu yang kali ini kamu biarkan terurai menutupi segala pandanganmu, kecuali kepada buku itu.

Berkover hitam, setebal batako. Les Misérables, judulnya. Apakah memang semenarik itu?

Untunglah tak lama kemudian kamu merasakan kehadiranku. Aku masih mengingat wajahmu yang terkejut dan kebingungan menatapku, menatap rambutku yang berantakan, menatap seragam sekolahku.

Aku sudah menunggukan saat ini sejak waktu yang begitu lama, sejak pertama kali mataku terperangkap kepada dirimu yang begitu serius membaca. Sebelum kemari aku sudah mandi tiga kali, sebelum kemari aku sudah meminta parfum teman sekolahku. Semoga aku terlihat lebih baik.

Aku menjulurkan tangan, ujung ibu jari dan jari telunjukku memegang cincin itu. Kamu mematung diam, tidak mengerti. “Ambillah,” bisikku nyaris tak kentara, “Ambillah dan simpan ini, kumohon.”

Kamu semakin diam, menatap cincin yang kupegang. Tapi akhirnya kamu mengambilnya juga. Sejenak kurasakan iri ketika tanganmu tak sengaja menyentuh tanganku. Tangan yang begitu lembut, dan halus. Lihatlah, tanganku ini yang kasar dan kapalan karena terlalu sering memegang sekop. Apakah pantas. Apakah pantas jika tangan ini kelak menggenggam tangan mungilmu, membawamu menuju mimpi-mimpi yang ingin kau gapai?

“Simpan..dan jaga baik-baik..” bisikkku lagi, lalu, tanpa bisa mencegahnya, kata itu akhirnya keluar juga, “Harganya lumayan mahal,”

Untuk pertama kalinya, kedua sudut bibirmu tertarik ke atas, sebuah senyum merekah dari bibir merah mudahmu. Untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman terindah setelah senyuman Mamakku.

Kamu lantas mengangguk, dan dengan suara seperti genta angin, mengucapkan terimakasih.

Lewat cincin ini, akan ada benang merah yang menyatukan kedua jiwa kita, tak terputus, jika kita tidak memutuskannya.

Aku telah berlari, aku telah berlari menuju sepedaku ketika itu. Mengayuhkannya kencang-kencang. Kedua tanganku menggenggam erat setang sepeda. Cincin di jariku berkilau tertempa sinar matahari. Aku sudah merasa seperti terbang.

Aku anak Bapakku, aku anak dari kuli bangunan. Mereka bilang aku gila. Marjinal bilang cintaku itu pembodohan. Tapi bagaimana aku bisa perduli, jika cincinku kamu terima? Aku anak bapakku yang masih bersekolah, dan aku mencintaimu.

Sayangnya, ketika sampai di rumah, aku membeku. Aku telah melupakan sesuatu yang penting.

Aku dan kamu tidak berkenalan. Aku tidak tahu namamu. Dan besok aku tak akan kembali ke halaman sebelah rumahmu lagi.

Kamu. Oh gadis yang kucintai. Gadis tanpa nama yang memiliki buku Les Misérables. Gadis bersuara merdu yang bernyanyi bersama gitarnya. Saat ini aku hanya bisa menyanyikan Nyanyian Rindu-nya Ebiet G Ade saat aku mendambakanmu. Tapi semoga kita ‘kan bertemu kembali. Suatu saat nanti, jika aku dapat berharap, kita akan membaca Les Misérables bersama. Kita akan saling menggenggam dalam ikatan cincin yang sama, terikat oleh benang merah diantara kita.

Oh Gadis yang tanpa nama. Suatu saat nanti kita pasti akan membaca Les Misérables bersama, mungkin dari tempat dimana buku itu ditulis, dengan kata-kata darimana bahasa itu berasal, di dalam sebuah istana yang kelak ku bangunkan untukmu.

Oh Gadis tanpa nama, kelak kita akan membaca Les Misérables bersama.

***

  • Share:

You Might Also Like

1 comments