Novel Review : The Magician's Apprentice

By Sheren - Saturday, April 16, 2016


Judul : The Magician's Apprentice (Murid Sang Penyihir)
Penulis : Trudi Canavan
Tebal : 959 halaman
Penerbit : Mizan Fantasi

Novel ini mengkisahkan tentang seorang anak perempuan bernama Tessia yang selama ini membantu ayahnya sebagai seorang asisten penyembuh. Pilihan yang ditentang banyak orang, terutama oleh Ibunya sendiri. Di negeri mereka, tidak ada seorang wanita pun yang menjadi penyembuh, dan jika Tessia ngotot tetap ingin menjadi penyembuh, maka masa depan Tessia akan semakin sulit. Tidak mendapat suami, misalnya.

Kemudian, oleh sebuah 'kecelakaan tak terduga' yang terjadi di rumah Lord Dakon, pemilik ley (semacam desa) tempat Tessia tinggal, ketahuanlah bahwa Tessia adalah seorang penyihir alami. Berbeda dengan penyembuh, menjadi penyihir justru lebih menaikkan derajat dan memungkinkan Tessia bergaul dengan kalangan atas. Apalagi karena Tessia adalah penyihir alami.

Tessia, meskipun merasa berat harus meninggalkan ayahnya untuk belajar menjadi penyembuh, tetap teguh belajar sihir bersama Lord Dakon, satu-satunya penyihir di ley mereka. Selama pengajaran, keahlian Tessia berkembang pesat. Dia pun mencoba menggunakan sihir ke dalam pengobatan, yang selama ini tidak pernah dilakukan bahkan dianggap mustahil. Tessia juga 'berkenalan' dengan murid sihir Lord Dakon yang lain, yaitu Jayan.

Sayangnya, pelajaran Tessia bersama Lord Dakon tidak pernah selesai. Suatu hari, ketika Lord Dakon, Tessia, dan Jayan pergi ke kota dalam waktu beberapa hari, ley mereka yang terletak di perbatasan diserang secara brutal oleh negeri tetangga yang dulu pernah menjajah mereka.

Perang tidak lagi terelakkan. Tessia, yang masih dirundung duka akibat kedua orangtuanya meninggal, ikut bersama para penyihir lain untuk melawan kebrutalan para penyihir di negeri tetangga, yaitu Negeri Sachaka. Dalam segala kesulitan, karena penyihir Sachaka jelas-jelas lebih kuat dan lebih banyak, serta penyihir Sachaka memiliki budak sumber untuk diambil sihirnya, bisakah para penyihir Kyralia memenangkan perang?

***

Aku sudah lama selesai membaca novel ini, jadi sebenarnya aku sedikit lupa bagaimana alur cerita serta kritik dan pujian yang sebenarnya sudah aku siapkan. Maklum, kesibukan dan kecemasan mengambil alih perhatianku dari blog. Bahkan saat ini aku lagi ngantuk banget, maunya cepat-cepat tidur (sekarang masih 19.30 loh). Tapi karena sayang banget kalau enggak nge-review novel ini, jadi aku bakal mengorbankan keinginanku untuk tidur.

Oke. Sebelum ini, aku sudah pernah baca salah satu karya Trudi Canavan lainnya. Dan kedua buku ini memiliki ciri khas Canavan yang sama. Aku tidak bisa memutuskan apakah aku menyukai buku-bukunya atau tidak.

Aku membacanya. Tapi aku tidak menikmatinya. Kemudian aku mencari buku yang lain lagi. Membacanya. Lalu aku tidak menikmatinya juga.

To the point aja,  ide cerita yang diambil selalu menarik sebenarnya, meskipun kedua buku yang aku baca nyaris bertema sama. Bagaimana cara yang cocok menyebutnya? Dongeng? Well. Dia akan menceritakan kisah dari sebuah tanah asing yang tidak akan ada di muka bumi, dan isinya adalah orang-orang yang penuh keajaiban. Aku lumayan suka dengan idenya, menciptakan dunia sendiri.

Masalahnya adalah gaya berceritanya. Canavan tampaknya terbiasa menceritakan segala sesuatunya dengan mendetail, seksama, dan perlahan-lahan. Dia akan dengan penuh kasih menceritakan bagaimana cara mengamputasi jari seseorang. Seperti seorang guru yang dengan sabar mengajarkan membaca ke murid-muridnya. Tidak sedetik pun terburu-buru.

Dan aku bosan. Menurutku Canavan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak dimasukkan pun tidak ada yang protes. Rasanya benar-benar gemas saat membaca bagian dia mendetailkan gaya pakaian seseorang, inilah, itulah. Juga ada selipan-selipan kisah orang lain yang sebenarnya sama-sama ga guna.

Yang kedua, Canavan tampaknya senang sekali mencemari nama baik tokoh-tokoh protagonisnya. Dua buku yang saya baca. Dua-duanya memiliki ciri khas yang sama. Bayangin, seseorang yang awalnya selalu tenang, tegar, cerdas, bijaksana, penuh pesona, di akhir-akhir tiba-tiba saja berubah kayak banci, pengecut, sadis hanya gara-gara hal sepele--sedangkan orang lain disekitarnya tidak terkena dampak akan hal sepele tersebut. Dia mudah sekali mengubah kemudi pembaca untuk membenci tokoh-tokoh yang awalnya disukai. Saya tidak terlalu suka perubahan sikap. Itu kekanak-kanakan.

Kekecewaan saya yang lain, yang sebenarnya ga ada hubungan dengan gaya penulisan dll.dll, (dan bersifat lebih pribadi) adalah jalannya kisah cinta yang enggak sesuai dengan keinginan saya. Hohoho. Oke. Kalau kalian ingin spoiler, bacalah terus. Jadi ada sedikit bumbu cinta dalam cerita perang ini. Saya sebenarnya mengharapkan Tessia bersama Lord Dakon (O yeah gurunya sendiri). Kayaknya lebih cocok aja, toh saya pikir Lord Dakon masih cukup muda..... Tapi ternyata  Tessia lebih memilih...yang lebih muda.

Oh ya, kelebihan lainnya, ada ilustrasi yang bagus di dalam novelnya.

Okay, kesimpulannya, ide ceritanya sangat 'fantasi', pokoknya di luar dunia kita deh. Hal ini adalah hiburan yang cukup menarik untuk mengisi khayalan. Tapi di sisi lain, gaya berceritanya yang lambat dan mendetail kurang cocok sama selera saya. Lumayan bagus sih ya, kalau kalian mau baca. Enggak mau baca juga gapapa.  

  • Share:

You Might Also Like

1 comments