Bu guru Bahasa Indonesia aku memberi tugas membuat sebuah cerita pendek dengan tokoh-tokoh yang udah ditentukan. Well, kupikir enggak ada salahnya menyebarkan cerita ini di blog. Daripada cuma dibaca Bu Mel, yang bahkan aku juga agak ga yakin, dibaca atau engga.
So, ini dia.
***
Harga
Kasih Sayang)
Raimah memang anak yang
istimewa.
Semua orang di tepian
Kapuas menjulukinya malaikat kecil yang malang. Dia adalah gadis kecil
paling manis di gang mereka. Tubuhnya ramping, rambutnya yang ikal tergerai
melewati bahunya. Matanya amat memesona—menyiratkan keramahan dan keceriaan.
Sayang, gadis jelita berusia tujuh tahun itu sekarang hanya tinggal bersama
Neneknya, sebab kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Bapaknya terlindas
truk di kota. Mamaknya mengalami cedera otak traumatik setelah terpeleset dan
kepalanya menghantam tunggul kayu, dia tidak pernah lagi sadarkan diri sejak
itu.
Nenek Fatimah menghidupi
keluarganya dengan berjualan kue tradisional. Tiap pagi dan sore tak kenal
lelah dia berkeliling di gang sepanjang Kapuas, menjajakan kue-kuenya.
Kadang-kadang si kecil Raimah ikut bersamanya, membuat orang-orang tak henti
memuji gadis kecil itu, menganggapnya anak yang patuh.
Hanya Nenek Fatimah
yang sering menepis pujian itu. Baginya, daripada patuh, Raimah terlalu banyak keinginan.
Lihatlah, saat ini saja, Raimah sedang berputar-putar di dapur sambil memegang
centong, membiarkan neneknya sendiri bekerja, dan malah mengoceh keras;
“Andai saja aku ini anak
pedagang sutra, bukannya cucu penjual kue keliling. Andai aku dapat memakai
gaun yang lembut dan membaca di sore hari, bukannya memakai pakaian sekasar
kulit pohon dan mengaduk-aduk adonan kue!”
Nenek Fatimah menumbuk
kacang tanahnya semakin berisik, berusaha menahan amarahnya sekaligus
menyamarkan ocehan Raimah. Tapi Raimah terus saja meneriakkan
keinginan-keinginannya yang tak masuk akal, “Andai Bapak dan Mamak tidak
meninggal, aku bisa mempunyai waktu yang lebih banyak untuk bermain,”
“Oi, kalau kau terus
berandai-andai, maka andaian yang paling tepat adalah andai kau tidak
lahir, cucuku. Sehingga kau tidak perlu mengalami semua hal yang kau anggap
penderitaan ini,” desis Nenek Fatimah, telah kehilangan kesabaran.
Raimah berhenti
berputar dan menoleh, terluka mendengar ucapan pedas Nenek Fatimah. Lantas ia
melempar centongnya ke sudut dapur dan melarikan diri sebelum omelan Neneknya
kembali memenuhi langit-langit dapur.
Terus saja Raimah
berlari walaupun dia tahu Neneknya itu tak akan mungkin sanggup berlari
mengejarnya di sepanjang tepian Kapuas. Dua kali dia tersandung, dua kali pula
dia bangkit dan berlari. Hingga sampai di area pasar, Raimah tak sengaja
menabrak tubuh seseorang.
“Kamu tidak apa-apa?”
tanya sebuah suara cemas, kemudian orang itu menarik tubuh Raimah dari tanah.
Raimah mendongak, mendapati seorang pria dewasa sedang mengawasinya—seakan-akan
dirinya bisa pingsan kapan saja.
“Tidak apa-apa. Permisi
Om—”
“Tidak-tidak,” sanggah
pria tak dikenal itu, “Lihat, kamu terluka.”
“Ah..ini..” sebenarnya
Raimah ingin menjelaskan bahwa luka-luka ini di dapat saat ia tidak
berhati-hati selama berlari tadi, tapi pria itu sudah kembali berbicara,
“Ayo, ikut Om ke rumah,
biar saya obati lukanya. Nanti orangtuamu marah sama Om.” Di genggamnya tangan
Raimah dengan lembut, lantas menuntunnya menyusuri jalan. Pria itu tersenyum
dengan cara yang sangat menyenangkan. Dan saat itu juga Raimah teringat
almarhum Bapaknya—kasih sayangnya, kelembutannya. Demi mengingat semua memori
lama tersebut, Raimah mengikuti si pria tak dikenal , mengharapkan lebih banyak
perhatian. Dia sangat merindukan kasih sayang itu, yang tak pernah Neneknya
berikan.
“Nama Om siapa?” tanya
Raimah dengan semangat di tengah perjalanan.
“Om? Panggil saja Om
Bandi.”
Raimah
mengangguk-angguk. Om Bandi. Dia akan mengingatnya.
Setelah sampai di ujung
pasar dan memasuki ke tempat yang lebih sepi, Om Bandi berhenti. Dari belakang
Raimah menyelipkan diri dan melihat sebuah rumah di depannya. Rumah itu bercat
putih dan sangat cantik, dengan barisan jendela yang berkilau dan tiang-tiang
di depan rumah sebagai penyangganya. Pada halaman luas yang terhampar di depan
rumah itu terdapat batu-batu bulat sebagai jalan, dan di samping kiri dan
kanannya di tanam berbagai macam bunga-bungaan dengan harum semerbak. Om Bandi
membawanya masuk ke ruang depan. Sama seperti bagian depannya, bagian dalam
rumah ini sangat megah. Selain dipenuhi instrumen mahal, ruangan tamu ini pun dipenuhi banyak orang yang kelihatannya sibuk dengan
urusan masing-masing—dan semuanya menoleh saat mereka berdua datang.
“Tolong obati anak ini,
Elizabeth,” teriak Om Bandi. Seorang wanita yang sedang bermain piano di sudut
ruangan bergegas mendekati mereka. Wanita bernama Elizabeth itu sempat tak
berkedip menatap Raimah selama setengah menit, lalu membawa Raimah ke salah
satu sofa untuk mengobatinya.
“Bagaimana kamu dan
Bandi bisa bertemu?” tanya Tante Elizabeth sambil mengobati luka di lutut
Raimah. Raimah lalu menceritakan semuanya, dan menambahkan, “Om Bandi baik
sekali, padahal yang menabrak Raimah.”
Tante Elizabeth tertawa
merdu, gigi-gigi putihnya sangat kontras dengan lipstik merah yang dia kenakan,
“Benar-benar intan mentah yang belum diasah, kau ini! Begitu berharga!”
Kendatipun Raimah tak
sepenuhnya mengerti kalimat itu—ataupun kenapa tiba-tiba Tante Elizabeth
berkata begitu, dia tetap menyengir lebar, senang mendengar Tante Elizabeth
menyebutnya begitu berharga—padahal ia hanya seorang cucu penjual kue keliling.
Di rumah putih besar,
Raimah di layani sangat baik. Sehingga dia yakin sudah menemukan jalan cerita
kehidupannya—menjadi seorang putri. Dia diberi makan yang banyak, tubuhnya
dibersihkan, dan di kenakan pakaian bagus. Ada banyak sekali orang di rumah
ini. Om Bandi menceritakan bahwa dia memiliki tujuh putri, yang paling tua
berumur tujuh belas tahun. Yang paling muda lebih tua setahun darinya. Istrinya
telah lama meninggal, saat melahirkan anak ketujuh. Tante Elizabeth adalah
saudara Om Bandi, walaupun menurut Raimah wajahnya sama sekali berbeda.
Kemudian ada Kakek Munawwir—Om Bandi mengatakan Kakek Munawwir adalah ayahnya,
dan merupakan pemilik rumah sekaligus yang menghidupi seluruh keluarga di rumah
ini. Ada juga Kakek Sholeh, yang merupakan teman dekat Kakek Munawwir.
Nama-nama anak Om Bandi
semuanya aneh-aneh dan sulit diucap, apalagi diingat. Yang paling tua bernama
Fleur, diikuti Hermione, Rosemary, Parsley, Katniss, dan Aphrodite.
“Nama kadang-kadang memiliki
sejuta daya tarik yang sangat memikat,” jawab salah satu dari ke tujuh anak itu
saat Raimah mengutarakan pendapatnya. Sejak itu, dia tak pernah lagi bersusah
payah untuk mengingat nama mereka.
Namun, dia selalu kagum
dan terheran-heran dengan tujuh anak Om Bandi. Karena wajah anak Om Bandi satu sama
lain begitu berbeda, tetapi disisi lain juga mirip. Luar biasa. Memancarkan
keindahan yang tak pernah dirinya lihat sebelumnya. Sangat cantik, tapi juga
tidak alami. Sangat anggun. Tapi dengan cara yang kadang-kadang berlebihan.
Raimah pulang ke rumah
dengan perasaan mengembang. Dia sangat senang akan petualangannya hari ini,
terlebih Om Bandi memintanya untuk sering-sering berkunjung. Mereka semua hanya
berpesan supaya Raimah tidak memberitahu Neneknya, karena khawatir Neneknya
yang cerewet luar biasa itu akan melarang Raimah mengunjungi mereka. Raimah
dengan senang hati menurutinya. Nenek sudah pasti melarangnya jika tahu, karena
jauh sebelum hari ini Nenek Fatimah selalu dengan tegas memintanya untuk tidak bermain
di pasar—banyak penculik, katanya.
Semenjak itu, setiap
pulang sekolah dia akan bermain di rumah putih besar hingga sore. Kepada
Neneknya ia katakan bermain dengan teman. Raimah terpaksa berbohong kepada
Neneknya, karena bagaimanapun, Raimah selalu ingin pergi ke rumah besar itu.
Orang-orang di rumah itu membuatnya merasa aman, hangat, dan senang. Dia ingin
selalu bersama mereka. Selama-lamanya. Terutama bersama Om Bandi dan Tante
Elizabeth, yang keduanya telah Raimah anggap sebagai pengganti Bapak dan
Mamaknya.
“Kelak kau akan
dicintai oleh semua orang, Rai kecil,” bisik anak tertua Om Bandi suatu hari
(Raimah sudah melupakan namanya). Rai adalah nama yang di sematkan pada Raimah
oleh orang-orang rumah putih itu, “Kelak kau akan dipuja. Orang-orang akan
bertekuk lutut padamu. Kau akan sangat dibutuhkan.”
“Apakah kakak juga demikian?”
“Tentu saja.”
“Setiap aku kemari,
kakak selalu di rumah. Aku tidak pernah
melihatmu keluar. Apakah begitu caranya agar kita dipuja? Tidak keluar rumah?”
Anak tertua Om Bandi tertawa
kecil, lantas menggeleng, “Kau memang belum pernah melihatku keluar. Aku hanya
keluar jika matahari telah tumbang, ketika ribuan bintang di langit yang gelap
menggantikannya.”
“Malam harikah itu?”
“Ya. Gemerlapnya malam
selalu menjadi pelipur hatiku. Kau dapat menyaksikan keindahan di kota pada
malam hari, yang tak pernah kau lihat di siang hari.”
“Semenyenangkan itukah?
Aku hanya dapat melihat kerlap-kerlip perkotaan dari tepi sungai yang gelap dan
menakutkan. Ingin sekali aku ke gemerlapnya malam, jika memang seru.”
“Kau akan menikmatinya
suatu hari nanti, Rai kecil.” janji gadis tanggung itu.
Di hari lain, ada
wanita-wanita lain yang akan menemani Raimah di dalam rumah itu. Kali ini
adalah Tante Elizabeth. Hal pertama yang dilakukannya adalah menatap telapak
tangan Raimah.
“Tanganmu sungguh
sehalus beledu,” ucapnya kagum, lalu melanjutkan, “Kau harus memiliki keahlian
lewat telapak tanganmu ini, Rai kecil. Bagaimana dengan bermain musik? Supaya
kau semakin berharga. Jangan gitar, itu akan membuat ujung jarimu teriris.
Sebaiknya piano saja, sepertiku.”
Dan ternyata Raimah
berbakat dalam bermain musik, sangat berbakat. Tante Elizabeth menyadarinya
setelah beberapa minggu mereka latihan, bertepuk tangan kagum.
“Kau anak yang
mengagumkan!” katanya histeris, “Begitu cepat menguasai musik. Benar-benar
intan yang berkilau.”
***
Setahun kemudian,
Raimah telah tumbuh menjadi gadis yang berbeda dibanding anak-anak lain di
tepian Kapuas. Jika anak-anak lain selalu makan dengan tangan, maka akan selalu
ada sendok dan garpu disisi Raimah. Jika anak gadis lain bermain lompat tali, maka
Rai kecil akan diam-diam mempelajari partitur, bersama dengan jari-jari lentiknya
menekan tuts-tuts khayalan. Jika anak-anak lain mencoba membuat mainan dari
tanah liat, maka yang dilakukan Raimah adalah merawat kulitnya. Semua itu tidak
lepas dari pengamatan keluarga di rumah putih yang besar. Nenek Fatimah sendiri
sebenarnya heran melihat kelakukan Raimah, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena
perubahan Raimah memang menuju ke arah yang menurutnya lebih baik.
Suatu hari, seperti
biasa sepulang sekolah Raimah mengunjungi rumah putih besar. Om Bandi-lah yang
menyambutnya, dengan wajah kebapakan yang selalu disukai Raimah.
“Nah, sudah saatnya
Rai. Akhirnya kamu datang juga,”
“Ada apa?”
“Hari ini kita akan
jalan-jalan. Kamu mau kan? Ada yang mau menemuimu.” Om Bandi tersenyum, menepuk
lembut pundak Raimah.
“Siapa yang mau
menemuiku?”
“Kejutan.” Om Bandi
meletakkan jari telunjuknya di bibir dan mengedipkan sebelah matanya. Dia
terlihat sangat senang dan percaya diri. Jadi Raimah memercayai dan menuruti
kata-katanya. Dia segera di suruh mandi oleh
Tante Elizabeth, lalu berganti pakaian dan menaiki mobil.
Saat itulah Raimah
sadar. Ternyata Om Bandi tidak ikut jalan-jalan. Hanya dirinya, Tante
Elizabeth, dan Kakek Sholeh. Raimah sempat merajuk.
“Maaf Rai. Om kali ini
tidak bisa ikut. Lain kali saja ya?”
Raimah bersedekap,
enggan menaiki mobil, “Tadi katanya kita. Tapi Om tidak ikut,”
Om Bandi menyengir,
wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang nyata, “Besok. Bagaimana?” Om Bandi
kemudian mengulurkan jari kelingkingnya. Lama baru Raimah menyambut janji itu,
ikutan tersenyum.
“Janji?” tuntutnya, Om
Bandi mengangguk, “Janji.”
Sayangnya janji itu
tidak pernah ditepati.
Raimah mengitari kota Pontianak
sepanjang sore, melewati jalan-jalan protokol yang baru pernah dilihatnya pertama
kali. Menyaksikan gedung-gedung tinggi yang berjejer. Dan pusat pembelanjaan
yang lebih besar daripada pasar yang biasa dikunjunginya. Mereka berbelanja
begitu lama. Hingga menjelang malam, barulah Tante Elizabeth mengingatkan
tentang janji pertemuan itu. Raimah bahkan sudah melupakannya.
“Ah, tapi nanti Nenek
marah kalo Rai pulang malam.” cemasnya. Tante Elizabeth tersenyum, “Om Bandi
pasti sudah membicarakannya dengan Nenekmu.”
Begitu mendengarnya,
semua kecemasan Raimah menghilang. Mereka pun kembali menyusuri jalan besar dan
sampai di sebuah rumah yang tampaknya tiga kali lipat lebih besar daripada
rumah putih.
“Seperti istana saja..”
gumam Raimah terkagum-kagum. Tante Elizabeth mengantarnya masuk. Mereka menemui
seorang pria berumur dua puluhan yang menurut Raimah sangat keren.
Mereka bercakap sebentar, lalu Tante Elizabeth mohon diri ke toilet. Tapi
bermenit-menit kemudian Tante Elizabeth tak kunjung kembali ke ruang tamu. Ini
membuatnya cemas dan canggung. Apalagi Om Hari—pemilik rumah istana, menatapnya
dengan tajam.
Lalu matanya menemukan
sebuah piano yang bertengger ditempat yang agak tersembunyi.
“Oh!” celetuknya,
“Bolehkah Rai memainkan piano itu?”
“Silahkan, Rai.” Om Hari
mengucapkan namanya dengan intonasi yang sangat membuatnya risih, tetapi Raimah
dengan cepat mengabaikan itu dan berjalan menuju piano. Dia diam beberapa menit
di depan tuts-tuts itu, baru kemudian mulai bermain.
“Greensleeves?”
tebak Om Hari di belakangnya saat Raimah sudah mulai bermain. Raimah
mengangguk, memejamkan matanya. Beberapa menit keheningan dalam ruangan itu
hanya di isi oleh denting piano yang dimainkan Raimah.
“Kau memiliki gayamu
saat memainkannya. Membuat melodinya menjadi milikmu sendiri, bukan milik
penciptanya,”
“Terimakasih,” walaupun
Om Hari berbicara dengan intonasi yang menyebalkan, Raimah tetap saja senang
mendengar pujian bertaraf tinggi itu. Dia melanjutkan permainannya.
“Aku menyukainya,”
Raimah terlonjak. Bukan karena tanggapan Om Hari yang begitu menyenangkan, akan
tetapi bisikannya yang begitu dekat—di belakang telinganya. Permainan berhenti
seketika. Dia menoleh dan menatap Om Hari dengan terbelalak. Yang ditatap telah
menyeringai.
“Teruskan permainanmu, sayangku.”
Raimah diam membeku.
Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar. Dengan cepat matanya menyapu ke
seluruh ruangan.
Tante Elizabeth belum
kembali.
“Bermainlah. Apalagi
yang kau bisa? Sonate-nya Beethoven?” Om Hari berbicara dengan gaya lembut
yang begitu menjijikkan bagi Raimah. Lebih aneh lagi saat Om Hari mendekat,
dan semakin mendekat, “Aku juga tidak menolak Debussy,”
Dirinya mulai ketakutan
setengah mati dan mendorong kasar pria itu. Perlawanan yang nyaris sia-sia.
“Melawan, ya?” desis
pria jangkung tersebut dengan nafas terengah-engah, kembali mendekat.
“Tidak!” jerit Raimah,
menggigit tangan yang sudah melingkarinya. “Om gila! Om gila!” Kemudian dia
mencakar wajah Om Hari dan berlari menuju arah pintu. Untunglah kunci masih
tergantung di pintu, dengan cepat diputarnya kunci dan berlari menuju jalan. Berteriak-teriak.
Dia sempat menoleh,
hanya untuk mendapati bahwa mobil Kakek Sholeh dan Tante Elizabeth sudah
menghilang.
Air mata Raimah
merebak. Terisak. Kenyataan itu menghantam telak pada jantungnya, tiba-tiba
saja seluruh rasa sakit sudah memenuhi tubuhnya. Dan yang paling sakit adalah
perasaannya, hatinya.
Om Bandi. Tante
Elizabeth. Semua kasih sayang dan perhatian yang mereka curahkan. Yang dia
dambakan. Apakah memang semahal itu harga yang harus dibayar?
***
“Koran-koran! Koran
baru! Ada yang mau beli? Ada berita yang sangat hot! Baru terjadi
kemarin malam!” teriak penjual koran di tengah keramaian pasar. Beberapa
menoleh, satu dua bahkan bertanya apa beritanya. Tak biasanya penjaja koran
berteriak-teriak heboh.
“Sebuah markas
prostitusi anak di bawah umur akhirnya berhasil di ringkus aparat kepolisian!”
ujar penjual koran itu, walaupun dengan nada misterius, masih berbaik hati
menjelaskan, “Semua di bongkar oleh seorang gadis berumur delapan tahun yang
nyaris jadi korbannya!”
Semakin banyak
orang-orang di pasar itu yang mendekat ke penjual koran, menguping ingin tahu.
“Bagaimana jalan
ceritanya, Mang?”
“Mau tahu? Ayo beli
korannya! Dua ribu perak saja!”
Kerumunan itu berseru-seru
penasaran, semakin heboh mengobarkan gosip prostitusi. Sedangkan jauh dari
penjual koran dan penggemarnya, Raimah sedang asik mengadon kue bersama
neneknya, di rumah di tepi sungai Kapuas. Tak lagi berandai-andai menjadi anak
pedagang sutra—ataupun seorang putri raja.
0 comments