Semakin Sepi

By Sheren - Friday, March 12, 2021

 2021. Awal tahun. Tapi kabar duka kembali berhembus.

Dulu aku selalu menantikan masa dewasa, namun sekarang aku menyadari dewasa itu berarti ditinggal dan meninggalkan. 

Tiga tahun berturut-turut ini, aku menyaksikan satu persatu keluarga kami pergi.  Jauh. Jauh sekali. Suatu hari kami semua mungkin berkumpul lagi, saat malaikat pencabut nyawa bersilahturahmi.

Sebenarnya, mereka yang pergi meninggalkan kami di dunia fana ini, tidak ada yang begitu dekat denganku. Tapi tetap saja, namanya kehilangan :) . Aku baru menyadari betapa berharganya kehadiran mereka, setelah mereka pergi meninggalkan kami.

2021. Om saya dari pihak mama saya. Ayah dari sepupu-sepupu saya, jatuh sakit. Penyumbatan pembuluh darah. Stroke ringan. Mengejutkan karena selama ini tidak pernah ada terdengar kabar dia sakit. Dia orang yang selama ini terlihat sehat-sehat saja. Jangankan demam, pusing pun tidak pernah kelihatan. Almarhum orang yang pendiam sekaligus ceria. Dia akan menyapa kami dengan 1000% sumringah saat melihat kami. Bertanya satu dua hal dengan ceria. Lalu senyum-senyum saja. 22 tahun saya mengenalnya sejak bayi, begitu terus polanya. Hal yang saya tahu tentang almarhum memang tidak banyak. Saya tahunya beliau orang cerdas, seorang profesor, mengajar di Universitas tempat saya berkuliah. Seorang pekerja keras, karena tante saya biasa bercerita beliau sedang di kampus meskipun hari libur. 

Setelah dinyatakan penyumbatan pembuluh darah, dia di rawat. Tetapi takdir, kesehatannya terus terus menerus memburuk dan subuh dini hari kami mendengar kabar duka itu.

I'm crying a lot. Saya bahkan tidak tahu mengapa. Dekat juga tidak, malah saya cenderung canggung dengan almarhum. Tetapi dukanya terasa sekali. Saya cukup dekat dengan sepupu-sepupu saya. Memikirkan mereka ditinggal Ayah mereka...memikirkan tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan ceria selintas itu, memikirkan lebaran nanti tidak ada lagi dia duduk sambil tersenyum lebar, rasanya luar biasa menyedihkan. 

Pagi itu saya pergi ke rumah duka. Untuk pertama kalinya seumur hidup saya, saya melihat kesedihan begitu menggantung di langit-langit rumah. Dari berbagai pengalaman duka yang saya alami ditinggal keluarga, duka kali ini yang terberat. Saya melangkahkan kaki ke dalam dan melihat sepupu perempuan saya setengah memeluk ayahnya yang terbujur kaku, menangis. Sepupu laki-laki saya membaca yasin, tapi akhirnya menangis juga lalu beranjak keluar. Tante saya kelihatan....kosong, hampa. Tidak ada hal lain yang lebih tepat untuk mendeskripsikannya. Di sisi lain, sepupu saya semakin menangis sampai akhirnya yang lain mendatanginya dan memeluknya.

Tangisannya semakin kencang.

Mata saya basah, lalu saya bergegas keluar dari ruangan itu. Dukanya terasa begitu pekat. Jika saya memutuskan ikut memeluk sepupu saya, yang ada saya malah ikutan menangis. Biarlah orang yang lebih kuat menenangkannya.

Di sini juga saya bisa melihat kebaikan orang-orang. Nenek saya tidak sempat lagi untuk bersedih, beliau sibuk mengurus semuanya. Sibuk sekali. Tante saya yang lain bilang nenek saya benar-benar histeris saat pertama kali mendengar kabar itu. Tetapi saat saya bertemu dengan beliau, sisa kesedihan itu telah sirna dari wajahnya, tersimpan dalam-dalam, dikubur dengan kesibukan-kesibukan mengurus pemakaman. Saya selalu mengagumi Nenek saya selama ini atas ketangkasan dan ketegarannya (Beliau ditinggal suaminya saat om kembar saya yang paling bungsu baru 8 tahun). Dialah yang sibuk mengemas ini itu, memutuskan ini itu, menyuruh ini itu. 

Tidak hanya nenek saya, keluarga-keluarga juga begitu, sibuk mengurus rencana pemakaman dan tahlilan. Tetangga-tetangga sibuk menyiapkan banyak hal. Memang benar, ketika kita berduka, yang sibuk justru orang-orang terdekat kita :).

Ah, lebaran tahun ini tidak akan sama lagi :). 

2020. Pertama-tama, Om saya yang lain, dari pihak mama saya, meninggal dunia. Almarhum ini lebih tidak dekat lagi dengan saya. Almarhum dan istrinya tinggal di Pulau Jawa, hanya pulang saat lebaran dan acara tertentu. Tetapi beliau selalu mengingat nama saya. Tanpa ragu, tanpa bertanya lagi. Saya pribadi lebih sering lupa dengan nama-nama orang yang jarang bertemu dengan saya. Saya bahkan tidak ingat nama anak keduanya. Tiap bertemu dia selalu dengan ramah menyebut nama saya, dengan nada seakan-akan kami akrab sejak lama. Itu bagian terbaik yang tidak pernah saya lupakan. Putri-putrinya masih kecil sekali.

Tidak lama berselang setelah duka ini, Kakek saya, saudara ipar nenek kandung saya, meninggal dunia. Almarhum memang bukan kakek kandung saya, tetapi bisa dibilang sosok kakek terdekat yang pernah ada dalam keluarga besar ini. Orangnya luar biasa baik. Saya selalu memandangnya seperti Habibie di keluarga kami. Ya, jika Pak Habibie berjasa untuk Indonesia, maka kakek saya ini sangat berjasa di keluarga kami. Beliau orang yang cukup terpandang. Sejak kakek kandung saya meninggal, beliau banyak sekali membantu keluarga kami. Membiayai sekolah, membiayai kebutuhan sehari-hari. Almarhum itu seperti pusat dari suatu lingkaran. Seseorang yang amat dihormati. Sangat mencintai istrinya yang lebih dulu meninggalkannya. Saya memang tidak dekat sama sekali, tetapi saya sangat menghargainya. Setiap lebaran, rumah beliau adalah rumah prioritas. Biasanya urutan kedua didatangi setelah rumah nenek saya. Selalu begitu polanya. Sekarang tidak lagi sama :).

2019. Saya ingat sekali hari itu. Siang hari. Saya sedang ada kuliah di kampus, kemudian saya membuka chat WA karena banyak chat masuk mengucapkan Innalillahi... Betapa syoknya saya yang meninggal adalah Om saya sendiri. Saudara Papa saya. 

Sehari-dua hari sebelumnya, saya memang bermimpi mendatangi sebuah kuburan dan menabur bunga. Saya ingat mimpi itu karena punya kebiasaan mencatat mimpi di ponsel saat bangun :) . Tetapi saya begitu sering bermimpi hingga tidak pernah menganggap mimpi saya itu firasat. 

Hal yang membuat saya syok adalah, hanya sekitar satu jam sebelum almarhum meninggal, almarhum masih mengirim chat di grup keluarga kami. Chat bercanda. Bahkan sepupu saya sempat memotret ayahnya dan mengirimnya di grup. Masih berdiri. Sehat. Segar. Tidak sakit. Benar-benar tidak ada tanda-tanda apapun. Hari itu bahkan sepupu saya mau membuka stan eskrim. Almarhum meninggal karena alasan yang begitu sederhana, tersedak makan. Sempat dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong.

Sampai hari ini saya masih memiliki perasaan bersalah yang begitu besar terhadap beliau. Om saya ini cukup sering datang ke rumah untuk mengobrol dengan Papa saya. Namun saya ini memang tidak dekat dengan Om saya. Kalau dipikir-pikir saya memang tidak dekat dengan siapapun. Jadi jika Om saya datang ke rumah saya akan menyapa sekedarnya lalu masuk ke dalam kamar.

Itulah penyesalan terbesar saya.

Beberapa waktu, antara beberapa hari atau beberapa minggu sebelum almarhum meninggal, almarhum datang ke rumah seperti biasa. Saya ingat sekali hari itu, dan selalu ingin menangis saat mengingat hari itu lagi. 

Om saya datang, duduk di ruang samping rumah. Saya yang waktu itu pulang kuliah seperti biasa juga menyapa "Om.." lalu masuk kamar. Pas saya datang, papa saya belum datang. Dan ternyata, sampai satu jam kemudian, sepertinya papa saya tidak datang-datang. Akhirnya Om saya pulang tanpa berkata apa-apa. Saya baru tau kalau ternyata Om saya sudah pulang saat keluar kamar dan tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Om saya. Saya agak tidak nyaman hati hari itu, dan bertekad kedepannya akan berperilaku lebih baik. Namun hari selanjutnya tidak pernah ada.

Itu terakhir kalinya Om saya bertandang ke rumah. Dan saya benar-benar menyesal. Andai hari itu saya lebih ramah menyapa. Andai hari itu saya membuatkan kopi atau teh. Andai hari itu saya menemaninya mengobrol walaupun sebentar...

Daripada itu, saya memperlakukan almarhum seperti orang asing. Sudah dua tahun dan penyesalan itu selalu tertambat dipikiran saya. 

Ah, hari kepergiannya waktu itu. Saya buru-buru pulang dari kampus setelah dosen keluar dan menangis di jalan, mengingat perilaku saya yang bodoh hari itu. Tapi tentu saja penyesalan tidak ada gunanya :)

Seringkali kita terlambat untuk berbuat baik :).


Untuk Om Maman, Om Ruli, Kek Roso, Om Man, terimakasih karena pernah ada di dunia ini. Semoga tenang di sana. 

Kehidupan siapapun di muka bumi ini tidak pernah abadi. Satu persatu akan beranjak meninggalkan kita. Tidak pernah tahu siapa yang duluan, siapa yang belakangan. Semakin hari, semakin sepi. Duka yang terjadi setiap tahun ini begitu membekas sehingga saya menjadi sering bertanya-tanya, 


Selanjutnya bagaimana? 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments