Dewasa?

By Sheren - Wednesday, November 16, 2022


17 November 2022

 Mengukur kedewasaan itu sulit dan abstrak. Jika menggunakan konsep kuantitas, maka dewasa dapat diukur menggunakan umur--meskipun tetap banyak tingkatan di dalamnya. Tapi jika menggunakan konsep kualitas, semuanya jauh lebih ribet lagi. Individu-individu yang cenderung berada dalam kehidupan keras sejak kecil, biasanya ada dilabelkan dengan istilah 'dewasa sebelum waktunya' pada dirinya, ada juga berbagai faktor lain yang digunakan dalam mengukur 'kualitas' kedewasaan seseorang, mulai dari pengalaman, ilmu, cara berpikir, cara berpakaian, cara bertata-krama, dsb.

Intinya, dewasa itu memang rumit.

Menilik dari umur, aku sendiri sudah dikatakan dewasa. Dua puluh tiga tahun. Selang sebulan lebih lagi, aku sudah dua puluh empat tahun. 

Tidak terasa ya. Aku mulai berkelana dalam blog itu sekitar tahun 2010/2011, masa-masa kejayaannya blog. Khusus blog ini sendiri aku buat tahun 2012. Itu berarti sudah 10 tahun aku mengelola blog ini. Sudah lama banget!

Dulu, bocil 14 tahun ini membuat blog untuk menjadikannya diari online. Hampir setiap hari menulis (di blog lain), ada saja cerita yang diceritakan. Sebagian besar isinya tentang omelan-omelan hari yang buruk, hari yang sibuk, hari yang tiada akhir. Kalau dipikir-pikir kacau juga, baru 14 tahun tapi ngomelnya kayak udah dijadikan menteri negara--sibuk bet ga ada waktu wkwk.

Blog ini, yang dulu memang isinya ga banyak, akhirnya aku urus dengan tujuan mengisi blog dengan konten-konten berkualitas, seperti review film, review buku, puisi, cerpen, dan juga opini-opini keren dan berbobot tentang keadaan Indonesia. Tapi semua itu sepertinya terlupakan seiring waktu. Ujung-ujungnya ini blog isinya curhatan lagi ahaha.

Jika melihat kembali tulisan-tulisan lama, jelaslah bahwa aku memang hanya bocil yang masih bersekolah dan haus akan pengakuan. Menulis banyak dan seakan yang paling benar, paling keren, paling hebat. Kadang juga bocil itu menulis curhatan-curhatan supaya tidak gila. Serius deh, dunia ini gila banget bahkan untuk bocil seumuranku waktu itu.

Sekarang lebih dari 10 tahun berlalu sejak tulisan pertamaku. Aku menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan yang 10 tahun lalu aku bayangkan. Dulu cita-citaku adalah menjadi seorang pengajar atau jurnalis. Rasanya itu dua hal yang paling keren dan paling cocok denganku! Alasanku dulu ingin menjadi seorang pengajar adalah karena aku menyukai ilmu dan yah, aku memiliki beberapa guru panutan yang benar-benar menginspirasi! 

Di sisi lain ada jurnalis. Kayak, wow, itu duniaku banget. Hari-hari kerjaanku membaca, menulis, melihat berita. Apalagi yang kurang? 

Tapi memang takdir selalu punya jalannya sendiri. Entah karena aku yang kurang berambisi, atau memang ini saja jalannya. Jujur, semakin dewasa aku mendapati mengajar tidak ada dalam kotak bakatku. Gue kaku banget kalo disuruh ngajarin orang! Aku juga punya demam panggung kalau sudah di depan banyak orang. Skip sih, aku ga suka menyiksa diri sendiri. Akhirnya dengan berat hati aku menanggalkan cita-citaku sebagai pengajar. Lumayan galau selama beberapa hari saat menentukan ini, karena aku benar-benar serius sama cita-cita ini sebelumnya, hahaha. Kayak bertahun-tahun udah berkhayal jadi pengajar.

Kemudian cita-cita jadi jurnalis? Kalau yang ini sih pudar begitu saja. Kehidupan realistis ini juga mengajariku untuk memilih cita-cita yang lebih masuk akal untuk kepribadianku. Untuk menjadi jurnalis pro di jaman ini, setidaknya kita harus masuk jurusan komunikasi. Dan membayangkan jurusan komunikasi saja sudah berat bagiku, karena pasti akan melalui banyak kegiatan 'komunikasi' yang sudah jelas bukan aku banget. Tidak ada galau-galauan dalam hal ini, karena aku toh masih bisa menulis di mana saja dan kapan saja.

Jurusan Akuntansi adalah jurusan yang aku pilih dengan senang hati dan lapang dada. Jujur saat memilih ini aku tidak tahu arah takdirku akan ke mana. Tetapi satu hal, aku cukup menyenangi akuntansi dan jurusan ini jelas memiliki prospek yang bagus di masa depan. 

Hari ini, 17 November 2022, aku terdampar di Ibu Kota Jakarta. Duduk di tepi kasur di lantai lima sebuah apartemen sambil mengetik blog yang sudah berlumut. Duduk di sini tidak pernah menjadi bagian dalam rencanaku selama 23 tahun hidup, hingga beberapa bulan lalu. Kadang jalinan takdir itu memang mengejutkan dan tak terduga. Hidupku selama ini begitu-begitu saja. Tinggal di kota kecil yang sederhana dan mencintainya. Aku bahkan selalu membenci Jakarta selama ini. Aku tidak menyukai keramian dan sumpeknya Jakarta, kemacetannya, kerumitan ganjil genapnya dan banyak hal lain. Jika tiga bulan lalu aku ditanya tentang kota mana yang aku harap aku bisa tinggali, maka Jakarta akan menjadi urutan terakhir bagiku.

Tiga bulan di sini, aku belajar banyak. Sangat banyak. Aku bisa merasakannya. Bukan ilmu, bukan teknologi terbaru. Tetapi tentang kedawasaan itu sendiri. Tentang hubungan-antar manusia. Ada banyak hal yang dulu tidak kupahami--bahkan tidak kusadari, bisa kupahami sepenuhnya saat ini. 

Ternyata merantau itu sangat membantu dalam mengasah kualitas kedewasaan seseorang.

Tentang toleransi. Satu kata yang sudah sangat basi, ribuan kali dibaca oleh mata, ratusan kali terdengar oleh telinga, pada akhirnya sampai di hati saat aku berada di sini.

Tentang berhati-hati. Dalam berkata, dalam bertindak, dalam menyampaikan perasaan dan isi hati.

Tentang keterbukaan, tentang bersosialisasi. 

Tentang derajat manusia di mata manusia lain--bukannya di mata Tuhan.

Tentang perbedaan yang memang menjadi pembeda, bukannya menyatukan layaknya puzzle.

Tentang ekspetasi dan realisasi.

Tentang kebohongan yang terpaksa. Bukannya karena menyukainya, namun karena tujuan yang lebih baik.

Tentang menghargai. Membuka lebar pandangan terhadap orang lain, bahwa kata-kata dan habit orang lain yang tidak sesuai dengan kita, bukan menjadi tolak ukur untuk menilai orang tersebut. Bahwa setiap manusia memiliki nilai yang berharga, jika bukan untuk kita, setidaknya untuk diri mereka sendiri, dan pada titik itulah kita harus menghargai mereka. Ketika hal-hal yang dulu mereka lakukan, terasa remeh untukku, dan sekarang saat aku melakukannya, betapa setiap garis proses itu penting dan berharga.

Tentang kesendirian. Hal yang paling menyakitkan kusadari. Dulu aku begitu mencintai kesendirian. Kekosongan rumah di siang yang cerah. Sendirian di kamar di malam-malam yang hujan. Menolak ajakan hangout. Menolak panggilan. Menikmati kesendirian yang kuharap bisa selamanya terjadi. Namun di kota ini, aku sangat membenci kesendirian ini. Perasaan tidak berdaya, tidak dapat melakukan apa-apa. Aku benar-benar tidak menyukainya. Aku butuh sosialisasi.

Selain hal-hal yang sudah kusebutkan di atas, ada jauh lebih banyak 'bentuk kehidupan' yang kupelajari. Padahal baru 3 bulan. Entah apa yang terjadi jika aku bertahun-tahun jauh dari kotaku sendiri? 

Hari ini, duduk di tepi kasur di kota besar ini, aku merindukan masa sepuluh--atau mungkin--lima belas tahun lalu. Ketika aku tidak perlu memikirkan caraku bertahan di dunia yang semakin asing bagiku ini. Ketika ada tangan orangtuaku yang bisa kugandeng saat takut tersesat, ketika bukan bantal lah yang menjadi teman tangisku. 

Saat ini, saat sisi dewasaku semakin dan semakin terasah, aku juga menyadari bahwa sisi kanak-kanak itu pelan-pelan menyeruak keluar.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments