Novel Review : Jungle Child

By Sheren - Tuesday, September 29, 2015


Judul Novel : Jungle Child
Penulis : Sabine Kuegler


Sinopsis :
Buku ini berisi tentang kisah nyata penulis (Sabine Kuegler) selama pengalaman masa kecilnya di pedalaman hutan Papua Barat bersama kedua orangtua dan saudara-saudarinya. Orangtua mereka memang bertugas di tempat ini untuk mempelajari bahasa suku Fayu. Keluarga mereka sendiri aslinya berasal dari Jerman.
Berada ditengah-tengah suku Fayu yang masih jauh sama sekali dari teknologi dan cenderung 'kasar' tak lantas membuat Sabine dan keluarganya kesusahan, malah mereka bisa hidup rukun bersama suku itu dan bersenang-senang! Sampai kemudian, di umur 17, Sabine memutuskan untuk pindah ke negeri asalnya, Jerman.

***

Lagi-lagi libur karena musibah asap! (Hore) . Pagi-pagi saya sudah kabur ke tempat favorit saya; perpustakaan. Awalnya saya ke perpustakaan kota, niat berlama-lama disana. Tapi disana lagi berisik banget. Ramai, terus orang perpusnya lagi sibuk geser-geser rak. Bayangin aja kan, lagi pengen baca tenang, tapi telinga malah denger bunyi rak besi digeser diatas ubin. Ergh. Ngilu dengernya. Abis minjam buku, saya kabur lagi. Kali ini pergi ke perpus provinsi.

Kalo ditanya mana perpus yang paling saya suka? Saya ga tau-_- . Dua-duanya bagus. Tapi dua-duanya koleksinya enggak selengkap yang saya harapkan, apalagi novel-novelnya. Er, untunglah beberapa waktu terakhir ini minat saya lagi menuju buku-buku non-fiksi. Lebih beruntung lagi, karena di perpus provinsi, ruangan yang menyediakan buku-buku khusus referensi lebih sepi dan sunyi. Jadi saya bisa tahan berjam-jam.

***

Balik ke buku Jungle Child, so saya ketemu buku ini setelah bosan baca sejarah-sejarah lama dan pindah ke ruangan yang berisi novel. Niatnya baca sebentar, karena pas saya nemuin buku itu, hari sudah menjelang sore.

Tapi setelah itu saya enggak bisa memalingkan wajah dari tuh bukuuuuuuuuuuuuu.

Langsung aja, menurutku buku ini gak kalah kerennya kayak Narnia dan Harry Potter. Bahkan lebih keren lagi karena ini kisah nyata! Astaga. Isi buku ini sungguh memikat! Saya bener-bener, aduh, gimana mendefinisikannya ya, saya benar-benar terjerat dalam pesona buku ini! Kisahnya menakjubkan!

Saya yakin semasa kecil, kalian pernah mengkhayal, bahkan kepengen, untuk mencoba hidup dalam petualangan. Hidup diantara pohon-pohon di hutan, belajar tentang tumbuhan-tumbuhan secara langsung di tempat asalnya tumbuh, berhubungan dengan suku-suku primitif. Mencari makan dengan berburu, lalu memasaknya dengan api unggun. Berjuang melawan maut dan selamat. Pokoknya ya hidup yang jauh dari hiruk pikuk kota. Nah, kalo selama ini sebagian besar dari kita cuma bisa mengkhayalkannya, maka Sabine kali ini benar-benar merasakannya!

Saya iri.

Sabine dan keluarga pergi lagi ke Papua Barat, Indonesia dari umurnya 7 tahun sampe 17 tahun, hidup di tengah-tengah suku Fayu.

Ada banyak banget pengalaman Sabine ditempat ini. Menurutku, Sabine adalah sosok yang sangat unik. Dia pemberani untuk ukuran anak perempuan seusianya. Cerdas (Tapi malas dalam pelajaran formal) . Dia penyayang binatang, keterlaluan malah. Disaat orang lain berusaha membunuh kecoa yang ada di dalam rumah, maka Sabine akan diam-diam menyelamatkan kecoa itu dan membebaskannya di luar. Kalau orang lain takut sama laba-laba, dia malah mengoleksinya.

Kisah ini memang bagus sekali. Halaman berikutnya sangat memikat. Dan halaman yang sudah dilewati sangat kurindukan. Sedangkan halaman yang kubaca sangat menggairahkan.
Ketegangan, keharuan, kelucuan, semuanya ngena banget!  Adakalanya dimana saya terpaksa mendekap mulut saya sendiri dengan tangan dan menahan tawa sampe bahu saya terguncang. Bahkan ada juga kalimat yang semakin berkali-kali saya baca, semakin menambah frekuensi tertawa saya. Sabine, anak kecil yang polos, lugu. Ditambah orang-orang suku Fayu yang sama polosnya.

Ironi sih ya, sebelum Sabine dan keluarga datang, orang-orang suku Fayu tidak mengerti caranya tertawa! Mereka enggak tahu cara untuk mengekspresikan kebahagiaan mereka. Mereka tidak mengenal cinta, atau rasa senang. Mereka menikah dimulai, dilalui, dan diakhiri kekerasan. Hidup mereka penuh ketakutan akan perang antarsuku--dan juga babi-babi liar yang sering menyerang. Penyebab kematian bagi mereka ada dua : perang dan guna-guna. Mereka enggak kenal yang namanya penyakit malaria, atau jantungan, dll yang sejenisnya.

Semenjak keluarga Sabine datang. Semua berubah secara bertahap. Mereka saling belajar satu sama lain. Tidak ada lagi pikiran negatif tentang 'orang kulit putih'. Keluarga Sabine belajar hidup di hutan, sedangkan suku Fayu belajar untuk lebih menghargai kedamaian.Mereka sama-sama belajar. Enggak ada pemaksaan sama sekali disini, tapi langsung dari hati nurani mereka. Ini enggak bohong loh.

Semua cerita Sabine benar-benar menggunggah perasaanku hingga kebagian terdalam *eaaeaaaeaaa* . Saya sudah 16 tahun, tapi sejujurnya saya masih seorang anak yang suka melamun kemudian berkhayal. Serius. Saya masih mencintai dongeng apa adanya. Kadangkala saya ingin sekali meercayai bahwa memang ada dunia dimana peri-peri itu hidup. Saya masih ingin mengulangi masa-masa ketika dunia masih sangat luaaaasssss, bisa membuat sendiri kehidupan diatas kehidupan yang nyat. Dan saya masih mengharap bisa hidup jauh dari kukungan teknologi, hidup di hutan (?). Dulu saya sering meminta kakak-kakak yang kerja dirumah saya untuk menceritakan tentang kampung asal mereka. Permainan-permainan mereka, kegiatan sehari-hari mereka. Wah, andai saya bisa menjadi bagian dari kampung itu dulu.Tapi sayang, itu enggak mungkin. Apalagi, enggak sampe 4 tahun kedepan, saya sudah 20 tahun........................ sudah saatnya meninggalkan masa kanak-kanak.

Tapi sudahlah. Seenggaknya buku ini sedikit banyak mengobati harapan saya (sebenernya bikin iri sih) . Dari cerita Sabine, kayaknya disana seru banget. Main-main disungai sama anak Fayu yang masih takut-takut. Sabine dan Christin bahkan berani ke hutan yang sudah jelas anak-anak ga boleh masuk! Mereka menemukan pohon yang akar-akarnya menjulur dan main tarzan-tarzanan. Mereka juga menemukan banyak tempat-tempat yang bakal buat kita geleng-geleng kepala saking takjubnya. Tanah Papua pasti kaya sekali akan keindahan alam.

Oh ya, dibuku ini juga ada dikasih tahu tentang beberapa bahasa suku Fayu. Ternyata bahasa baru ini rumit sekali. Kita enggak hanya belajar kata-kata, tapi juga belajar nada-nada. Sedikit saja nada bicaranya beda, maka artinya akan berbeda (ada yang nadanya naik, ada yang sedang, ada yang rendah) . Misalnya, kata 'di' yang diucapkan dengan nada tinggi, bermakna air, dan kalo diucap dengan nada rendah, berarti babi hutan. Rumit.

Hal-hal konyol lainnya terletak pada Sabine dan kedua saudaranya yang sama primitifnya dengan orang-orang pedalaman. Pernah mereka dikirimin poster Es Krim dari sanak keluarga di Jerman sana, dan Sabine, saudara-saudaranya, serta anak-anak suku Fayu bisa memandangi poster itu berjam-jam di musim kemarau! Membayangkan betapa lezatnya eskrim itu! Lalu pas di Jakarta Sabine dan saudara-saudaranya semangat banget buat mencicipi makanan yang namanya eskrim.
Bagian ini juga lucu sekali. Bayangin deh, ada anak-anak seumuran kita, dengan fisik yang cantik dan jauh lebih sempurna dibanding orang Asia, yang berasal dari Negeri dimana teknologi udah maju, tapi ternyata sama sepok a.k.a ndeso-nya dengan orang-orang pedalaman. Lebih ndeso dari kita orang Indonesia malahan. Enggak tahu Es Krim. Astaga.

Tokoh favoritku? Banyak. Saya suka Sabine, dia cewek yang tangguh. Saya suka kedua orangtua Sabine, mereka adalah orangtua yang hebat, berani mengambil resiko membawa anak mereka ke tengah-tengah pedalaman, membiarkan anak-anak itu tumbuh diantara anak-anak suku Fayu, tapi tetap mengayomi mereka dengan pendidikan formal. Saya suka saudara laki-laki Christin, yang menjadi 'pengikut setia' Sabine. Kalo Kakak Perempuannya.... hmm.. kayaknya Sabine ga terlalu dekat sama kakaknya ini, jarang diceritakan, yang diceritakan melulu si Christin. Saya ga tahu harus menilainya gimana. Saya juga suka orang-orang suku Fayu yang polos dan keras kepala.

Woah, kayaknya saya sudah kejauhan nih membahas buku ini. Meluber kemana-mana, belepotan lagi wkwk. Yaudahlah, pokoknya buku ini bagus. Sayang saya belum selesai ngebaca, soalnya hari udah sore sekali. Sayang juga saya enggak sempat mencatat beberapa kalimat dari buku ini. Oh ya, kalo kekurangan buku ini...... apa ya? Udah bagus, malah kelebihannya banyak, di dalamnya ada foto-foto (di ambil dari adegan filmnya) yang semakin memperkaya imajinasi saya.  Ngomong-ngomong, kadang saya agak jijik aja memikirkan mereka makan SEMUT MERAH, atau LARVA SERANGGA yang MASIH HIDUP! (Bayangin ada sesuatu yang menggeliat di lidah kalian), mereka juga makan buaya, kelelawar, dll. Ga ngerti. Saya ga ngerti.

Kesimpulan : buku ini bermanfaat sekali. Selain menghibur, buku ini juga membuat kita belajar tentang budaya suku yang sudah nyaris punah dan betapa indahnya kuasa Tuhan tentang alam yang diciptakannya. Kalau mau membicarakan buku ini, saya rela membicarakannya selama berjam-jam; karena itu menyenangkan. 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments