Cerita : Harga Kasih Sayang

By Sheren - Wednesday, September 09, 2015

Bu guru Bahasa Indonesia aku memberi tugas membuat sebuah cerita pendek dengan tokoh-tokoh yang udah ditentukan. Well, kupikir enggak ada salahnya menyebarkan cerita ini di blog. Daripada cuma dibaca Bu Mel, yang bahkan aku juga agak ga yakin, dibaca atau engga.

So, ini dia. 

***

Harga Kasih Sayang)

Raimah memang anak yang istimewa.
Semua orang di tepian Kapuas menjulukinya malaikat kecil yang malang. Dia adalah gadis kecil paling manis di gang mereka. Tubuhnya ramping, rambutnya yang ikal tergerai melewati bahunya. Matanya amat memesona—menyiratkan keramahan dan keceriaan. Sayang, gadis jelita berusia tujuh tahun itu sekarang hanya tinggal bersama Neneknya, sebab kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Bapaknya terlindas truk di kota. Mamaknya mengalami cedera otak traumatik setelah terpeleset dan kepalanya menghantam tunggul kayu, dia tidak pernah lagi sadarkan diri sejak itu.
Nenek Fatimah menghidupi keluarganya dengan berjualan kue tradisional. Tiap pagi dan sore tak kenal lelah dia berkeliling di gang sepanjang Kapuas, menjajakan kue-kuenya. Kadang-kadang si kecil Raimah ikut bersamanya, membuat orang-orang tak henti memuji gadis kecil itu, menganggapnya anak yang patuh.
Hanya Nenek Fatimah yang sering menepis pujian itu. Baginya, daripada patuh, Raimah terlalu banyak keinginan. Lihatlah, saat ini saja, Raimah sedang berputar-putar di dapur sambil memegang centong, membiarkan neneknya sendiri bekerja, dan malah mengoceh keras;
“Andai saja aku ini anak pedagang sutra, bukannya cucu penjual kue keliling. Andai aku dapat memakai gaun yang lembut dan membaca di sore hari, bukannya memakai pakaian sekasar kulit pohon dan mengaduk-aduk adonan kue!”
Nenek Fatimah menumbuk kacang tanahnya semakin berisik, berusaha menahan amarahnya sekaligus menyamarkan ocehan Raimah. Tapi Raimah terus saja meneriakkan keinginan-keinginannya yang tak masuk akal, “Andai Bapak dan Mamak tidak meninggal, aku bisa mempunyai waktu yang lebih banyak untuk bermain,”
“Oi, kalau kau terus berandai-andai, maka andaian yang paling tepat adalah andai kau tidak lahir, cucuku. Sehingga kau tidak perlu mengalami semua hal yang kau anggap penderitaan ini,” desis Nenek Fatimah, telah kehilangan kesabaran.
Raimah berhenti berputar dan menoleh, terluka mendengar ucapan pedas Nenek Fatimah. Lantas ia melempar centongnya ke sudut dapur dan melarikan diri sebelum omelan Neneknya kembali memenuhi langit-langit dapur.
Terus saja Raimah berlari walaupun dia tahu Neneknya itu tak akan mungkin sanggup berlari mengejarnya di sepanjang tepian Kapuas. Dua kali dia tersandung, dua kali pula dia bangkit dan berlari. Hingga sampai di area pasar, Raimah tak sengaja menabrak tubuh seseorang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya sebuah suara cemas, kemudian orang itu menarik tubuh Raimah dari tanah. Raimah mendongak, mendapati seorang pria dewasa sedang mengawasinya—seakan-akan dirinya bisa pingsan kapan saja.
“Tidak apa-apa. Permisi Om—”
“Tidak-tidak,” sanggah pria tak dikenal itu, “Lihat, kamu terluka.”
“Ah..ini..” sebenarnya Raimah ingin menjelaskan bahwa luka-luka ini di dapat saat ia tidak berhati-hati selama berlari tadi, tapi pria itu sudah kembali berbicara,
“Ayo, ikut Om ke rumah, biar saya obati lukanya. Nanti orangtuamu marah sama Om.” Di genggamnya tangan Raimah dengan lembut, lantas menuntunnya menyusuri jalan. Pria itu tersenyum dengan cara yang sangat menyenangkan. Dan saat itu juga Raimah teringat almarhum Bapaknya—kasih sayangnya, kelembutannya. Demi mengingat semua memori lama tersebut, Raimah mengikuti si pria tak dikenal , mengharapkan lebih banyak perhatian. Dia sangat merindukan kasih sayang itu, yang tak pernah Neneknya berikan.
“Nama Om siapa?” tanya Raimah dengan semangat di tengah perjalanan.
“Om? Panggil saja Om Bandi.”
Raimah mengangguk-angguk. Om Bandi. Dia akan mengingatnya.
Setelah sampai di ujung pasar dan memasuki ke tempat yang lebih sepi, Om Bandi berhenti. Dari belakang Raimah menyelipkan diri dan melihat sebuah rumah di depannya. Rumah itu bercat putih dan sangat cantik, dengan barisan jendela yang berkilau dan tiang-tiang di depan rumah sebagai penyangganya. Pada halaman luas yang terhampar di depan rumah itu terdapat batu-batu bulat sebagai jalan, dan di samping kiri dan kanannya di tanam berbagai macam bunga-bungaan dengan harum semerbak. Om Bandi membawanya masuk ke ruang depan. Sama seperti bagian depannya, bagian dalam rumah ini sangat megah. Selain dipenuhi instrumen mahal, ruangan tamu ini pun dipenuhi  banyak orang yang kelihatannya sibuk dengan urusan masing-masing—dan semuanya menoleh saat mereka berdua datang.
“Tolong obati anak ini, Elizabeth,” teriak Om Bandi. Seorang wanita yang sedang bermain piano di sudut ruangan bergegas mendekati mereka. Wanita bernama Elizabeth itu sempat tak berkedip menatap Raimah selama setengah menit, lalu membawa Raimah ke salah satu sofa untuk mengobatinya.
“Bagaimana kamu dan Bandi bisa bertemu?” tanya Tante Elizabeth sambil mengobati luka di lutut Raimah. Raimah lalu menceritakan semuanya, dan menambahkan, “Om Bandi baik sekali, padahal yang menabrak Raimah.”
Tante Elizabeth tertawa merdu, gigi-gigi putihnya sangat kontras dengan lipstik merah yang dia kenakan, “Benar-benar intan mentah yang belum diasah, kau ini! Begitu berharga!”
Kendatipun Raimah tak sepenuhnya mengerti kalimat itu—ataupun kenapa tiba-tiba Tante Elizabeth berkata begitu, dia tetap menyengir lebar, senang mendengar Tante Elizabeth menyebutnya begitu berharga—padahal ia hanya seorang cucu penjual kue keliling.
Di rumah putih besar, Raimah di layani sangat baik. Sehingga dia yakin sudah menemukan jalan cerita kehidupannya—menjadi seorang putri. Dia diberi makan yang banyak, tubuhnya dibersihkan, dan di kenakan pakaian bagus. Ada banyak sekali orang di rumah ini. Om Bandi menceritakan bahwa dia memiliki tujuh putri, yang paling tua berumur tujuh belas tahun. Yang paling muda lebih tua setahun darinya. Istrinya telah lama meninggal, saat melahirkan anak ketujuh. Tante Elizabeth adalah saudara Om Bandi, walaupun menurut Raimah wajahnya sama sekali berbeda. Kemudian ada Kakek Munawwir—Om Bandi mengatakan Kakek Munawwir adalah ayahnya, dan merupakan pemilik rumah sekaligus yang menghidupi seluruh keluarga di rumah ini. Ada juga Kakek Sholeh, yang merupakan teman dekat Kakek Munawwir.
Nama-nama anak Om Bandi semuanya aneh-aneh dan sulit diucap, apalagi diingat. Yang paling tua bernama Fleur, diikuti Hermione, Rosemary, Parsley, Katniss, dan Aphrodite.
“Nama kadang-kadang memiliki sejuta daya tarik yang sangat memikat,” jawab salah satu dari ke tujuh anak itu saat Raimah mengutarakan pendapatnya. Sejak itu, dia tak pernah lagi bersusah payah untuk mengingat nama mereka.
Namun, dia selalu kagum dan terheran-heran dengan tujuh anak Om Bandi. Karena wajah anak Om Bandi satu sama lain begitu berbeda, tetapi disisi lain juga mirip. Luar biasa. Memancarkan keindahan yang tak pernah dirinya lihat sebelumnya. Sangat cantik, tapi juga tidak alami. Sangat anggun. Tapi dengan cara yang kadang-kadang berlebihan.
Raimah pulang ke rumah dengan perasaan mengembang. Dia sangat senang akan petualangannya hari ini, terlebih Om Bandi memintanya untuk sering-sering berkunjung. Mereka semua hanya berpesan supaya Raimah tidak memberitahu Neneknya, karena khawatir Neneknya yang cerewet luar biasa itu akan melarang Raimah mengunjungi mereka. Raimah dengan senang hati menurutinya. Nenek sudah pasti melarangnya jika tahu, karena jauh sebelum hari ini Nenek Fatimah selalu dengan tegas memintanya untuk tidak bermain di pasar—banyak penculik, katanya.
Semenjak itu, setiap pulang sekolah dia akan bermain di rumah putih besar hingga sore. Kepada Neneknya ia katakan bermain dengan teman. Raimah terpaksa berbohong kepada Neneknya, karena bagaimanapun, Raimah selalu ingin pergi ke rumah besar itu. Orang-orang di rumah itu membuatnya merasa aman, hangat, dan senang. Dia ingin selalu bersama mereka. Selama-lamanya. Terutama bersama Om Bandi dan Tante Elizabeth, yang keduanya telah Raimah anggap sebagai pengganti Bapak dan Mamaknya.
“Kelak kau akan dicintai oleh semua orang, Rai kecil,” bisik anak tertua Om Bandi suatu hari (Raimah sudah melupakan namanya). Rai adalah nama yang di sematkan pada Raimah oleh orang-orang rumah putih itu, “Kelak kau akan dipuja. Orang-orang akan bertekuk lutut padamu. Kau akan sangat dibutuhkan.”
“Apakah kakak juga demikian?”
“Tentu saja.”
“Setiap aku kemari, kakak selalu di rumah.  Aku tidak pernah melihatmu keluar. Apakah begitu caranya agar kita dipuja? Tidak keluar rumah?”
Anak tertua Om Bandi tertawa kecil, lantas menggeleng, “Kau memang belum pernah melihatku keluar. Aku hanya keluar jika matahari telah tumbang, ketika ribuan bintang di langit yang gelap menggantikannya.”
“Malam harikah itu?”
“Ya. Gemerlapnya malam selalu menjadi pelipur hatiku. Kau dapat menyaksikan keindahan di kota pada malam hari, yang tak pernah kau lihat di siang hari.”
“Semenyenangkan itukah? Aku hanya dapat melihat kerlap-kerlip perkotaan dari tepi sungai yang gelap dan menakutkan. Ingin sekali aku ke gemerlapnya malam, jika memang seru.”
“Kau akan menikmatinya suatu hari nanti, Rai kecil.” janji gadis tanggung itu.
Di hari lain, ada wanita-wanita lain yang akan menemani Raimah di dalam rumah itu. Kali ini adalah Tante Elizabeth. Hal pertama yang dilakukannya adalah menatap telapak tangan Raimah.
“Tanganmu sungguh sehalus beledu,” ucapnya kagum, lalu melanjutkan, “Kau harus memiliki keahlian lewat telapak tanganmu ini, Rai kecil. Bagaimana dengan bermain musik? Supaya kau semakin berharga. Jangan gitar, itu akan membuat ujung jarimu teriris. Sebaiknya piano saja, sepertiku.”
Dan ternyata Raimah berbakat dalam bermain musik, sangat berbakat. Tante Elizabeth menyadarinya setelah beberapa minggu mereka latihan, bertepuk tangan kagum.
“Kau anak yang mengagumkan!” katanya histeris, “Begitu cepat menguasai musik. Benar-benar intan yang berkilau.”
***
Setahun kemudian, Raimah telah tumbuh menjadi gadis yang berbeda dibanding anak-anak lain di tepian Kapuas. Jika anak-anak lain selalu makan dengan tangan, maka akan selalu ada sendok dan garpu disisi Raimah. Jika anak gadis lain bermain lompat tali, maka Rai kecil akan diam-diam mempelajari partitur, bersama dengan jari-jari lentiknya menekan tuts-tuts khayalan. Jika anak-anak lain mencoba membuat mainan dari tanah liat, maka yang dilakukan Raimah adalah merawat kulitnya. Semua itu tidak lepas dari pengamatan keluarga di rumah putih yang besar. Nenek Fatimah sendiri sebenarnya heran melihat kelakukan Raimah, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena perubahan Raimah memang menuju ke arah yang menurutnya lebih baik.
Suatu hari, seperti biasa sepulang sekolah Raimah mengunjungi rumah putih besar. Om Bandi-lah yang menyambutnya, dengan wajah kebapakan yang selalu disukai Raimah.
“Nah, sudah saatnya Rai. Akhirnya kamu datang juga,”
“Ada apa?”
“Hari ini kita akan jalan-jalan. Kamu mau kan? Ada yang mau menemuimu.” Om Bandi tersenyum, menepuk lembut pundak Raimah.
“Siapa yang mau menemuiku?”
“Kejutan.” Om Bandi meletakkan jari telunjuknya di bibir dan mengedipkan sebelah matanya. Dia terlihat sangat senang dan percaya diri. Jadi Raimah memercayai dan menuruti kata-katanya. Dia segera di suruh mandi oleh  Tante Elizabeth, lalu berganti pakaian dan menaiki mobil.
Saat itulah Raimah sadar. Ternyata Om Bandi tidak ikut jalan-jalan. Hanya dirinya, Tante Elizabeth, dan Kakek Sholeh. Raimah sempat merajuk.
“Maaf Rai. Om kali ini tidak bisa ikut. Lain kali saja ya?”
Raimah bersedekap, enggan menaiki mobil, “Tadi katanya kita. Tapi Om tidak ikut,”
Om Bandi menyengir, wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang nyata, “Besok. Bagaimana?” Om Bandi kemudian mengulurkan jari kelingkingnya. Lama baru Raimah menyambut janji itu, ikutan tersenyum.
“Janji?” tuntutnya, Om Bandi mengangguk, “Janji.”

Sayangnya janji itu tidak pernah ditepati.

Raimah mengitari kota Pontianak sepanjang sore, melewati jalan-jalan protokol yang baru pernah dilihatnya pertama kali. Menyaksikan gedung-gedung tinggi yang berjejer. Dan pusat pembelanjaan yang lebih besar daripada pasar yang biasa dikunjunginya. Mereka berbelanja begitu lama. Hingga menjelang malam, barulah Tante Elizabeth mengingatkan tentang janji pertemuan itu. Raimah bahkan sudah melupakannya.
“Ah, tapi nanti Nenek marah kalo Rai pulang malam.” cemasnya. Tante Elizabeth tersenyum, “Om Bandi pasti sudah membicarakannya dengan Nenekmu.”
Begitu mendengarnya, semua kecemasan Raimah menghilang. Mereka pun kembali menyusuri jalan besar dan sampai di sebuah rumah yang tampaknya tiga kali lipat lebih besar daripada rumah putih.
“Seperti istana saja..” gumam Raimah terkagum-kagum. Tante Elizabeth mengantarnya masuk. Mereka menemui seorang pria berumur dua puluhan yang menurut Raimah sangat keren. Mereka bercakap sebentar, lalu Tante Elizabeth mohon diri ke toilet. Tapi bermenit-menit kemudian Tante Elizabeth tak kunjung kembali ke ruang tamu. Ini membuatnya cemas dan canggung. Apalagi Om Hari—pemilik rumah istana, menatapnya dengan tajam.
Lalu matanya menemukan sebuah piano yang bertengger ditempat yang agak tersembunyi.
“Oh!” celetuknya, “Bolehkah Rai memainkan piano itu?”
“Silahkan, Rai.” Om Hari mengucapkan namanya dengan intonasi yang sangat membuatnya risih, tetapi Raimah dengan cepat mengabaikan itu dan berjalan menuju piano. Dia diam beberapa menit di depan tuts-tuts itu, baru kemudian mulai bermain.
Greensleeves?” tebak Om Hari di belakangnya saat Raimah sudah mulai bermain. Raimah mengangguk, memejamkan matanya. Beberapa menit keheningan dalam ruangan itu hanya di isi oleh denting piano yang dimainkan Raimah.
“Kau memiliki gayamu saat memainkannya. Membuat melodinya menjadi milikmu sendiri, bukan milik penciptanya,”
“Terimakasih,” walaupun Om Hari berbicara dengan intonasi yang menyebalkan, Raimah tetap saja senang mendengar pujian bertaraf tinggi itu. Dia melanjutkan permainannya.
“Aku menyukainya,” Raimah terlonjak. Bukan karena tanggapan Om Hari yang begitu menyenangkan, akan tetapi bisikannya yang begitu dekat—di belakang telinganya. Permainan berhenti seketika. Dia menoleh dan menatap Om Hari dengan terbelalak. Yang ditatap telah menyeringai.
“Teruskan permainanmu, sayangku.”
Raimah diam membeku. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar. Dengan cepat matanya menyapu ke seluruh ruangan.
Tante Elizabeth belum kembali.
“Bermainlah. Apalagi yang kau bisa? Sonate-nya Beethoven?” Om Hari berbicara dengan gaya lembut yang begitu menjijikkan bagi Raimah. Lebih aneh lagi saat Om Hari mendekat, dan semakin mendekat, “Aku juga tidak menolak Debussy,”
Dirinya mulai ketakutan setengah mati dan mendorong kasar pria itu. Perlawanan yang nyaris sia-sia.
“Melawan, ya?” desis pria jangkung tersebut dengan nafas terengah-engah, kembali mendekat.
“Tidak!” jerit Raimah, menggigit tangan yang sudah melingkarinya. “Om gila! Om gila!” Kemudian dia mencakar wajah Om Hari dan berlari menuju arah pintu. Untunglah kunci masih tergantung di pintu, dengan cepat diputarnya kunci dan berlari menuju jalan. Berteriak-teriak.  
Dia sempat menoleh, hanya untuk mendapati bahwa mobil Kakek Sholeh dan Tante Elizabeth sudah menghilang.
Air mata Raimah merebak. Terisak. Kenyataan itu menghantam telak pada jantungnya, tiba-tiba saja seluruh rasa sakit sudah memenuhi tubuhnya. Dan yang paling sakit adalah perasaannya, hatinya.
Om Bandi. Tante Elizabeth. Semua kasih sayang dan perhatian yang mereka curahkan. Yang dia dambakan. Apakah memang semahal itu harga yang harus dibayar?
***
“Koran-koran! Koran baru! Ada yang mau beli? Ada berita yang sangat hot! Baru terjadi kemarin malam!” teriak penjual koran di tengah keramaian pasar. Beberapa menoleh, satu dua bahkan bertanya apa beritanya. Tak biasanya penjaja koran berteriak-teriak heboh.
“Sebuah markas prostitusi anak di bawah umur akhirnya berhasil di ringkus aparat kepolisian!” ujar penjual koran itu, walaupun dengan nada misterius, masih berbaik hati menjelaskan, “Semua di bongkar oleh seorang gadis berumur delapan tahun yang nyaris jadi korbannya!”
Semakin banyak orang-orang di pasar itu yang mendekat ke penjual koran, menguping ingin tahu.
“Bagaimana jalan ceritanya, Mang?”
“Mau tahu? Ayo beli korannya! Dua ribu perak saja!”
Kerumunan itu berseru-seru penasaran, semakin heboh mengobarkan gosip prostitusi. Sedangkan jauh dari penjual koran dan penggemarnya, Raimah sedang asik mengadon kue bersama neneknya, di rumah di tepi sungai Kapuas. Tak lagi berandai-andai menjadi anak pedagang sutra—ataupun seorang putri raja.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments