Novel Review : HUJAN by Tere Liye

By Sheren - Thursday, October 01, 2020



Judul : Hujan

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal : 320 halaman


AKHIRNYA! Akhirnya setelah 4 tahun sejak ia terbit, setelah terbit cetakan ketiga puluh tujuh pada September 2020, saya pun membaca buku Hujan-nya Tere Liye.

Ah, sudah benar-benar bertahun saya tidak pernah beli lagi buku fisik Tere Liye. Ada beberapa faktor, misalnya kesibukan kuliah yang membuat saya meninggalkan beberapa kesenangan seperti menonton anime, baca novel, dll dll. 

Tapi hari kemarin, saya tiba-tiba ingin sekali membaca karya beliau yang belum pernah saya baca. Butuh saja rasanya, setelah sekian tahun. 

Oke sudah kepanjangan basa-basi. Bagaimana sinopsisnya?


Seluruh kisah pada novel ini berpusat pada seorang gadis bernama Lail dan seorang lagi laki-laki bernama Esok, dengan rentang waktu 20 tahun dari sekarang. 2040. Pada masa itu bisa dibayangkan bagaimana teknologi sudah serba maju, bahkan sangat pesat dan mencengangkan. Segala sesuatu diperbantu dengan teknologi. 

Di masa itu, ketika populasi manusia sudah semakin membludak, hingga overpopulation. Secara tidak terduga terjadi letusan besar. Gempa Vulkanik. Supervolcano. Bagaimana tidak, gunung tersebut meletus dengan skala 8 VEI. Jika skala 3 VEI saja sudah masuk kategori bencana, bagaimana dengan 8 VEI? Tidak terbayangkan. Jika bisa dibandingkan, maka skala 8 ini sama seperti letusan Toba yang terjadi lebih dari 70 ribu tahun yang lalu. 

Meluluhlantakkan seluruh dunia. Tanpa bisa dicegah. Menghabiskan 90% populasi umat manusia. 

Seluruh keluarga Lail meninggal dunia. Lail selamat dan di Pengungsian bersama warga lain. Esok dua tahun lebih tua darinya. Cerdas. Baik hati. Selalu memperhatikannya. Dan yang lebih penting, Esok-lah yang menyelamatkan Lail dari bencana itu.

Masalah yang timbul akibat dari letusan itu tidak selesai sampai sana. Iklim menjadi kacau balau. Bumi kekurangan stok pangan, air, dan berbagai kebutuhan lainnya.

Hari demi hari mereka lewati, Esok kemudian diadopsi oleh keluarga kaya yang akan membantu pendidikannya. Mereka berjuang pada jalan masing-masing. Esok semakin dikenal luas sebagai ilmuwan muda yang cerdas. Lail mengisi waktunya sebagai relawan. Bertahun-tahun berlalu, Lail mulai memahami perasaannya terhadap Esok. 

Segala sesuatu semakin dan semakin kacau. Iklim yang semakin memburuk. Hubungan Lail dan Esok yang aneh dan tidak kunjung ada kepastian. 

Apakah Esok juga mencintai Lail? Apakah Lail harus bertahan atau melepaskan?

Dan yang lebih penting dari semua itu, apakah manusia mampu bertahan hidup dalam keadaan krisis di bumi?

Ini kisah tentang persahabatan. Tentang cinta. Tentang melupakan. Dan Tentang Hujan.


***

Review :

Dari bab pertama buku ini, aura suramnya sudah berhembus keluar melalui setiap kata-katanya. Hujan. Tangisan. Keinginan Lail untuk melupakan. Sulit untuk membayangkan ada secuil kebahagiaan saat di prolog saja sudah dipaparkan tentang kesedihan yang mendalam. 

Saya sudah suudzon duluan.

Saya cukup mengenal gaya tulisan Tere Liye sehingga tidak sulit untuk memahami latar waktunya yang maju-mundur. Pada pembuka cerita, latar waktunya adalah masa sekarang, baru kemudian kita disajikan sepotong demi sepotong masa lalu yang membentuk buku ini.

Selain suudzon saya yang seenak jidat, cerita ini sungguh tidak terduga. Saya benar-benar tidak bisa menebak apa yang akan terjadi. Apa yang membuatnya begitu bersedih. Begitu ingin memodifikasi ingatan. 

Cara Tere Liye yang memberi sedikit informasi, lalu menahan sisanya untuk disampaikan di bab lain, benar-benar membuat saya frustasi sekaligus tenggelam ke dalam ceritanya. Tidak bisa lepas hingga mencapai endingnya. 

Mengenai alur, seperti yang saya bilang di atas. Ceritanya bernuansa cukup suram. Berat. Seperti ada beban menggantung dihati. Untuk lebaynya, rasanya sedikit sesak membacanya. Melihat perasaan yang terombang-ambing tanpa kejelasan. Duka menjadi yatim piatu. Eksistensi manusia yang terancam. Berat sekali hidup si Lail ini. Namun mengesampingkan itu semua, ini tetap kisah yang hebat dan sulit ditebak. Magnifico.

Untuk gaya penulisannya sendiri sebenarnya tidak perlu dikomentari banyak. As always Tere Liye lah. Mendetail, tidak buru-buru, membiarkan imajinasi pembaca menebak-nebak. Menurut saya buku ini masuk kategori buku fantasi, namun sisi romance-nya juga sangat kuat. Sungguh luar biasa melihat alur cerita masa depan dibubuhi kalimat-kalimat indah nan puitis. Yah biasanya kan Tere Liye memisah kategori buku-bukunya. Aksi akan tetap menjadi aksi, no romance-romance club. Fantasi berkaitan dengan persahabatan. Romance akan berisi tentang keindahan perasaan, pembelajaran menerima, melepaskan, membuat lega para hati yang membacanya. Buku Hujan ini memang agak berbeda.

Nah untuk tokoh-tokohnya sendiri, semua watak mereka konsisten, bahkan bisa dibilang tidak ada pengembangan watak dari tokoh itu. Khas Tere Liye sih. Watak mereka dari halaman pertama sampai akhir akan sangat konsisten. Tapi justru inilah yang buat saya sebel di buku ini. Saya sangat amat kesal dengan tokoh Lail. 

Lail mencintai Esok. Tapi dia sangat..pasif. Malu-malu. Memendam perasaan. Tidak mau mengambil inisiatif. Saya sebagai cewek yang bertipe gue suka gue akan berusaha jadi kesal sendiri. Lail selalu ragu-ragu. Lail yang justru berharap Esok menunjukkan perasaannya, tapi Lail sendiri tidak pernah berusaha. Selalu Esok yang menghubungi duluan. Selalu Esok yang memintanya bertemu. Selalu Esok yang menghampirinya. 

Misalnya saja, Lail selalu bertanya-tanya kenapa Esok hampir tidak pernah menelfonnya (hanya setahun sekali cuy). Tapi kenapa tidak dia sendiri saja sih yang menghubungi Esok? Kenapa dia harus berada pada posisi menunggu? KENAPA JADI CEWEK PASIF BANGET SIH?!

Kesel banget gue sama si Lail. Mana cemburuan lagi.

Ah ya, untuk tokoh-tokoh yang lain, aman deh ya.

Kemudian masuk ke cover. Seperti yang sudah terlihat di gambar atas, covernya berwarna biru, menggambarkan payung dan judulnya, Hujan. Serta tulisan-tulisan yang dianalogikan sebagai rintik hujan itu sendiri. 

Saya kurang suka. Salah satu sebab baru sekarang saya membeli buku ini juga gara-gara covernya yang kurang menarik.

Sepertinya cover ini menggambarkan isi hati Lail. Tapi menurut saya akan lebih bagus jika covernya menunjukkan 'keseluruhan isi buku'. Sedikit letusan gunung mungkin bagus hahahahahaa. Saya tidak menyangka buku ini tentang fantasi menilik dari covernya. Sudah dua kali ganti cover, tidak banyak yang berubah. Mungkin pen-desain cuma mendesain sesuai judulnya? Hujan? Padahal di isi buku ini ada salju, abu vulkanik, musim panas. Untuk cerita se-wah ini, sayang sekali covernya seperti ini.

Sebagai penutup, saya harus bilang ini buku yang bagus sekali. Tere Liye berhasil memadukan kemajuan teknologi dengan pahit-manisnya perasaan. Saya tidak sekedar mendapat hiburan melalui buku ini, namun juga edukasi mengenai masa lalu Gunung Toba yang selama ini selalu saya abaikan. Kisahnya yang futuristik juga oke banget. Di sisi lain, seperti biasa, ada kelegaan setelah menutup bukunya. Lagi-lagi Tere Liye berhasil memberikan pesannya untuk kita; untuk selalu bersabar, menerima, bahwa kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri, bukan orang lain.

"...Tapi tidak mengapa. Toh semua akan kalah oleh waktu. Ibu belajar banyak bahwa sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri."

Kalau kalian membayangkan kisah fantasi dengan teknologi mutakhir dibalut romance, kalian bisa membaca buku ini. HIGHLY RECOMMENDED!!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments