Movie Review - School for Good and Evil

By Sheren - Friday, January 06, 2023


 
Judul Film        : The School for Good and Evil (Netflix)
Sutradara         : Paul Feig
Tanggal Rilis    : 19 Oktober 2023
Durasi                : 147 Menit
Pemain              : Sophia Anne C (Sophie), Sofia Wylie (Agatha), Jamie Flatters (Tedros), Charlize Theron (Lady Lesso), Kit Young (Rafal), dll.

Sinopsis:

School for Good and Evil adalah sebuah film yang diadaptasi oleh Netflix dari novel populer berjudul sama. Film ini mengisahkan tentang Sophie dan Agatha, yang merupakan dua sahabat sejak kecil dan tinggal di sebuah desa bernama Desa Gavaldon. Ada perbedaan yang cukup mencolok antara Sophie dan Agatha, di mana Sophie adalah seorang gadis yang riang, cantik berambut pirang, gemar skincare-an dan juga makeup, singkatnya, dia adalah gadis yang sangat feminim. Sedangkan di sisi lain, Agatha memiliki rambut hitam keriting mengembang, hampir selalu memakai pakaian hitam, dianggap penyihir oleh penduduk sekitar, dan anti makeup. Mereka benar-benar seperti hitam dan putih, sangat bertolak belakang. Anehnya, mereka malah bersahabat dan saling membantu.

Suatu hari, mereka pergi ke toko buku untuk mencari buku dongeng kesukaan Sophie, pada saat itulah Ibu-ibu Penjaga Toko menunjukkan mereka sebuah buku dengan cap angsa dan menceritakan tentang legenda gadis yang hilang dari desa dua puluh tahun. Usut punya usut menurut si Ibu Penjaga Toko, gadis tersebut dibawa ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan untuk menjalani dongeng.

Mendengar cerita itu, Sophie jadi berangan-angan ingin pergi meninggalkan Desa Gavaldon untuk menuju Sekolah Kebaikan, dan bahkan dia benar-benar melakukannya! Tak disangka, ternyata Agatha yang telah melarangnya pergi diam-diam mengikutinya. Saat mereka sedang berdebat, tiba-tiba sesosok menyerupai setan datang dan menyeret mereka ke sebuah lapangan--di mana kemudian burung besar yang lebih menyerupai zombie mencengkram mereka untuk diantar ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Sophie tentu saja kesenangan, berbalik dengan Agatha yang merasa ngeri.

Namun kesenangan yang dirasakan Sophie tidaklah lama, karena bukannya masuk ke Sekolah Kebaikan seperti yang diidam-idamkannya selama ini, Sophie justru dilempar ke Sekolah Kejahatan. Dari sinilah ujian yang sebenarnya dimulai. Sophie melakukan berbagai cara baik halal maupun haram agar bisa menjadi putri sejati yang dilirik pangeran, sebagaimana mimpinya selama ini. Sedangkan Agatha, yang hanya ingin pulang, berusaha semaksimal mungkin membantu Sophie. 

Tetapi di tengah perjuangan Sophie, seorang Pangeran bernama Tedros yang memang diincar oleh Sophie justru tertarik kepada Agatha. Memang, pria dan cinta-cintaan itu seringkali merusak persahabatan. Hal itulah yang juga menimpa persahabatan Sophie dan Agatha. Sophie merasa Agatha merebut semuanya darinya, mulai dari sekolah impiannya, ketenaran, dan sekarang pangerannya!

Sembari berusaha memperbaiki hubungan mereka berdua, Agatha menemukan fakta mengerikan yang menjadi alasan kenapa mereka--para pembaca dari Desa Gavaldon, didaftarkan ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan oleh Kepala Sekolah mereka. Lebih mengerikan lagi, alasan itu bisa saja menghancurkan Sekolah yang telah berdiri ratusan tahun ini.

Apakah alasan mengerikan itu? Dan berhasilkah Agatha memperbaiki hubungan mereka, sekaligus mencegah hancurnya Sekolah Kebaikan dan Kejahatan? Siapa sebenarnya Kepala Sekolah mereka?

***

Waktunya review~, mungkin banyak spoiler.

Sejujurnya sebagai penggemar novel School for Good and Evil sejak zaman SMP sampai lulus kuliah sampai hari ini di mana aku sudah hampir seperempat abad, aku merasa kecewa dengan filmnya.

Jadi review ini akan sedikit banyak ditulis dari sudut pandang pembaca. OH YA buat yang mau baca reviewku tentang bukunya boleh nih: BUKU SATU dan BUKU TIGA. 

Film ini, jika merupakan film original Netflix dalam artian bukan adaptasi novel, mungkin akan menjadi film fresh yang cukup bagus untuk anak remaja. Tetapi sayangnya bukan, dan Netflix secara menyedihkan telah mengobrak-abrik isi novelnya.

Oke, ini hal yang sudah wajar dan biasa terjadi di saat sebuah novel kesukaan kita diadaptasi menjadi film, ga bisa seratus persen sama. Namun sampah--eh maksudnya film Netflix kali ini, benar-benar mengacaukan seluruh imajinasiku.

Jujur, dulunya aku berharap School for Good and Evil ini bisa diadaptasi oleh Disney ataupun Pixar karena dongeng seperti ini terasa cocok sekali untuk diadaptasi menjadi animasi. Eh ternyata Netflix memutuskan untuk menjadikan film ini sebagai koleksi mereka.

Di mana kehancuran-kehancuran itu?

Pertama, PEMILIHAN KARAKTER. Kalau aku boleh pakai bahasa Pontianak, satu yang kukatakan adalah; "Ancore." As always Netflix, banyak dari koleksi mereka baik series / film yang dijadikan sebagai agenda WOKE CULTURE. Berapa banyak sih para SJW ini menyogok Netflix untuk melakukan agenda ini? 

Terserah kalau kalian mau menyebut aku rasis, tetapi kesewenang-wenangan Netflix dalam hal ini benar-benar menistai khayalan saya selama ini.

Tahukah kalian, Kepala Sekolah di School for Good and Evil serta kembaraannya adalah seseorang yang berkulit putih? Penggambaran Kepala Sekolah itu, saat aku membaca bukunya, itu mirip dengan Edward Cullen dari novel Twilight. Bagaimana mungkin dia dan kembarannya tiba-tiba jadi sosok kulit cokelat?

Agatha juga putih! Agatha ituuu putih. Ini lebih jelas lagi karena ilustrasi di novelnya adalah dia berkulit putih, dan pucat, dengan rambut bob hitam lurus, ditambah fakta bahwa dia adalah anak dari.....ah sudahlah, pokoknya dia itu seorang kulit putih.

Profesor Dovey! Aku sampai searching untuk memastikan ingatanku dan yak, benar! Profesor Dovey, dalam cerita novelnya, adalah Ibu Peri Cinderella pada masanya. Kalian pernah nonton Cinderella kan? Tau kan bagaimana penampakan Ibu Peri Cinderella? Yap, dia berkulit putih kawan.

Mungkin kalian akan bertanya-tanya kenapa aku sesewot ini. Ya sewotlah aku huhu :((, aku benar-benar menyukai buku ini dan selalu membayangkan bagaimana jika buku ini di filmkan. Ini sama dengan kasus film Percy Jackson yang jauh berbeda, salah satunya penggambaran karakter Annabeth yang berambut PIRANG di buku tapi pas di film tiba-tiba berambut COKELAT GELAP. Tahukah kalian, sebagian besar penggemar buku Percy Jackson sangat-sangat meributkan itu. Padahal cuma rambut loh itu. Atau contoh kedua, pada tahu kan Disney mau buat live-actionnya Ariel si Mermaid? Selama ini Ariel dalam bayangan kita selalu berkulit putih. Terus tiba-tiba trailernya muncul dan pemeran Ariel berkulit cokelat. Apa ga panas tu orang kebahagiaan masa kecilnya dirusak gitu?

Karakter Tedros si Pangeran, walaupun di awal aku agak canggung melihatnya, lama-lama terasa hampir menjiwai karakternya di buku. Untuk karakter lain juga cukup okelah. 

Untuk Sophie sendiri menurutku udah cukup pas. Jujur semakin lama dilihat, pemeran Sophie memang cantik banget.

Kedua, akting mereka, ya so so lah ya. Seadanya aja sih, kayaknya mereka beneran ngikutin naskah deh, ga ada improvisasi sama sekali. Tapi ga buruk-buruk amat.

Ketiga, CGI-nya? Ini hampir disebut di setiap review tentang film ini haha. WORST. Berasa kek CGI 10 tahun lalu--malah 15 tahun lalu? Lord OF The Rings tahun 2001 aja masih bagus.

Keempat, Plot cerita? Haduh emang bikin berdecak. Walaupun memiliki ending yang mirip-mirip (jujur saya agak lupa juga), tapi banyak sekali alur cerita yang dibuang dan diganti dengan semena-mena. Tetapi untuk masalah ini aku harus memaklumi sih, karena sulit sekali memasukkan semua alur novel ke dalam film durasi 2 jam.

KELIMA, ada beberapa hal penting yang di cut dengan semau hati oleh Netflix dalam film ini. Nih misalnya, karakter bernama Profesor Sader--dia ini salah satu tokoh sentral loh dalam buku. Tetapi jangankan penampakan, nama pun kagak disebut sama dia.

Lalu, tentang Desa Gavaldon. Gavaldon itu bukan desa biasa. Gavaldon itu desa misterius yang 100% terisolir dari dunia luar--bisa dibilang mereka bahkan bagian dari dunia dongeng itu sendiri. Kalian yang lahir di sana tidak akan pernah bisa keluar dari Gavaldon, meskipun kalian 7 hari 7 malam mengelilingi hutan untuk mencari jalan keluar. Ini jelas berbeda dengan film di mana Sophie digambarkan pengen merantau. 

Selain itu, penculikan anak di Desa Gavaldon itu bukan terjadi 20 tahun yang lalu, TETAPI setiap 4 tahun sekali! Ya, empat tahun sekali terjadi penculikan! Dan yang diculik itu selalu 2 orang anak. Satunya baik, satunya jahat. Desa Gavaldon itu desa horor woe!

Tentang kepala sekolah, si Kepala Sekolah ini di buku kalau aku tidak salah, selalu memakai topeng dan merahasiakan identitasnya. Ini dimaksudkan untuk menjaga kedamaian agar tidak ada dari mereka yang tahu siapa yang sebenarnya mati di antara dua kembar itu takutnya rusuh dan demo.

Tentang kepribadian Sophie. Kalian pasti menilai si Sophie ini anak baik-baik yang punya mimpi lalu jadi jahat akibat kekejaman takdir?

Nope. Meskipun aku termasuk pendukung Sophie di buku, tetapi harus aku akui, Sophie sejak awal bukanlah anak baik-baik. Persahabatan Sophie dan Agatha itu murni simbiosis mutualisme. Sophie membutuhkan Agatha untuk melakukan agenda kebajikannya, karena dari duu dia memang berharap diculik ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Sedangkan Agatha yang memang tahu tujuan si Sophie ini, juga butuh Agatha--ya biar ada temen aja sih kayaknya, karena Agatha sama sekali ga punya temen. Agatha tu b aja gitu, dia itu tipe-tipe cewek cuek yang apapun yang terjadi, maka terjadilah. Bukan cewek-cewek bijak penuh kasih kayak di film.

Sekian sih kekecewaanku untuk film ini, kalau boleh memberi rating, mungkin bakal aku kasih 6 dari 10. Filmnya tetep bagus, cuma aku kecewa karena itu film mengobrak-abrik isi novel aja, sama CGI-nya..dan gaunnya, dan karakternya..uh. Gara-gara filmnya yang begini, aku jadi curiga alasan Netflix mau mengadaptasi novel ini karena adegan kissing si Agatha sama Sophie--yang harus kuakui memang ada di buku. Oh yeah another woke agenda. Hal yang membuatku bertahan menonton di sini adalah si Sophie. Sebenarnya banyak banget yang ngehujat di Sophie karena aktingnya parah. Ya ga salah sih wkwk, tapi dia bener-bener cantik dan suaranya imut. 

Ga bakal nonton lagi dan ga berharap banyak untuk sekuelnya--kalo emang ada.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments