Cerita ini pernah dilombakan dalam Kegiatan PORSENI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura. Dan (alhamdulillah) mendapat juara. Selengkapnya lihat di sini. Daripada sayang di simpan di laptop, jadi saya share saja, siapa tahu bermanfaat/menghibur. Toh ini sudah lewat masa pengumuman.
Official Instagram : Porseni FEB UNTAN
Catatan Tambahan : Sebagian besar percakapannya di tulis dalam bahasa Melayu Pontianak.
****
Salah satu sisi Kapuas. Saya mampir pas kebetulan lagi 'bertugas' di sekitar sini. Tempat ini akhirnya jadi inspirasi untuk cerita di bawah. |
“WOI SINI KAU!”
Siang
itu seharusnya tenang. Matahari yang terik membuat orang-orang malas beranjak
dari rumah, memilih untuk beristirahat. Namun tiba-tiba kedamaian itu
dipecahkan oleh teriakan seorang wanita. Dia hanya memakai daster seadanya dan
sendal jepit. Rambutnya diikat sembarangan. Sambil berjalan menghentak-hentak
melewati jembatan kayu, dia menatap garang seorang anak lelaki, berteriak
memanggilnya.
Anak lelaki itu adalah aku.
“Kau ndak punye kerjaan lain
ke selain malu-malukan Mamak?” semburnya bahkan tanpa sempat aku membuka mulut,
terus berjalan ke arahku, membuat jembatan bergetar mengerikan, “Kau kire
dengan pakai seragam sekolah, kau bise bohongkan Mamak?”
“Bohong ape ye Mak?”
“Tadi guru kau ketemu Mamak,
katenye kau sudah empat hari berturut tadak sekolah. Merase hebat ke ape?
Merokok lagi kau di sini!” Mamak menatap sengit tanganku yang memegang sebatang
rokok, dan tanpa aba-aba lagi, langsung merebutnya, membuang semuanya ke sungai.
Sayang sekali, padahal aku
baru dua hisapan.
“Makin hari kau makin mirip
bapak kau. Pemalas, ndak punye masa depan. Uang sekolah kau tuh mahal! Mamak
kerje untuk biaya hidup kau, brengsek! Untuk sekolah kau! Makan kau! Gini care
kau balasnye? Bolos sekolah?! Merokok?”
Mamak melotot hingga kedua
alisnya menyatu. Meski begitu, ia tetap tampak cantik. Kecantikan itulah yang
menjadi modalnya untuk bekerja sekarang.
“Mamak ndak perlu sok peduli
same aku. Mamak menyekolahkan aku cume untuk jage gengsi, kan?” desisku.
PLAK! Tamparan itu
melayang. Namun itu tidak mengurangi sedikit pun rasa penyesalanku berkata
begitu. Aku sudah terlalu sering menerima rasa sakit fisik. Tamparan sudah
menjadi makanan sehari-hariku.
“Kau itu masih bocah, jangan
sembarangan menuduh orangtua macam-macam! Masih syukur tadak Mamak letakkan kau
di Panti,” cecarnya penuh amarah, lantas berbalik, hendak melangkah pergi.
Namun sebelum itu ia sempat menoleh sejenak, tatapannya semakin garang, “Mamak
mau besok kau sekolah! Ndak ade yang namenye bolos lagi.”
Lalu dia melanjutkan
langkahnya.
Aku? Aku kembali duduk di
ujung jembatan, mengeluarkan sebatang rokok yang kusembunyikan di saku celana,
menyulutnya dengan korek api.
Sebelumnya hingga setahun
terakhir, aku tidak pernah merokok—bahkan cenderung membencinya. Aku mulai
merokok ketika mencoba menghibur diri dari keputusasaanku sendiri.
Keputusasaan seorang anak yang
menjadi korban kehancuran rumah tangga.
Apa kata tetangga-tetangga
waktu itu? Broken home. Begitulah
istilahnya. Sudah tidak terhitung aku mendengar gosip, bisikan menjalar dari
mereka. Yudha si anak broken home. Yudha
si anak pelacur. Yudha si anak pembangkang.
Hidupku berantakan karena
kesalahan orangtuaku.
Aku menghisap rokokku
dalam-dalam, menatap kejauhan, seberang sungai. Kota tepi sungai ini bobrok
sekali. Bangunan-bangunan tidak diatur dengan rapi. Sampah berserakan. Jalanan
hancur tidak diaspal. Bahkan lihatlah, di tempat kami saja masih menggunakan
jembatan kayu yang rapuh. Aku tidak tahu sudah berapa lama jembatan ini ada.
Semakin hari situasinya semakin memprihatinkan, bisa roboh kapan saja.
Penduduk di sini hanya
mengharapkan kemurahan hati Tuhan untuk keselamatan mereka. Tidak ada satupun
usaha untuk memperbaiki sesentipun jembatan ini. Bahkan pemerintah seakan lupa
bahwa kampung kecil ini masih menjadi dari bagian negara mereka.
Terlupakan. Sama seperti
diriku yang dilupakan oleh Bapakku begitu saja. Pergi meninggalkan aku dan
mamak.
Aku menghela nafas berat.
Dulu, dulu sekali ketika aku masih kecil, ketika aku masih menganggap bapak
adalah sesosok pahlawan, aku pernah menunjukkan berlembar-lembar hasil
gambaranku kepadanya. Gambar tentang masa depan kota ini. Tentang keluarga
kami.
“Aku akan membangun kampung ini, Pak.” Begitulah ucapku dulu, penuh semangat. Semua gambar
itu kukerjakan berbulan-bulan, diwarnai dengan krayon milikku. Aku tidak tahu
apakah bapak perduli atau tidak. Dia melihat gambarku sekilas lalu mengangguk,
kembali menikmati tontonan televisi. Namun aku tidak putus asa waktu itu, tetap
bersemangat dengan mimpi-mimpi baru.
Sayangnya kertas-kertas yang
menggambarkan mimpiku itu, telah berakhir dalam lalapan api, pada hari yang
sama ketika bapak dan mamak memutuskan berpisah. Terlalu miskin, kata bapak.
Aku baru sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan rumah tangga.
Bahkan cinta mereka kepadaku
pun tidak cukup untuk membuat mereka bertahan. Mereka butuh uang untuk membeli
hubungan rumah tangga itu. Ironis sekali.
Sejak hari itu aku kehilangan
segalanya. Aku kehilangan bapak yang pergi mencari kebahagiaannya
sendiri—padahal selama ini dia tidak pernah bekerja keras, selalu mamak yang
bekerja serabutan. Aku kehilangan mamak, karena sejak itu mamak berubah. Tidak
ada lagi mamak yang sabar dan penuh kasih sayang seperti dulu. Kerjaannya hanya
memakiku, menyamakanku dengan bapak. Dan dia berusaha mendapat uang secepat dan
sebanyak mungkin—yang menyebabkannya terjebak dalam pekerjaannya sekarang. Aku
kehilangan teman-temanku, yang berpikir bahwa anak broken home berasal dari kasta terendah. Dan bahkan, aku kehilangan
mimpiku.
Mimpiku adalah membangun
kampung ini. Membuatnya lebih layak untuk ditinggali. Karena dulu, ketika
keluargaku masih lengkap, aku yakin bahwa kampung ini adalah rumahku, tempatku
akan kembali sejauh apapun kelak aku pergi. Bagiku, rumah adalah tempat
orang-orang yang kusayangi berkumpul.
Tapi sekarang tidak ada lagi
definisi rumah itu. Bapak pergi meninggalkan luka. Mamak juga tidak kukenal
lagi. Apalagi teman-temanku. Tidak ada lagi yang kusayangi. Kampung ini tidak
lagi seperti rumah.
Bahkan aku ingin pergi di
sini, sejauh mungkin. Dan tidak kembali.
***
Pagi itu, demi melihat mamak
yang sejak pagi buta sudah mengawasiku dengan tatapan penuh ancaman, aku
akhirnya mengenakan seragam putih abu-abuku dan benar-benar pergi ke sekolah.
Baru satu langkah aku melewati
pintu kelas, sebuah kalimat tidak menyenangkan terlontar dari mulut teman,
kalau memang masih bisa disebut teman.
“Loh, anak itu datang lagi?
Padahal aku udah senang die ndak sekolah. Takutnye ketularan jadi berandal,”
ujarnya, disambut tawa oleh yang lain.
Sebenarnya siapa yang berandalan?
Aku menuju bangkuku tanpa
sekalipun menoleh ke mereka.
“Oi, ade ape kau tibe-tibe
sekolah? Mamak kau udah ade duit lagi ke untuk nyogok kau sekolah?”
Aku menoleh, menatap anak
lelaki itu benci, tetapi dia pura-pura tidak menyadarinya.
“Berarti Mamak kau udah dapat pelanggan lah
ye? Iye kan, anak pelacur? Atau
sekarang kau ngikutin jejak Mamak kau? Dapat upah berape kau?”
Sudah cukup.
Aku menerjang meja di depanku.
Lalu dengan gerakan secepat kilat, mengambil bangku yang tadi kududuki dan
melemparnya ke arah anak lelaki yang dari tadi menghinaku. Menghina ibuku.
Selama beberapa detik, seluruh
kelas langsung dicekam oleh keheningan menegangkan. Semua tawa lenyap tak
bersisa.
Sayangnya, anak itu dengan
cepat menghindar sehingga bangku tersebut luput mengenainya.
“SINTING YA?! AKU BISE MATI,
TAHU?!” jeritnya, nafasnya memburu.
Aku tidak berniat untuk
meladeni pertanyaannya, sehingga tanpa menunggu lagi, aku langsung
menyerangnya, kali ini dengan kedua tanganku sendiri.
Perkelahian tak terelakkan lagi.
Aku tidak perduli, aku akan mengajarkan anak ini tentang sakit yang selalu
kurasakan selama beberapa tahun belakangan. Dia harus memahaminya.
“HEI, APA YANG KALIAN LAKUKAN?
STOP!”
Itu suara wali kelas kami.
Ternyata ada murid yang mengadu.
Wali kelas kami langsung
mendekat. Aku yang sedang buta oleh amarahku tidak menyadarinya. Ketika aku
kembali ingin melayangkan tinjuku, pria itu justru menyeruak di antara kami.
Aku terkejut, tapi terlambat menahan lenganku. Wali kelas kami telak terkena
hantamanku.
Sial, masalah ini
menjadi lebih serius.
Aku terdiam sejenak. Keadaan
jadi kacau balau. Murid-murid mengerubungi kami, terutama guru kami yang
hidungnya berdarah.
Aku harus mengambil keputusan
cepat.
Maka, sebelum semua
menyadarinya, aku langsung berbalik dan mengambil tasku, kemudian melarikan
diri.
Aku tidak hanya kabur dari
sekolah, namun juga dari rumah. Berhari-hari aku hanya terus berjalan dan
mencari tempat berteduh. Jika lapar, aku mencoba peruntungan dengan ke rumah
makan sederhana dan mengharap belas kasian pemiliknya.
Perjalanan tanpa arah itu
membawaku ke sisi gelap lain dari kehidupan ini. Aku terjebak dalam sebuah
bandar judi. Mereka membujukku untuk bergabung, menawarkan pinjaman menggiurkan
yang bisa kuganti setelah aku menang.
Awalnya aku memang menang
banyak. Namun sejak awal, ini adalah permainan bandar judi itu, bukan
permainanku. Aku lengah, tidak menyadari bahwa di ronde-ronde selanjutnya
mereka mulai melakukan kecurangan. Akhirnya aku kalah telak dan terikat utang
yang besar dengan mereka.
Mereka sengaja menjebakku.
Pinjaman itu terlalu besar
untuk bisa kubayar dengan cepat, dan aku berada dalam ancaman. Akhirnya hari
itu aku memutuskan nekad melakukan sesuatu. Sesuatu yang bayarannya mahal
sekali—lebih dari sekedar uang.
Hingga akhirnya aku harus
meninggalkan Mamak.
***
“Selamat pagi semuanya! Wah,
meskipun masih pagi, saya sama sekali tidak melihat wajah kantuk di sini.
Karena tentu saja—semua yang di sini pasti semangat dan tidak sabaran untuk
melihat seseorang yang sudah kita tunggu sejak tadi,” seorang wanita dengan
mengenakan pakaian formal, menyapa di atas panggung.
Wajah-wajah yang berada dalam
ruangan seminar itu memang terlihat antusias, bahkan tidak sabaran mendengar
kalimat basa-basi dari moderator.
“Siapa sih yang tidak mengenalnya?
Namanya umum disebut di kalangan arsitek di Nusantara, bahkan juga di
lingkungan Pemerintah! Bagaimana tidak, dia banyak sekali berkontribusi dalam
perancangan pembangunan negeri, menjadi inspirasi bagi setiap arsitek muda
untuk mengikuti jejaknya—padahal dia sendiri masih muda. Dia bahkan mendirikan
Yayasan untuk membantu menyalurkan dana bagi pembangunan daerah-daerah yang
terbelakang. Proyek pertamanya adalah membangun kampungnya yang berada di
tepian sungai, yang sekarang sudah benar-benar berubah menjadi daerah wisata. Namun
sekarang tentu saja proyeknya sudah jauh lebih besar. Baiklah, tanpa mengulur
waktu lagi, berikan sambutan yang paling meriah untuk arsitek muda kita, Yudha
Alamsyah!”
Tepuk tangan menggema hingga
ke sudut ruangan. Dan seorang pria dengan berpakaian kemeja biru serta celana
kain berjalan memasuki panggung dengan langkah panjang, tersenyum lebar.
Pria itu adalah aku.
Dulu aku berdiri di atas
jembatan karena dipanggil Mamak, namun sekarang aku berdiri di atas panggung
karena moderator yang memanggilku. Tidak hanya itu, semua peserta—mahasiswa
dari berbagai Universitas maupun mereka yang sedang meniti karir menjadi
arsitek, sedang menungguku.
Sebuah mimpi yang sudah
kulukis sejak kecil akhirnya tercapai. Aku berhasil menyandang gelar di
belakang namaku, dan bahkan lebih dari itu, aku berhasil membangun kampungku,
membangun bangsa ini.
Aku bisa berdiri di panggung
ini bukannya semulus aspal di jalan raya. Butuh waktu dan pemahaman yang lama
dan luas bagiku agar bisa meraih semuanya. Butuh pengalaman yang menyakitkan
dan penuh derai air mata bagiku untuk bisa melalui semuanya.
Hari itu, belasan tahun lalu,
aku memutuskan untuk ke rumah. Tapi bukannya untuk kembali, tidak, aku justru
ke rumah untuk mengambil uang Mamak. Aku ingat persis, Mamak selalu menyimpan
uangnya di bawah tumpukan pakaian. Dengan sengaja aku pergi malam-malam, membuat
perhitungan bahwa Mamak sedang bekerja
dan tidak ada di rumah.
Namun ternyata aku salah.
Mamak hari itu di rumah. Bahkan sejak kepergianku itu, Mamak selalu di rumah.
Setelah aku kabur dari sekolah, kepala sekolah memanggil Mamak dan membeberkan
semua yang terjadi. Tentu saja Mamak marah bukan main. Beliau menunggu di
rumah, bersiap mengomeliku. Tetapi sayangnya aku tidak pernah pulang. Kemarahan
Mamak lambat laun berubah jadi kekhawatiran seorang Ibu. Dan beliau memutuskan
tidak lagi pergi bekerja, melainkan menungguku di rumah.
Menungguku untuk pulang.
Namun lagi-lagi aku
mengecewakan Mamak, karena aku pulang bukan untuk menemuinya—melainkan menemui
uangnya. Kami bertengkar hebat malam itu. Mamak memaksaku tetap tinggal,
sesuatu yang tidak ingin aku lakukan.
Pertengkaran kami benar-benar
menggetarkan rumah. Aku terbawa emosi dan mulai melempar barang ke sana ke
mari, kelakukan yang membawa petaka.
Bukankah dulu sudah kubilang?
Bangunan di kampung kami ini sudah rapuh, tinggal menunggu waktu hingga
akhirnya ambruk. Dan itulah yang terjadi pada malam pertengkaran aku dan Mamak.
Rumah kami tidak mampu menahan goncangan yang terlalu sering terjadi. Salah
satu tiang penyangga yang menahan rumah ini berderak patah. Merobohkan sebagian
bangunannya.
Malam itu mengerikan sekali.
Kami yang sedang ribut tidak menyadari bahaya yang mengincar kami. Mamaklah
yang pertama melihat dinding di belakangku semakin lama semakin miring ke arah
sungai. Beliau berteriak dan berlari ke arahku—berusaha menyelamatku dari
langit-langit rumah yang mulai roboh.
Aku selamat, tetapi aku harus
melihat Mamak tertimpa reruntuhan.
Tetangga yang mendengar
suara-suara segera keluar dari rumah dan menolong kami—meskipun agak sulit
karena jembatan menuju rumahku pun ikut terkena imbas dari robohnya bangunan.
Aku tidak terlalu ingat setelahnya.
Seperti yang sudah kukatakan,
tindakan nekadku itu mahal sekali harganya. Mamak memang selamat, tetapi beliau
tidak bisa berjalan lagi untuk selamanya. Kaki Mamak tertimpa reruntuhan berat
dan kehilangan fungsinya untuk berjalan.
Mamak baru terbangun di
ranjang rumah sakit besok paginya.
“Mamak minta maaf,” justru
kalimat itulah yang keluar dari bibirnya ketika melihat wajahku. Beliau sama
sekali tidak memerdulikan kondisinya.
“Maaf karena Mamak harus
melakukan pekerjaan kotor itu dan membuat kau malu di sekolah. Maaf karena
Mamak selama ini sangat keras same kau.
Mamak cuma takut, sungguh, Mamak cuma takut kau akan berakhir kayak Mamak dan
Bapak,” dia berhenti sejenak, tangannya terangkat untuk mengelus pipiku,
sebulir air matanya jatuh berdenting.
“Maaf Mamak sudah menyakiti
kau. Maaf karena kami ndak bisa menjadi orangtua yang baik. Kau tahu? Mamak
sayang sekali same kau, maaf karena selama ini mamak menyampaikannya dengan cara
yang salah. Tapi Mamak mohon, Yudha, jangan biarkan Mamak menjadi penghalang
untuk mimpi kau. Bukankah waktu kecil dulu kau bercita-cita ingin menjadi orang
hebat yang bisa membangun kampung kita? Bukankah kau dulu ingin membangunkan
rumah untuk keluarga kita?”
Mataku membulat menatap Mamak.
Mamak masih ingat mimpi kecilku?
“Maka jangan biarkan mimpi itu
hanya ada dalam kepalamu. Kejarlah, buat semua itu jadi kenyataan. Buatkan
rumah untuk keluarga kita, Nak. Kau jangan putus sekolah, jangan terjebak dalam
dunia yang salah seperti yang Mamak perbuat. Mamak bersyukur sekali memiliki
kau. Kau itu harapan Mamak, harapan untuk kampung kita.”
Pagi itu, aku tahu bahwa Mamak
masih menyayangiku. Dan aku juga sadar, bahwa aku masih memiliki kesempatan
untuk mengejar mimpiku.
Rumah kami segera dibangun
ulang—meskipun seadanya—oleh pemerintah setempat, serta dibantu warga. Aku
kembali bersekolah. Sejak insiden itu, teman-temanku tidak lagi banyak yang
menghinaku. Dan wali kelas yang pernah kulukai itu syukurnya sama sekali tidak
menaruh dendam, beliau justru banyak membantuku belajar untuk persiapan ujian.
Aku serius menuruti kata-kata
Mamak, sehingga aku belajar bersungguh-sungguh untuk persiapan masuk
Universitas. Tidak hanya itu, aku juga mencari beasiswa sehingga aku tidak
perlu merepotkan Mamak untuk biaya kuliahku, karena Mamak tidak lagi melakukan
pekerjaan kotor itu—syukurlah.
Aku pernah bilang bahwa aku
harus meninggalkan Mamak. Dan itu benar kulakukan. Tetapi bukan dalam arti
buruk. Aku terpaksa meninggalkan Mamak karena aku diterima di Universitas di
luar pulau. Awalnya aku memutuskan menolak Universitas tersebut, namun Mamak
memaksaku untuk tetap pergi—meyakinkanku bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Karena itulah aku pergi, dengan tekad bahwa kepergianku tidak akan sia-sia. Aku
akan kembali untuk membangun kampung ini, seperti mimpiku, seperti keinginan
Mamak.
Hari-hari berlalu cepat selama
aku berkuliah. Dunia luar menakjubkan sekali. Aku melewati berbagai pengalaman
yang bernilai harganya. Tahun demi tahun melesat dengan cepat. Aku berhasil
meraih gelar sarjanaku dengan status cum
laude. Kemudian sambil bekerja, aku melanjutkan lagi pendidikan kuliahku.
Dan akhirnya, aku kembali untuk benar-benar membangun kampungku.
Aku tidak berhenti sampai
kampungku saja, melainkan berkelana ke berbagai penjuru Indonesia untuk ikut
melakukan pembangunan di negeriku. Aku juga melakukan berbagai penelitian dan
pengembangan dalam bidangku, yang hasilnya aku manfaatkan, lagi-lagi, untuk
negeri ini. Pemikiran-pemikiran futuristikku membuatku langsung dikenal secara
luas. Segera saja aku tidak hanya bertugas di lapangan, namun juga dipanggil ke
berbagai seminar, talkshow, maupun konvensi, untuk berbagi ide dan pemikiran
kepada generasi penerus kami, memuaskan dahaga mereka akan ilmu pengetahuan,
memotivasi mereka.
Tentu saja aku harus
melakukannya, karena ini bukan hanya masalah keuntungan pibadiku, melainkan
juga untuk masa depan negeri kami. Kami semua memiliki tanggung jawab untuk
membuat negeri kami lebih maju dan tidak kalah oleh negara lain.
Namun aku selalu kembali ke
kampungku setelah melaksanakan semua kewajibanku. Aku selalu pulang, terutama
untuk menemui Mamak. Sekarang setelah semua yang terjadi, aku kembali merasa
bahwa kampung tempatku lahir dan tumbuh memang benar rumahku. Tempat
orang-orang yang kusayangi berada, tempat yang menumbuhkan mimpi-mimpiku.
Tepuk tangan masih mengiriku
hingga aku sampai di podium. Layar LCD
di depan ruangan menampilkan gambar hasil proyek terbaruku. Sesampai di podium,
aku kembali tersenyum menyapa, menatap wajah-wajah muda yang penuh antusias.
Hari ini, aku akan kembali
menyampaikan cara untuk membangun
negeri ini. Hari ini, aku kembali berdiri di panggung, menjadi salah satu
harapan besar bangsa, generasi gemilang di masa ini. Hari ini, aku berhasil
mencapai mimpiku.
Dan semua itu kulakukan untuk
Mamak.
1 comments
Ihhh keren shereeenn pantas lah menang huhuhu. Good job👏👏👏👏
ReplyDelete