Cerpen : Untukmu

By Sheren - Thursday, June 08, 2017

Lari. Lari. Lari

Matahari sudah menanjak, tetapi udara di sekelilingku tetap lembab. Pohon-pohon besar tampak rindang dan menghalangi sebagian besar cahaya matahari. Aku terus saja berlari, memaksakan kakiku yang mulai nyeri. Aku bahkan tidak memperdulikan denyutan jantungku yang semakin menyakitkan akibat berpacu terus selama beberapa waktu terakhir.

Di belakangku, terdengar suara kaki-kaki yang berlari beserta suara-suara teriakan.

Ini bukan lomba lari, ataupun Cross Country, meskipun aku sendiri sedang memimpin  paling depan dan kami sama-sama berlari. Lari bukanlah olahraga favoritku.

Saat ini aku sedang dikejar segerombolan orang, dan orang-orang itu mau membunuhku.

Aku bahkan tidak mengerti kenapa aku jadi target pembunuhan seperti ini. Aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa berada di hutan dan tidur di salah satu rumah penduduk hutan ini.

Suara mereka terdengar semakin dekat. Aku menggigit bibirku, ngeri. Kalau aku terus berlari seperti ini, maka aku akan tertangkap. Aku berbeda dengan mereka. Mereka telah terbiasa hidup dalam ketangguhan fisik untuk bertahan hidup di alam liar. Mereka terbiasa mengejar dan dikejar hewan buas. Sedangkan aku selama ini hidup di kota dan dilayani. Hewan buas yang mereka kejar telah menjadi daging masak di kotaku, dan aku tinggal membelinya.

Aku mengerem laju lariku dengan kaki belakang. Sepatu kets putihku menjadi kotor akibat tanah di hutan ini. Sebelum sempat memikirkan lebih lanjut bagaimana membersihkannya, aku segera bersembunyi di semak-semak di samping jalan setapak ini. Menunggu.

Tap. Tap. Tap. Tap.

Satu menit. Dua menit. Lima menit. Suara itu semakin dan semakin dekat. Hingga akhirnya persis melewati semak dimana aku bersembunyi. Tanganku mendingin dan bergetar. Tapi akhirnya gerombolan itu lewat. Tidak curiga terhadap semak tempatku bersembunyi.

“Alesha!”

Setengah membeku ditempat, aku menoleh. Di depanku tampak seorang pria paruh baya, di lehernya terdapat kalung yang terbuat dari serat yang digulung menjadi tali, serta berbagai tulang-tulang. Tangannya memegang tombak.

“Kenapa kamu berada disini?” dia berbicara dengan aksen dan lafal yang tak pernah kudengar sebelumnya, tapi anehnya aku mengerti bahasa yang diucapkannya.

“PERGI!” pekikku, “PERGI! JANGAN BUNUH AKU!” aku mengacungkan ranting ke arah pria yang jaraknya sudah satu meter itu.

Dia tertawa, “Siapa yang mau bunuh kamu? Kenapa kamu takut? Kamu akan menjadi dewa! Kamu terpilih!”

“PERGI!” sekarang teriakanku telah bercampur dengan tangis ketakutan, “AKU TIDAK MAU JADI DEWA! AKU MAU HIDUP DI BUMI!” pria itu berhenti, tampak bingung oleh kalimatku. Tapi sebelum kami sama-sama bereaksi untuk apapun, terdengar suara orang berlari-lari mendekat. Tidak hanya suara satu orang. Tapi banyak.

Oh tidak. Aku telah melakukan kesalahan. Dalam beberapa detik saja, gerombolan itu sudah mengitari aku dan pria itu.

“Alesha! Kami dengar kamu memekik-mekik, ada apa? Dari tadi kami mencarimu. Jangan bercanda dengan berlari, upacara sudah harus dimulai!”

“PERGI! PERGI KALIAN SEMUA! AKU BUKAN ALESHA! NAMAKU ARIN! AKU ARIN!”

Semuanya menatapku bingung, lalu salah satu dari mereka menyahut, “Kamu Alesha,”

“Aku Arin!”

“Alesha.”

“Ya, kamu Alesha.”

“Kamu Alesha.”

Kalimat itu saling bersahut-sahutan, mereka merengsek semakin maju. Aku berusaha melawan, tapi tangan-tangan gelap itu lebih kuat dariku, dengan mudah mereka memegang dan mengangkat tubuhku. Mereka kemudian membawaku ke tanah luas tempat upacara diadakan. Mereka melakukan itu sambil bernyanyi-nyanyi.

Alesha telah menginjak kedewasaan.
Alesha terlahir dari dewa dan menjadi titisan dewa.
Dengan bunga yang merah, Alesha akan menutup matanya.
Dengan bunga yang putih, Alesha akan dihantar ke singgasananya.
Dengan bunga-bunga, Alesha akan mencapai kesempurnaan dewanya.
Alesha telah dipilih untuk kami.
Alesha akan menjadi dewa bagi kami. Alesha pelindung kami.
Alesha, Alesha, Alesha, HO!

http://agnes-cecile.deviantart.com/art/small-piece-27-615725054
source : deviantart (Agnes-Cecile)

Dalam genggaman kuat gerombolan tak dikenal ini, aku bergidik. Menahan takut sekaligus tangis. Sejak kapan mereka membuatkan lagu untukku, atau untuk Alesha?

Beberapa menit kemudian, kami sampai ditempat yang dituju. Di sana tangisku pecah. Beberapa orang mendatangiku, termasuk pria yang tadi menemukanku.

“Jangan menangis Alesha, kamu tidak perlu merindukan kami.”

“Ya, setelah ini kamu akan menghadapi kesempurnaan, kamu akan melindungi kami,”

Aku tidak memperdulikan kata-kata mereka, sampai seseorang menelusupkan sesuatu ke tangan kananku.

Aku menatap tanganku. Bunga. Bunga yang cantik sekali, berwarna biru. Seperti langit. Seperti samudra. Kemudian aku mendongak, ternyata pria yang tadi menemukanku.

Dia memegang kedua pundakku, tersenyum dibalik kumisnya.

“Kamu tahu? Ketika kamu lahir, dan tetua suku bilang kamu adalah titisan dewa, Ayah senang, bahagia, sekaligus cemas dan takut. Itu artinya tanggungjawabmu akan besar sekali. Dengan hati-hati kami membesarkanmu, Alesha. Kamu anak yang sangat indah, dan berbakat. Kamu adalah keajaiban bagi ayah dan mamamu. Sekarang, setelah kamu besar, kami siap melepasmu. Demi kedewaanmu.” Pria itu menghela nafas, tampak air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku terdiam.

“Meski nanti kamu akan menjadi dewa, meski Ayah dan Mama tidak akan lagi bisa melihatmu, kamu akan tetap selalu ada di sisi kami berdua. Jadi kami juga memohon, jangan lupakan Ayah dan Mama. Bunga ini, kamu pasti ingat bunga  biru ini kan? Dan semoga saja, ketika menjadi dewa nanti, kamu akan tetap selalu memegang bunga ini,” senyumnya mulai bergetar, lantas dia mengecup dahiku.

“Selamat ulang tahun, dan selamat menjadi dewa...anakku,”

Pria itu mundur selangkah, dan tepat saat itu juga, orang-orang merengsek maju, mengangkatku dan membawaku ke sebuah meja panjang, aku masih berteriak-teriak, tetapi sepertinya mereka tidak perduli. Aku di letakkan diatas meja itu. Lalu salah seorang dari mereka, yang sangat tua, menyebut beberapa kalimat yang kali ini sama sekali tidak kumengerti. Aku hanya bisa merinding mendengarnya. Dan setelah pria itu selesai berbicara, aku merasakan tubuhku kaku diam, tidak dapat kugerakkan sama sekali. Bahkan aku tidak bisa berbicara.

“Akhirnya Dewa, setelah Engkau memberi kami titisan dewa berupa Alesha, Alesha yang diberkahi, Alesha yang penuh keajaiban, sekarang tibalah saatnya. Cukup sudah tujuh belas tahun dia menjadi manusia fana, sekarang saatnya kita menghancurkan kefanaannya, dan biarkan dia terbang bebas menjadi dewa. Dewa untuk kami. Dewa yang akan mendampingi Engkau,”

Aku merasakan udara bergetar di sekitarku, tampak sebuah pisau mengkilap di arahkan ke leherku. Dan aku mendengar semua orang berteriak. Teriakan gembira. Semuanya mengucapkan namaku dengan semangat. Di ujung sana seorang pria tambun tampak menabuh gong besar.

“ALESHA! ALESHA! ALESHA! ALESHA! ALES—ARIN! ALESHA! ARIN! ALESHA! ARIN!!”

Aku tersentak. Lantas membuka mata. Di sekelilingku tidak lagi hutan dan orang-orang yang berkalung tulang. Hanya dinding dan segala perabot.

Ini kamarku.

Dari luar terdengar ketukan pintu, “Arin, bangun sayang. Nanti kamu terlambat ke sekolah!”

Aku menatap jam, sudah pukul enam pagi.

Astaga, berarti tadi aku hanya bermimpi? Menyeramkan sekali.

“Iya Ma, Arin bangun.” teriakku dari kamar, Mama berhenti mengetuk.

“Baguslah. Oh iya sayang, selamat ulang tahun yang ke tujuh belas,” langkah kaki mama terdengar menjauh. Aku terkejut, menatap kalender.

Hari ini memang ulang tahunku. Jadi, mimpi tadi untuk memperingati ulang tahunku ya? Hebat sekali.

Aku menghela nafas, kemudian beranjak dari kasur.

Ketika itulah, aku menyadari sesuatu. Di tanganku, tergenggam setangkai bunga berwarna biru. Sebiru langit, sebiru samudera.

***


Cerita di atas sebenarnya sudah dibuat setahun lalu tepat sehari sebelum ulang tahunku karena cerita ini tidak lain tidak bukan sebagai hadiah ulang tahun—dariku, olehku, dan untukku, yang Januari kemarin berumur 17 tahun. Hohoho. Ho...hohohohohoho. 

Kalau dipikir pikir, cerita ini memang aneh banget.

Oh ya! Sepertinya lagu di bawah lumayan cocok untuk didengarkan selagi membaca cerita  ini :D


  • Share:

You Might Also Like

0 comments