Sepotong Kisah

By Sheren - Saturday, August 18, 2018


Cerita ini sebenarnya sudah lama sekali. Kuketik 4 tahun lalu, tepatnya pertengahan 2014. Ya, saat aku masih akhir kelas 3 SMP atau mungkin saat liburan kelulusan SMP. 

Sama seperti orangnya, isi cerita ini aneh. Bahkan aku terbahak saat membaca warning di halaman pertama, 




Biar kutulis keterangannya di bawah :

Ini adalah cerita paling aneh, tidak jelas dan membosankan. Mungkin banyak yang tidak akan mengerti dan merasa jengkel dengan ceritanya. Karena cerita ini sejatinya hanya kosong dan tidak berisi apa apa dan membosankan dan tak akan ada yang mengerti. Cerita ini adalah cerita yang telah tersimpan amat lama di hati saya dan saya hanya ingin mengeluarkannya, walaupun menuliskannya sangat sulit, hingga cerita ini menjadi seperti ini, datar dan tidak ada perasaan yang tersampai untuk orang yang membacanya. Jadi untuk menghindari kekecewaan dan sejenisnya, sebaiknya jangan dibaca.


Ngakak ya :v

Bertahun-tahun, aku sempat lupa sama cerita ini. Tapi tadi pagi tiba-tiba saja teringat dan ingin membaca lagi cerita ini. Aku pun bergegas membuka laptop--sempat khawatir juga cerita gaje ini sudah di hapus. Ternyata belum. Jadi sekalian saja, di post di blog.

Ngomong-ngomong, judulnya bahkan jauh lebih panjang daripada yang di atas. 

Judul aslinya adalah : Sepotong Kisah Untuk yang Tak Pernah Tergapai, Atau Mungkin Seharusnya Tergapai?

Nah iya, dari judulnya udah berbelit-belit. WHAHAHAHAHA.

Selamat menjemput kebosanan :v


***



Diriku hanya bisa diam, tak bergerak, bahkan saat dia datang kepadaku sekalipun, aku tidak mengacuhkannya.

“Apa yang sebenarnya kau rasakan?” tanyanya, aku tak menjawab, tetap berbaring dan menatap langit-langit ruangan.

“Kenapa sepertinya, kau merasa begitu pahit?” tanyanya lagi.

Sunyi.

“Karena aku melihatnya..” entah mengapa akhirnya aku meluncurkan jawaban, dan karena sudah terlanjur, aku memutuskan melanjutkan. “Karena aku melihatnya.. karena dia menatapku, karena aku bisa mendengar suaranya, bisa merasakan keberadaannya, dia selalu di sisiku..

“Tapi..” kali ini aku menjulurkan tanganku ke atas, seakan-akan berusaha menyentuh sesuatu. “Aku, tak akan pernah bisa menggapainya..”

Dia hanya diam, jadi aku melanjutkan, “Rasanya seperti ada dinding keraguan di antara kami, keraguan, juga perasaan dan ingatan yang hilang,”

Aku bisa merasakan tatapan tajam dirinya. “Kau akan selalu...selalu bisa menggapainya, kau mungkin bisa menghancurkan dindingnya, atau memanjat dindingnya, meledakkannya? Kau pasti bisa mengulang semua kembali..”

“Semua yang terulang akan selalu berbeda, akan selalu berbeda, perasaannya akan tumbuh sebagai perasaan yang lain, dan itu bukanlah..keinginan batinku.”

“Tidak akan-“

“Tinggalkan aku sendiri” potongku.

“Tidak, kau harus mendengar-“

“Tinggalkan aku sendiri!”

“Kau harus-“

“Tinggalkan!” aku merenggut selimutku, menutup keseluruh tubuhku dan mulai menangis. Dia menyerah dan meninggalkan rumahku.

Semuanya benar, keluargaku benar, dia benar, warga kota ini benar, aku memang gila, aku memang sudah tidak waras, tidak normal.

***

“Halo..” bisikku, entah terdengar atau tidak di dalam balutan gerimis ini, tetapi ternyata dia juga menjawab, terdengar suara selembut beledunya di ujung telepon. Halo. Sungguh, itu membuat aku nyaris kehilangan keseimbangan, kakiku terasa ringan tak bertulang, saat itu juga aku sadar, betapa aku merindui suaranya segenap aku membutuhkannya.

Maaf, dengan siapa?” tanyanya lagi, saat aku tidak lagi berbicara.

“Berbicaralah, aku ingin mendengar..nya”

Diam, kemudian terdengar suara lagi. “Maksudmu?”

“Berbicara sajalah..”

Maaf, saya sedang sibuk-

“Jika kau pergi, maka kau akan kembali kan?” selaku akhirnya, mencoba membuka percakapan, aku tahu ini percakapan yang aneh.

Eh?” hanya itu yang terdengar.

“Pulanglah, jika... dirimu berkenan..” itu lebih seperti sebuah pertanyaan.

Tunggu duluini siapa?”

“Aku...yang mungkin tak pernah kau mengerti,”

Apakah ini kau? Apakah ini dirimu?” tanyanya tiba-tiba. Tanpa bisa kutahan, senyum mulai mengembang di wajahku. Aku memejamkan mata dan menengadah ke langit kelam, membiarkan gerimis menerpa wajahku. Aku tahu yang dimaksud dia adalah aku.

“Mungkin sebenarnya kau mengerti, selalu mengerti..” bisikku.

Ada apa?” dia terdengar serius, seperti dirinya yang biasa, selalu saja menuju yang paling inti. Tetapi di sisi lain suaranya selalu menenangkan dan menyenangkan, merengkuh aku ke dalam kehangatan.

“Ada perasaan aneh pada diriku hari ini..” jawabku, menikmati udara dingin di sekelilingku, juga menikmati suaranya, yang terdengar amat dekat.

Apakah kau merindukanku?”

Tebakannya selalu saja...benar.

“Aku mengakui, tetapi aku lebih membutuhkanmu daripada merindukanmu..”

Dia tidak membalas, jantungku entah mengapa semakin meronta. Ini pertama kalinya kami saling berbicara setelah sebulan yang panjang.

“Sekali lagi, pulanglah.. jika kau punya waktu, walaupun kepulanganmu adalah yang untuk terakhir kali”

Mengapa?” terdengar bisikan pelan, aku menghela nafas, tidak lagi mendongakkan kepalaku.

“Karena kau satu-satunya tali untuk aku berpegangan.. rasa takut menjadi kabut di sekelilingku, tidak ada tempat bagiku untuk menghirup udara, tidak ada tempat bagiku untuk menahan diriku agar tidak jatuh, tak ada yang mau merelakan.. bahkan hanya dalam waktu yang sesingkat cahaya datang.. Di sini aku sendiri dan.. hampa, disini aku merasa dingin, disini aku merasa gelap. Karena semuanya sudah pergi.. bahkan dirimu sendiri, atau mungkin diriku juga?”

Aku mulai bingung dengan perkataanku sendiri, disana dia lagi-lagi diam.

Ada kekasih lamamu, yang akan menjadi perisaimu, pelindungmu..” akhirnya dia membalas, melanjutkan kata-kata tidak jelasku.

“Sudah kubilang, dirinya dan diriku telah dibatasi oleh dinding perasaan perasaan.. sudah kubilang, semuanya sudah pergi.. dan tak ingin ada yang kembali, kepadaku.”

Hujan semakin deras, dan angin malam mulai terasa menusuk ke dalam tulangku, menembus kulitku.

“Tadi kau bilang kau sibuk bukan?” ujarku lagi mengubah topik, “Maaf mengganggumu, selamat malam-“

Apakah kau sedang di luar?” potongnya, sangat tepat waktu karena aku nyaris saja menutup telepon.

“Ya..”

Apakah hujan?”

Kenapa dia harus tercipta sebagai makhluk dengan tingkat pengamatan yang tinggi?

“Ya..”

Masuklah, nanti kau basah kuyup..

“Aku menikmatinya, rasanya sama dengan segala sesuatu yang mengekang diriku dalam kesendirian diriku..”

Dia diam amat lama, hingga kupikir dia sudah tertidur tanpa disadarinya, saat tiba-tiba saja suaranya muncul lagi kepermukaan, “Hatimu telah tersakiti, jadi jangan biarkan fisikmu tersakiti juga..” kali ini suaranya terdengar lirih dan sedih, aku tertegun.

Aku tutup telepon, masuk ke dalam rumah ya, hangatkan tubuh dan perasaanmu..

Tut..tut..tut..

Telepon benar-benar di tutup, dan aku hanya bisa menghela nafas, merasa semakin kosong.

Ini seharusnya menjadi percakapan singkat yang amat berarti.


***

Dia akhirnya benar-benar pulang, itu terjadi dua hari setelah aku meneleponnya, aku terbangun dari tidurku dan mendapati dia sedang menatapku. Tatapan dalam dan menenangkan, walaupun matanya segelap malam. Ingin sekali aku memeluknya saat itu juga, tetapi entah mengapa semua tubuhku terasa kaku, mulutku juga terasa kaku untuk mengucapkan sekedar selamat datang, seakan-akan ada seribu tali baja yang menahanku, jadi aku hanya beringsut untuk mandi.

Dan siklus itu terus terjadi beberapa hari setelahnya, seperti dulu saat dia di rumahku, aku hanya diam, hanya berbicara jika penting (dan itu artinya hanya satu percakapan dalam sehari), juga, tidak berani menatapnya, aku bersikap seperti semula, menjadi seseorang yang acuh tak acuh pada apapun.

Dia juga tidak banyak bicara, hanya sering sekali menatapku, sampai akhirnya seminggu setelah dia datang, dia pamit pulang.

“Terimakasih sudah datang..” ucapku pelan saat kami di depan pintuku. Dia tidak membalas, hanya menatap burung elang di kejauhan.

“Aku pergi..” tuturnya, yang biar bagaimanapun terdengar pedih, aku baru saja berpikir itu ucapan selamat tinggal saat dia melanjutkan. “Aku pergi dan dia menyerukan namaku.. Aku pergi dan dia mencariku, aku pergi dan dia menarikku..”

Badanku mulai tegang, seakan-akan aku mengerti apa yang akan dia katakan selanjutnya. “Maka aku kembali ke dalam dirinya. Tetapi saat aku kembali, dia menjauh, saat aku kembali, dia membisu, saat aku kembali, dia seakan tak dapat melihatku.. saat aku kembali, dia menganggapku sebagai angin..”

Kali ini aku sepenuh tak bergerak, bahkan aku tak sadar aku tak bernafas. Dia tetap menatap kejauhan.

“Jika aku pergi, maka hujan akan turun dan menjadi banjir besar, tetapi jika aku kembali, maka segalanya akan menjadi sekering tandus, lantas, dimanakah seharusnya aku berada? Selama ini aku juga tak akan pernah bisa menggapai.. apa yang seharusnya bisa kugapai,” dan dengan kalimat terakhirnya itu, tanpa menatapku, dia pergi meninggalkanku. Meninggalkanku bersama semua perasaan pahit yang membanjirinya. Meninggalkanku..sendirian.

Angin kencang berhembus menerpa wajahku dan hujan mulai turun, semakin deras di tiap detiknya, aku merasakan perasaan dingin di seluruh tubuhku, juga perasaan kebas, perkataannya barusan terngiang-ngiang dalam pendengaranku, membuat segalanya terasa mati. Dan aku hanya bisa diam selama beberapa waktu yang lama.

Aku telah kembali melakukan kesalahan, dan aku tidak ingin terjadi. Aku tidak ingin lagi diriku kehilangan apa yang seharusnya menjadi milikku.

Dengan satu sentakan, aku tersadar dan berlari menerobos hujan, berlari melewati tanah yang licak, tidak perduli saat aku terjatuh dan kakiku berdarah, tidak berusaha mengambil sandalku yang terlepas dan terbenam ke dalam lumpur, aku terus berlari mengejarnya, kali ini aku tidak boleh terlambat, tidak boleh.

Itu dia, pikirku, sedang berjalan menuju pelabuhan, aku berlari semakin kencang, saat jarak kami tinggal satu meter lebih, dia menyadari ada yang mengikutinya dan menoleh kebelakang, membuat aku berhenti mendadak dan terjatuh lagi, dengan bergegas aku berdiri, menatapnya ragu.

Dia berbalik dan menatapku balik, dengan tatapan sedatar dinding.

“Aku menyadari..” gumamnya pelan, tetapi cukup terdengar jelas pada diriku, “Kau memang gila. Selalu berubah-rubah setiap waktu, mengikuti keegoisan yang terus tumbuh,”

Aku hanya diam, meremas-remas ujung pakaian kotorku, merasa amat gugup.

“Kita berdua mungkin memang harus saling pergi menjauh, aku agaknya menyesal bertemu denganmu...” kali ini ucapannya terdengar tajam, aku sangat terkejut dengan ucapannya hingga mundur kebelakang, air mataku mengalir, menyebut namanya.

“Selamat tinggal..” dan lantas dia berbalik, mulai melangkah lagi.

Tetapi aku tidak rela, tidak akan rela. Dengan sekali gerakan aku berlari menyusulnya dan memeluknya dari belakang, tak akan kubiarkan dia pergi.

BUKK!!

Ternyata aku terlalu keras menabraknya, jalan yang licin dan becek membuat kami berdua jatuh, dia mengaduh kesakitan, tetapi aku tidak melepas dekapanku.

Tangisanku semakin kencang, dia mencoba berbalik dan membuat kami berdua duduk, entah bagaimana aku tetap berhasil mempertahankan pelukanku, bedanya, kali ini aku juga berada dalam dekapan ringannya.

“Jangan pernah pergi..,” isakku, mempererat pelukanku, “Jangan pergi setelah kau memberi cahaya kepadaku, aku tidak ingin mengalami kurungan yang dingin, yang kelam, dan menyesakkan. Aku tidak ingin kau hilang dan aku menjadi lebih gila daripada yang mereka katakan, daripada yang bisa kutanggung, kumohon... jangan pernah tinggalkan aku” tubuhku bergetar menahan tangis yang tak berhenti, dan beberapa saat kemudian aku merasakan pelukannya semakin kuat sehingga aku menengadah, menatap matanya yang berkaca-kaca.

Apakah dia juga menangis?

***


Okeeeee. Bagaimana? Seaneh apa ceritanya? Bahkan sepotong nama pun tidak ada di sana. Hahaha.

Awal cerita ini sebenarnya tentang seseorang gadis yang jadi depresi karena ditinggal kekasihnya pergi. Bukan depresi ala-ala yang menggemaskan itu ya. Tapi benar-benar depresi hingga ke titik yang mengkhawatirkan. Akhirnya, dia tinggal di rumah yang tenang di kota seberang dan menjalani terapi kejiwaan bersama dokter dan perawat.
Singkat cerita, setelah beberapa waktu, tiba-tiba kekasih lamanya yang pergi itu, muncul di tempat dia menjalani terapi. Hal itu membuatnya jadi tenggelam dalam kebingungan. Emang semau hati gue sih buat cerita wkwk. 

Jadi cowok yang pulang pergi di rumah si cewek itu adalah si dokter. Dokter jiwa.

Nah, saya memang enggak menuliskan tentang keseluruhan kisah si cewek. Hanya bagian di mana dia berkonflik dengan diri sendiri. Dia pernah mencintai kekasih lamanya. Apakah sekarang masih? Ataukah itu hanya ilusi? Karena rasanya berbeda. Dan tanpa disadarinya, dia jatuh cinta dengan dokternya sendiri. Si dokter juga, jatuh cinta dengan gadis itu.

Kebingungan melahirkan sifat-sifat baru. Sinis, acuh tak acuh. Mereka...sibuk dalam kesalahan mereka sendiri. Sama-sama butuh, tapi gengsi. Sama-sama merindui, tapi sama-sama tersakiti.

Ya, banyak sekali perasaan yang kutuang dalam cerita ini dulu. Rindu, pengharapan, kebingungan, kemarahan, keinginan untuk peduli, masih banyak lagi. Tentang pergi, tentang pulang. Tentang arti sebuah rumah yang sebenarnya, tempat kita untuk kembali.

Ngomong-ngomong, latar tempat cerita ini saya ambil dari game Harvest Moon Friends Of Mineral Town. Ya, sebagian besar dari kalian pasti tahu game legendaris tersebut. Jadi bisa dibayangkan bagaimana rumahnya, halaman kebun, serta jalan menuju pelabuhan/pantainya. Saya dulu suka sekali bermain game itu sampai-sampai tidak bisa memikirkan tempat lain sebagai latar.

Dan juga, cerita ini terinspirasi dari cerita di blog Annesya (salah satu blogger favoritku).

Inti ceritanya sama : Jangan jatuh cinta dengan orang gila. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments