source : deviantart |
***
Dari halaman sebelah rumah,
diantara kayu-kayu yang berserakan, di antara batako-batako yang tersusun rapi,
selalu aku perhatikan gerak-gerikmu.
Mungkin kamu tidak begitu
menyadarinya. Karena kamu selalu sibuk dengan dirimu sendiri. Kamu akan duduk
tenang di ayunan sepulangnya kamu dari sekolah, sambil membaca sebuah buku,
sama sekali tidak menoleh. Sama sekali tidak perduli dengan awan yang berarak
dilangit, tak perduli jika helai rambutmu jatuh menutup dahi. Baru akan berlari
masuk rumah ketika matahari tumbang di ufuk barat.
Dari bubungan atap aku menatapmu,
sambil memasang genteng-genteng. Yang mungkin juga tidak kamu sadari, karena
kamu sedang sibuk bercengkrama dengan anak-anak kecil yang selalu berdatangan
dari segala penjuru. Betapa inginnya aku seperti anak-anak itu, dapat berbicara
denganmu tanpa canggung, dapat menerima senyummu yang selalu ceria.
Ketika mengaduk semen, aku pun
tak henti melirikmu. Tapi kamu juga tidak merasakan lirikan itu. Kamu akan
bernyanyi bersama gitarmu, mengalahkan kicauan burung di pagi hari. Yang tanpa
kamu kira, menghibur kami sebuah di halaman sebelah rumah. Akupun selalu ikut
bernyanyi di pikiranku, bersamamu.
Aku akan selalu mengingat semua
tentangmu, semua yang telah kuketahui. Rambutmu yang segelap malam, yang
seringkali digelung kebelakang. Jari-jari lentikmu yang tak bosan membuka lembaran-lembaran
dari buku setebal batako-ku. Matamu yang selalu berbinar menatap
anak-anak tetangga. Dan bibirmu yang selalu mengeluarkan suara merdu. Tak akan
kulupakan, sekalipun aku lupa ingatan.
Memang, tidak ada dari diriku yang
bisa kubanggakan padamu. Karena bahkan
aku bukanlah seorang kuli bangunan. Aku hanyalah anak Bapakku. Aku hanya
seorang putra dari Bapaknya, yang membantu membangun sebuah rumah. Aku tidak
mengerti banyak mengenai seni membangun rumah, aku belum bisa membangunkan
sebuah bangunan yang indah untuk dirimu.
Aku bukanlah siapa-siapa.
Teman-teman bapakku bilang aku mulai gila, karena mengagumi anak sebelah rumah,
yang bahkan tak pernah menatapku. Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanyalah
aku, yang kadang-kadang mengenakan seragam sekolah, dan kadang-kadang
mengenakan kemeja merah kotak-kotak yang lusuh. Aku, yang selalu mengagumimu.
Cinta memang pembodohan, itulah
kata Marjinal, penyanyi gila favoritku. Sangat akurat dan terbukti ketika aku
menerima upahku. Kamu tahu, biasanya aku akan menyimpan uangku untuk kehidupan
masa depanku, untuk semua mimpi-mimpiku kelak. Tetapi kali ini, untuk pertama kalinya sepanjang aku
mendapat uang, aku pergi ke toko dan membeli barang yang tak pernah aku
tertarik sebelumnya.
Hari ini mungkin hari terakhirku
di halaman sebelah rumahmu. Di halaman rumah tetanggamu. Aku tak tahu apakah
ada kesempatan setelah ini. Aku tidak ingin melupakan semua kenanganku di
halaman ini bersamamu. Aku ingin menyimpannya, aku ingin memiliki sesuatu untuk
mengenangnya.
Sekali lagi, aku hanyalah aku,
yang saat ini jantungnya berdentam-dentum seperti ketika seseorang memukulkan
palu. Sekarang hanya ada kita berdua. Bapakku sudah pulang, pun dengan
teman-temannya. Kamu sedang membaca, untuk kesekian kalinya. Tak menyadari sama
sekali langkahku yang mendekat. Rambutmu yang kali ini kamu biarkan terurai
menutupi segala pandanganmu, kecuali kepada buku itu.
Berkover hitam, setebal batako. Les
Misérables,
judulnya. Apakah memang semenarik itu?
Untunglah tak lama kemudian kamu
merasakan kehadiranku. Aku masih mengingat wajahmu yang terkejut dan
kebingungan menatapku, menatap rambutku yang berantakan, menatap seragam
sekolahku.
Aku sudah menunggukan saat ini
sejak waktu yang begitu lama, sejak pertama kali mataku terperangkap kepada
dirimu yang begitu serius membaca. Sebelum kemari aku sudah mandi tiga kali,
sebelum kemari aku sudah meminta parfum teman sekolahku. Semoga aku terlihat
lebih baik.
Aku menjulurkan tangan, ujung ibu
jari dan jari telunjukku memegang cincin itu. Kamu mematung diam, tidak
mengerti. “Ambillah,” bisikku nyaris tak kentara, “Ambillah dan simpan ini,
kumohon.”
Kamu semakin diam, menatap cincin
yang kupegang. Tapi akhirnya kamu mengambilnya juga. Sejenak kurasakan iri
ketika tanganmu tak sengaja menyentuh tanganku. Tangan yang begitu lembut, dan
halus. Lihatlah, tanganku ini yang kasar dan kapalan karena terlalu sering
memegang sekop. Apakah
pantas. Apakah pantas jika tangan ini kelak menggenggam tangan mungilmu,
membawamu menuju mimpi-mimpi yang ingin kau gapai?
“Simpan..dan jaga baik-baik..”
bisikkku lagi, lalu, tanpa bisa mencegahnya, kata itu akhirnya keluar juga,
“Harganya lumayan mahal,”
Untuk pertama kalinya, kedua
sudut bibirmu tertarik ke atas, sebuah senyum merekah dari bibir merah mudahmu.
Untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman terindah setelah senyuman Mamakku.
Kamu lantas mengangguk, dan
dengan suara seperti genta angin, mengucapkan terimakasih.
Lewat cincin ini, akan ada benang
merah yang menyatukan kedua jiwa kita, tak terputus, jika kita tidak
memutuskannya.
Aku telah berlari, aku telah berlari
menuju sepedaku ketika itu. Mengayuhkannya kencang-kencang. Kedua tanganku
menggenggam erat setang sepeda. Cincin di jariku berkilau tertempa sinar
matahari. Aku sudah merasa seperti terbang.
Aku anak Bapakku, aku anak dari
kuli bangunan. Mereka bilang aku gila. Marjinal bilang cintaku itu pembodohan.
Tapi bagaimana aku bisa perduli, jika cincinku kamu terima? Aku anak bapakku
yang masih bersekolah, dan aku mencintaimu.
Sayangnya, ketika sampai di rumah,
aku membeku. Aku telah melupakan sesuatu yang penting.
Aku dan kamu tidak berkenalan.
Aku tidak tahu namamu. Dan besok aku tak akan kembali ke halaman sebelah
rumahmu lagi.
Kamu. Oh gadis yang kucintai.
Gadis tanpa nama yang memiliki buku Les Misérables. Gadis bersuara
merdu yang bernyanyi bersama gitarnya. Saat ini aku hanya bisa menyanyikan
Nyanyian Rindu-nya Ebiet G Ade saat aku mendambakanmu. Tapi semoga kita ‘kan bertemu
kembali. Suatu saat nanti, jika aku dapat berharap, kita akan membaca Les
Misérables
bersama. Kita akan saling menggenggam dalam ikatan cincin yang sama, terikat
oleh benang merah diantara kita.
Oh Gadis yang tanpa nama. Suatu
saat nanti kita pasti akan membaca Les Misérables bersama, mungkin
dari tempat dimana buku itu ditulis, dengan kata-kata darimana bahasa itu
berasal, di dalam sebuah istana yang kelak ku bangunkan untukmu.
Oh Gadis tanpa nama, kelak kita
akan membaca Les Misérables bersama.
***
1 comments
Nyentuh...
ReplyDelete