Cerpen : Bintang dan Mawar

By Sheren - Monday, June 12, 2017



“Perlahan-lahan, orang-orang di sekelilingku mendaki lebih jauh daripadaku,” ujarnya suatu hari kepadaku. Aku menoleh menatapnya, tersenyum. Walaupun dia sendiri sebenarnya tidak menatapku. Matanya terus menatap kebawah.
“Apakah itu membuatmu sesak?” gumamku, masih tersenyum simpul. Dia menghela nafas, memperbaiki posisi duduk.
“Tentu saja. Aku selalu ditinggalkan. Kau juga, kau juga sudah menggapai bintang demi bintang. Jauh meninggalkanku di tanah. Memangnya kau tidak sadar?”
Aku dan dia sedang bersantai di taman. Sudah lama kami berdua tidak melakukan ini. Tidak heran, beberapa waktu terakhir aku memang sering keluar kota, menjalani berbagai seminar, kompetisi-kompetisi. Hari ini, ketika ada kesempatan, kami kembali duduk berdua. Udara sejuk sehabis hujan terasa begitu nyaman. Sayangnya, gadis disebelahku tidak menikmatinya. Dia hanya terpekur sambil menggoyang-goyangkan kakinya—dan untuk pertama kalinya mengutarakan masalah ini—meski aku tak mengerti apa yang memancingnya.
“Semuanya begitu,” lanjutnya, “Mereka mengenalku, mengikuti apa yang kulakukan, lantas merekalah yang melesat. Sedangkan aku? Aku tetap berjalan ditempat.”
“Jangan begitu,” aku terkekeh, merapikan anak rambutnya yang jatuh ke pipi, “Seharusnya kamu bangga. Karena kamulah yang memulai segalanya. Kamu yang membuat dia menjadi seperti itu.”
“Tidak ada gunanya,” sergah gadis itu pelan, mendongak kearahku. Tatapannya sedih, “Aku juga ingin ke puncak bukit, menggapai bintang-bintang. Sepertimu, seperti yang lain,”
“Lantas, kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjadi naungan bagi mereka yang baru akan mendaki, hm? Siapa yang merawat bunga-bunga yang tumbuh mekar?”
“Tapi aku tidak mau,” dia menggeleng, dan aku terkejut melihat denting air di matanya, “Kenapa kau bisa? Kenapa aku tidak? Kenapa Tuhan begitu egois membiarkanku terkurung di satu tempat?”
“Hei,” aku mengernyitkan dahi, “Ucapanmu keterlaluan,”
“Aku hanya pecundang bukan?” dia tampak tak perduli, “Aku hanya bisa memulai sesuatu yang tak bisa aku selesaikan. Aku selalu dibelakang kalian.”
“Tapi aku sama sekali tidak keberatan,” tukasku, dan seketika aku menyadari kesalahan akan perkataanku. Dia berdiri, menatapku sengit dengan matanya yang merah akibat menangis.
“Tentu saja kamu tidak akan keberatan! Kau sudah di atas sana! Aku! Akulah yang keberatan. Aku masih harus merawat mawar-mawar itu ketika kau menemukan tanaman baru, membuatmu diliput seluruh dunia! Dan kau sudah menemukan yang lainnya lagi ketika mawar-mawarku belum lagi layu!”
Aku sungguh tidak mengerti kenapa gadisku ini tiba-tiba emosinya meluap-luap. Kenapa dia harus menangis? Kenapa dia harus membenciku ketika aku menjadi sedikit lebih tinggi? Bukankah itu baik?
“Kau menyadarinya, bukan? Kau rela meninggalkanku. Kau sudah tertawa bersama yang lain, menjalin tali sedikit demi sedikit untuk membuat tangga. Dan kau melakukan semua itu tidak bersamaku! Tetapi bersama mereka yang bahkan tak kukenal. Kau lebih akrab dengan gadis-gadis maupun pria-pria asing tersebut daripada aku dan mawarku!” semburnya, terengah-engah.
Rintik hujan mulai turun lagi. Dia menghela nafas, mencoba lebih tenang.
Well,” bisiknya pelan, tatapannya meredup, “Aku tidak bisa menjadi pendampingmu lagi. Aku tidak bisa.. kau harus mencari yang lain..”
“Apa...? Tidak!”
“Kau sudah pergi jauh sekali. Suatu saat-pun kau akan melupakanku. Dan itu akan lebih menyakitkan. Kau sudah memiliki terlalu banyak—aku tak akan bisa menyamainya. Ada banyak gadis-gadis yang mendambakanmu—dan mereka bisa mendaki tanpa kesulitan, untuk menyusulmu. Sedang aku tetap di tempatku, seperti katamu, menjaga bunga-bunga.”
“Ini bukan masalah materi maupun kekayaan!” aku ikut berdiri, menatapnya pedih. Bagaimana pula pikirannya hingga sejauh ini? Ini kali pertama kami berdua setelah sekian lama, dan sudah akan berakhir? “Kamu ya kamu! Tidak ada yang berubah sedikitpun. Aku akan tetap, dan selalu mencintaimu. Bagaimanapun situasinya! Jika aku pergi terlalu jauh, maka aku akan kembali.”
Dengan keras kepala, dia tetap menggeleng. Sekali ini dia menolak menatapku lagi, “Aku ingin mendampingi seseorang yang ingin bersamaku di lembah bunga itu. Seseorang yang bersedia menemaniku, yang mengobati kesendirianku. Kamu pergilah, bertaut pada bintang demi bintang. Jalan kita berbeda. Ada banyak cahaya yang menunggumu. Sedang aku tetap pada mawar-mawarku.”
Dia tersenyum, menatapku sebelum akhirnya berbalik pergi. Dibalut hujan yang semakin menderas.

Oh Tuhan, kenapa kakiku membeku? Kenapa aku tidak berlari menggapainya saat ini? Apakah dia benar, yang kukejar bukanlah dia, melainkan bintang-bintang itu?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments