Tentang Critical Eleven

By Sheren - Saturday, June 15, 2019

Saya jarang tertarik dengan novel berbau romance. Novel romance walaupun dikemas dalam berbagai alur berbeda, intinya tetap saja sama : hati, perasaan. Jatuh cinta, terluka. Blablabla. Beberapa novel bertema romance yang saya baca biasanya memiliki hal-hal tertentu yang bisa membuat saya tertarik, seperti buku Pride and Prejudice milik Jane Austen--yang juga mengisahkan gaya hidup di Inggris abad ke-19. Atau buku Wuthering Heights karya Emily Bronte, sebuah cerita klasik yang menurut saya merupakan 'buku gila' yang isinya tentang orang-orang gila yang berperan dalam sebuah drama panjang keluarga yang ga kalah gilanya. Atau buku romance-nya Tere Liye, yang saya baca karena saya suka terlanjur suka sama karya beliau. 

Zaman sekolah dulu (waduh udah tua ya), sebenarnya saya agak muak sama hal-hal berbau romance....kecuali Twilight Saga hahahah. Saya dulu males jatuh cinta, males pacaran, jadi saya juga ikutan males mengetahui hal-hal berbau kisah percintaan yang membuat banyak orang berbunga-bunga. Kadang-kadang saja, kalo lagi kesepian nan butuh kasih sayang, saya singgah ke Wattpad buat nyari pacar idaman di cerita yang berserak di sana. Kalian yang suka baca wattpad pasti taulah ya bagaimana luarbiasanya cowok-cowok ala Wattpad itu. Hahah. Biasanya karakter cowok di wattpad bakal dibuat seperti Gary Sue. Gatau Gary Sue itu apa? Jadi Gary Sue itu istilah untuk karakter yang luarbiasa sempurna tanpa cela. Bayangin aja pria yang (ini selera Gary Sue gue ya) tinggi, putih, luarbiasa tampan kayak Edward, suara barithone(?), cool, kaya raya, pintar, badan tegap, pekerjaan bagus, penyayang anak-anak dan hewan, pacarable. Rasanya enggak mungkin ada di dunia nyata kan? Nah itulah dia Gary Sue. Sebenarnya Gary Sue ini semacam suatu kegagalan penulis dalam menciptakan karakter. Penciptaan karakter yang baik itu seharusnya yang memiliki keseimbangan antara kelebihan dan kekurangannya. 

Ah, kenapa jadi ngawur sana-sini yang bicaranya. Saya tadi sebenarnya mau bilang kalau saya barusan saja selesai baca Critical Eleven. Iya, novel lama yang sempat nge-booom itu. Novel yang diangkat jadi film itu.

https://www.amazon.fr/Critical-Eleven-Ika-Natassa/dp/6020318923


Kenapa saya baru baca sekarang? Jawabannya ada di kalimat pertama postingan ini. Saya jarang tertarik dengan novel berbau romance. Tapi saya juga tipe-tipe ngaret sih kalo menyukai sesuatu. Saya baru suka Harry Potter saja kurang lebih dua tahun setelah film terakhirnya rilis. Iya lama banget kan? Itupun ga sengaja sukanya--iseng baca. 

Critical Eleven kasusnya juga mirip. Saya iseng baca. Kebetulan saya gabut banget setelah makan banyak santan di rumah kala lebaran ini. Sambil guling-guling di kasur, saya baca itu novel. 

Ternyata oh ternyata! Luarbiasa keren!

Saya bukan kritikus novel, jadi saya akan me-review ala orang awam aja ya. 

(agak spoiler mungkin)

Critical Eleven kisahnya berpusat pada dua cucu Adam dan Hawa. Iya, sepasang kekasih, sepasang suami istri yang sedang dalam ambang...kekacauan. Sebenarnya tahun-tahun pertama kehidupan mereka amat bahagia. Si perempuan, Anya, adalah seorang consultant management yang mencintai Bandara. Dia cerdas, cantik, menawan, dan memiliki empati tinggi dengan orang sekitarnya. Kemudian si pria, Ale, adalah 'tukang minyak' yang bekerja di Offshire Rig. Pertemuan mereka begitu istimewa. Di dalam pesawat, jatuh cinta, menikah. Wah luar biasa ya.

Sebelumnya harus saya jelasin, Critical Eleven ini adalah istilah dalam dunia penerbangan, yang artinya 11 menit paling kritis (di dalam pesawat). Sebelas menit ini adalah tiga menit setelah pesawat take off, dan delapan menit sebelum mendarat. Menurut Anya, Critical Eleven ini juga terjadi dalam interaksi kita dengan orang lain. Mudahnya sih, penilaian kita terhadap orang lain pada pandangan pertama.

Beberapa tahun selang pernikahan mereka, Anya akhirnya mengandung bayi laki-laki. Seneng banget dong. Tapi tak bisa dipungkiri. Entah apa rencana Tuhan, bayi itu meninggal dalam perut Anya setelah sembilan bulan dikandung. Hal itu merusak hubungan Anya dan Ale, karena Anya menganggap bahwa Ale menuduhnya menjadi penyebab meninggalnya calon buah hati mereka.

Bagaimana kelanjutannya? Apakah Ale dan Anya tidak berhasil untuk menyelamatkan pernikahan mereka?

***

"Aku pernah baca eskpetasi bisa membunuh semua kesenangan. It's even said that expectation is the root of all disappointments. Kadang hidup lebih menyenangkan saat kita tidak punya ekspetasi apa-apa. Whatever happens is neither good or bad. It is just happens." - Anya

Sebenernya...secara garis besar ceritanya biasa aja. Malah menurut saya sih (tapi maaf saya belum pernah berkeluarga jadi enggak tahu gimana rasanya), masalah ini terlalu dibesar-besarkan, dirumit-rumitkan, diputar-putar.

Jadi apa dong yang saya suka?

Yang saya suka adalah gaya penulisannya. Cara Ika Natassa mengajak pembacanya agar masuk ke dalam cerita begitu halus, hampir tak tersadari. Gaya berceritanya kayak ngajak ngobrol gitu. Asyik. Seru. Ngepas banget. Pernah kan kita asyik ngobrol sama orang yang klop banget lalu enggak sadar beberapa jam udah lewat? Nah, itulah yang saya rasakan saat membaca gaya tulisan Ika Natassa. 

Penulisnya juga punya banyak pemikiran bagus untuk 'pelajaran hidup'. Pas kita bacanya, kita bakal bergumam, "Oh iyaya." "Bener juga." "Oh gitu." Saya suka banget novel yang menonjolkan sisi-sisi prinsip hidup seseorang. Prinsip-prinsip yang bisa membuat kita termotivasi untuk mencobanya. 

Selain itu, jokesnyaaa bagussss parahhh! Jokesnya cenderung adult sih heheh tapi dapet banget. Mama saya sampe bingung ngeliat saya ketawa ga jelas baca novelnya.

Mungkin saya memang sudah dewasa sampe bisa nyambung dengan jokesnya. 

Btw nih, novel ini adalah satu di antara sedikit novel Indonesia yang pernah saya baca yang agak terang-terangan dalam...hal...kisah cinta orang dewasa. Sesuatu kayak kissing dan kawan-kawannya itu, yang biasa dipaparkan secara halus dan hati-hati di novel lain, justru dijelaskan blak-blakkan di novel ini. Biasanya yang kayak gitu saya dapati di novel terjemahan atau wattpad. Jarang sih nemu novel domestik yang begitu. Atau sekarang romancenya udah begitu semua ya?

Lanjut ke review, alurnya maju mundur sih. Kadang tiba-tiba di masa lalu, kadang udah di masa sekarang. Yah saya maklumi lah ya, saya oke-oke saya bacanya. 

Saya hanya tetap ga sreg sama inti masalah dalam hubungan mereka yang terlalu di'badai'kan. Mungkin lebih tepatnya saya enggak respect sama Anya.

Anya, gadis independen dengan karir yang menjanjikan. Memilih mendiamkan suaminya berbulan-bulan karena Ale sempat 'salah ucap'. 

Kesalahan fatal dalam hubungan mereka adalah komunikasi yang enggak sempurna. Aduh saya kayak pakar banget ya ngomongin ini wkwk. Yah pokoknya saya kurang suka dengan sikap Anya yang memilih mendiamkan suaminya berbulan-bulan daripada membicarakan masalah mereka. Anya memilih langsung sakit hati, langsung benci, langsung menganggap dia adalah korban paling menyedihkan. Merasa enggak ada masa depan, enggak ada harapan. 

Kebenciannya itu membuatnya 'tidak bisa melihat' bagaimana suaminya berusaha. Satu hal paling menyakitkan bagi saya adalah pas dialog berikut :

Anya     : "Aku belum bisa percaya kamu lagi"
Ale     : "Nggak percaya apa, Nya? Aku masih di sini aku nggak pernah bohong, aku nggak pernah selingkuh, aku nggak pernah macem-macem, kamu nggak percaya apa?"
Anya  : "Aku belum bisa percaya bahwa kamu nggak akan membuat aku sesakit ini lagi."

Astaghfirullah--asmjkndfruh. Rasanya saya pengen masuk ke dalam buku terus nyerocos ke si Anya. Coba deh dia inget-inget masa lalu mereka, inget bagaimana manisnya dulu sebelum masalah ini, inget gimana sayangnya si Ale buat dia, rela ngelakuin apa aja buat Anya, rela bucin, rela keluar duit bolak balik dari luar negeri ke Indonesia cuma buat nemuin Anya dua bulan sekali. Coba deh disadari kalo setiap manusia itu enggak bisa sempurna, dan yang paling penting adalah memaafkan. Coba disadari kalo yang sakit itu enggak cuma dia, tapi Ale juga. Rasanya pengen saya putarkan lagu Don't You Remember - Adele, ke dia, supaya dia ingat kisah perjuangan mereka dulu. Bagi saya Anya egois banget mendiamkan Ale selama itu, untuk sakit hati dia yang seharusnya bisa mereka bicarakan. 

Untung aja suaminya sabar banget Ya Allah. Mau banget didiemin gitu berbulan-bulan. 


Kok saya jadi ghibahin mereka berdua ya hehe>,< . Reviewnya ke mana atuh Sher?


Jadi begini, selain masalah yang dirumitkan, hal yang membuat saya agak kurang puas adalah penokohannya. Anya dan Ale ini mendekati karakter Gary/Mary Sue. Anya, seperti yang sudah saya katakan, cantik, menawan, karir cemerlang, rajin menabung dan menolong sesama. Keegoisan dan kelabilan Anya yang muncul setelah kehilangan bayinya agak mengejutkan saya sih--mungkin ini memang kekurangan yang patut disandingkan dengan segala kesempurnaannya. Sebagai gadis independen, pastilah ia merasa harga dirinya terluka saat ia dituduh salah, padahal ia hanya mengikuti prinsipnya.
Ale juga sempurna sekali. Ganteng, kaya, ramah, pintar. Hobinya keren-keren, termasuk berolahraga, membaca, denger musik, dll saya lupa. Kasih sayang dan kesabarannya yang nyaris tak terbatas membuat saya kagum sekaligus kesal. Ale seharusnya agak tegas ke istrinya sendiri. 

Maksudku, hei, hubungan itu tentang dua orang. Seharusnya kalo ada masalah dibicarakan bukan? Bukannya disimpan sendiri-sendiri dan diam.........

Oke saya kembali ngomel. Nah, kesimpulannya, novel ini, menurut saya, bakal lebih oke dibaca oleh kalian yang sedang atau pernah punya hubungan istimewa dengan seseorang. Lebih ada chemistrynya, lebih nyambung. Jadi 'ngena' gitu dengan perasaan yang ingin disampaikan penulis. Buku ini juga membuat kita sedikit banyak belajar tentang suatu hubungan. Terutama karena buku ini dikisahkan lewat dua sudut pandang!

Selamat membaca.

Btw saya belum nonton filmnya.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments